Lima Bulan di AS Ikut Program KL YES, Giancarlo Ubah Cara Pandang

Rabu 23-02-2022,22:05 WIB
Reporter : Devi Alamsyah
Editor : Devi Alamsyah

Tak Ada Rasis, malah Gratis Plus..Plus

Tak semua wilayah di Amerika Serikat (AS) kental dangan isu rasial. Seperti Asian Hate yang belakangan marak itu. Giancarlo Samuel Uring, siswa SMAN 1 Tanjung Selor, punya cerita berbeda. Selama mengikuti pertukaran pelajar program KL YES 2021/2022 di Seattle Washington, warganya welcome dengan pendatang.

Devi Alamsyah, Samarinda. MASIH ingat peristiwa Christina Yuna Lee, warga keturunan Korea yang tinggal di sebuah apartemen di China Town, Manhattan, New York. Lee ditemukan meninggal setengah telanjang di apartemennya. Dari pantauan kamera di lokasi tersebut, Lee dikuntit. Si penguntit bernama Assamad Nash. Usianya 25 tahun. Cerita tentang Christina Yuna Lee sudah diulas detail dalam Catatan Dahlan Iskan edisi 16 Februari 2022. Menurut catatan polisi setempat, kejahatan dengan motif kebencian ras naik 300 persen lebih dalam setahun terakhir. Sasarannya, keturunan Asia. Atau keturunan pulau-pulau di Pacific. Namun tidak bisa digeneralisasi bahwa di semua wilayah AS sentimen rasialnya tinggi Seperti yang dirasakan Giancarlo Samuel Uring. Selama mengikuti program pertukaran pelajar Program Kennedy-Lugar Youth Exchange and Study (KL YES) 2021/2022 di Amerika Serikat, justru merasa diterima dan bisa berbaur dengan siswa serta warga setempat. Carlo tinggal di Chehalis, Negara Bagian Washington. Ya, lebih familiar dengan nama Seattle Washington. Sekolahnya di Adna High School. Ia mengikuti program KL YES selama 10 bulan. Sekarang sudah berjalan 5 bulan. Program akan berakhir Juni 2022. Carlo adalah anak tunggal dari Pasangan Harold Arthur Uring dan Astini. Ia lahir di Samarinda tahun 2004. Kini tinggal di Perum Korpri, Tanjung Selor, Kalimantan Utara. “Puji Tuhan, selama di sini orang-orang menerima saya dengan baik, wilayah tempat saya tinggal cukup liberal, jadi saya belum pernah mengalami rasisme selama di sini,” kata Carlo melalui pesan WhatsApp. Komunikasi dengan Carlo memang agak susah. Mengingat perbedaan waktu antara Samarinda dan AS yang relative terpaut 12 jam. Carlo mengakui, untuk beradaptasi dengan siswa dan lingkungan setempat tidak terlalu sulit. “Pergaulan di sini cukup komunal,” katanya. Hari pertama sekolah, Carlo bahkan sudah dapat teman di kelas untuk diajak bicara. Memang ia mendengar cerita kasus rasial. Tapi itu di daerah selatan AS yang paling banyak terdapat kasusnya. Di sekolahnya, Adna High School, teman-temannya sangat terbuka dengan profil Carlo sebagai orang Indonesia. Mulanya cukup khawatir menjadi anak pertukaran pelajar KL YES. Apalagi isu Asian Hate marak terjadi. Namun setelah 5 bulan, kekhawatiran itu mulai hilang. Beruntung pula di lingkungan tempat tinggalnya sangat baik dalam menerima perbedaan. Adalah Jeff Quay & Margo Quay yang menjadi orang tua asuh Carlo selama di Chehalis- Seattle Washington. Keduannya pensiunan. Kini mereka aktif di klub mobil lokal. Punya bengkel modifikasi mobil. Punya juga koleksi mobil antik. Jeff dan Margo suka sekali dengan dunia otomotif. “Jadi sehari-hari biasanya modifikasi mobil gitu, kak,” katanya. Pasangan keluarga Quay ini punya 8 anak. Semua sudah besar. Sudah pada menikah. Sudah tidak tinggal serumah lagi. Ada yang tinggal di Texas dan ada juga anaknya yang tinggal Las Vegas. Dari Seattle ke Las Vegas jaraknya hanya 2,5 jam. Naik pesawat. “Heheh..Kebetulan sekarang saya dengan anak yang di Las Vegas,” selorohnya. Loh, enggak sekolah? “Iya liburan musim dingin bisa di bilang, jadi saya ambil cuti seminggu sekolah,” jawab Carlo. Ada cutinya juga? “Ya bisa cuti, ada jatah untuk persemesternya, jadi saya ambil 5 hari cuti”. Memang sistem pendidikan di Adna High School banyak plus-plusnya. Terutama dalam memberi kebebasan dan keleluasaan bagi siswanya untuk memilih. Termasuk soal cuti. Setiap semesternya ada jatah cuti selama 14 hari. Sekarang memang bukan waktunya liburan. Tetap masuk sekolah. Kecuali yang cuti tadi. Pun para senior (kelas 12). Mereka mayoritas tengah sibuk ambil college class—persiapan sebelum masuk ke perguruan tinggi. Nah, Carlo juga kelas 12. Di Amerika, kendati masih SMA, sudah boleh mengambil beberapa mata pelajaran di perguruan tinggi. Tak perlu tunggu lulus duluan. Ini memudahkan siswa untuk masuk di perguruan tinggi lokal nantinya. Dalam dua tahun mereka sudah dapat gelar. Walau pun setingkat diploma. Jarak sekolah dengan kediaman orang tua asuh Carlo, tak begitu jauh. Sekitar 10 menit. Itu naik bus jemputan sekolah. Plus-nya lagi, bus itu gratis. Sudah disiapkan pemerintah. Bus jemputan itu jadwalnya pukul 07:55 pagi. Carlo harus sudah keluar rumah pukul 07:43. “Kadang busnya datang bisa 5 menit lebih cepat dari jadwalnya. Sementara sekolah mulai pukul 08:20,” ujarnya. Adna High School berada di kawasan perternakan. Tak jauh dari sekolah ada taman Willapa Valley— sering digunakan untuk kegiatan lintas alam (hiking). Dari sekolah bisa dilihat pemandangan gunung Rainer, gunung api tertinggi di Washington. Jumlah siswanya berkisar 150 siswa. Punya 25 ruangan kelas. Fasilitasnya cukup lengkap: Ada tempat gym, GOR olahraga indoor, lapangan football, lapangan baseball, ruang teater, arena gulat, ruang kerajinan kayu, ruang pandai besi (tempat pengelasan), serta lab IPA dan lab komputer. Sekolah di luar negeri khususnya di Amerika Serikat sudah menjadi obsesi Carlo. Ia tertantang. Kurang lebih setahun Carlo mencoba mendaftar program pertukaran pelajar Program KL-YES yang diselenggarakan Bina antarbudaya Indonesia dengan pemerintah AS untuk pelajar di Indonesia. Program KL-YES sudah berjalan hampir 20 tahun lamanya. Pun sudah mengirimkan ribuan siswa dari beberapa negara di dunia. BOLEH MEMILIH Tak seperti sekolah di Indonesia pada umumnya, pembelajaran di AS lebih fleskibel. Utamanya dalam urusan mata pelajaran pilihan. Setiap siswa wajib mengambil 4 mata pelajaran dasar dan beberapa mata pelajaran elektif—pilihan. Adna High School banyak memiliki mata pelajaran pilihan yang berfokus pada agrikultur dan kerajian besi/kayu. Ini sesuai dengan lokasi sekolah yang berada di daerah perternakan (farmland). Selain belajar, Carlo ikut dalam kegiatan sosial nonkurikuler. Seperti teater atau drama, olahraga dan FFA (sebuah klub yang berfokus pada teknik pertanian dan peternakan). Di sekolah, Carlo memilih mata pelajaran mekanika agrikultur (Agriculture mechanic). Yang banyak mempelajari teknik berkebun yang canggih dan modern. Yang para pelajarnya sudah terbiasa teknik memotong besi menggunakan mesin pemotong plasma. Sarana praktiknya, para pelajar diarahkan untuk menjadi relawan. Plus membantu masyarakat sekitar dalam kegiatan-kegiatan harian dan pekerjaan rumah. Apa saja itu. Semisal membantu tetangga dalam membersihkan pekarangan rumah, ikut membantu komunitas di bank makanan dan ikut membantu mendistribusikan makanan kepada yang kurang mampu. Pun ikut aktif dalam kegiatan sosial dan amal di komunitas sekitar dan gereja lokal. Kemudian proses pembelajaran tidak hanya dilakukan di sekolah. Carlo merasa beruntung karena ia berkesempatan berkunjung ke tempat-tempat wisata edukasi plus hiburan di sekitar Washington Barat. Bersama dengan teman-teman pertukaran pelajar dari seluruh dunia, Carlo berkesempatan mengunjungi Gedung Capitol Negara Bagian Washington di Olympia. Melihat secara langsung interior gedung yang digunakan para senat dan representatif di Washington. “Kami juga diajak langsung ke Museum Mobil Le May di Tacoma dan Museum Penerbangan di Seattle. Museum penerbangan ini sangat berkesan bagi saya seorang penggemar dunia aviasi”. Museum itu dibangun di dalam kompleks pabrik pesawat Boeing—salah satu produsen pesawat terbang dan ulang-alik terbesar di dunia. Di dalam museum terdapat banyak sekali barang-barang penting. Mulai dari ekspedisi Apollo di planet bulan; pesawat Boeing 747 seri 100 yang merupakan pesawat bertingkat pertama di dunia; pesawat kepresidenan pertama Amerika Serikat; serta banyak sekali pesawat sisa perang dunia ke-2 yang disimpan di museum itu. Itu pengalaman berharga bagi Carlo. Itu pula yang mengubah cara pandangnya selama ini. “Saya belajar untuk menghargai pendapat orang lain dengan lebih baik, kesadaran akan perbedaan sangat terasa selama perjalanan hidup saya di sini,” katanya. Keteraturan serta kedisiplinan hidup masyarakat AS mengajarkan Carlo akan pentingnya komitmen serta aturan. Ia belajar untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat baginya dan lingkungan sekitar. (*)
Tags :
Kategori :

Terkait