BBM di speedometer tinggal satu strip. Rabu pagi pekan lalu. Sebetulnya sudah dari malamnya. Tapi belum sempat isi bensin. Biasanya menggunakan jenis Pertalite. Agar tidak membebani pemerintah. Katanya Pertalite sudah tidak disubsidi. Toh, selisihnya tak terlalu besar dengan Premium.
Tapi tergantung. Jika kuota pembeliannya banyak, tentu selisihnya jadi banyak. Soal selisih harga dan kuota ini yang kerap merepotkan banyak orang. Baik pemerintah, Pertamina dan tentunya masyarakat.
Pagi itu, berencana bertolak ke Balikpapan. Dari daerah Sempaja, Samarinda. Kawasan Jalan PM Noor. Tak jauh dari situ, memang ada SPBU. Di situ rencananya akan mengisi BBM.
Namun, baru keluar perumahan. Tampak antrean panjang. Sempat menunggu beberapa saat untuk masuk ke jalur utama. Untung saja ada yang pengertian. Mobil Innova warna abu-abu memberi isyarat lampu. Mempersilakan masuk ke jalan utama.
Ternyata, antrean itu bersumber dari SPBU Jl PM Noor. Padahal, tadinya mau isi BBM di tempat itu. Kalau mau ikut antre, harus kembali ke belakang. Ke depan perumahan tadi, atau sebelumnya. Padahal jaraknya lumayan jauh.
Kembali, bukanlah opsi. Saya tancap gas. Karena di depan masih ada SPBU lainnya. Di Jalan Juanda.
Dari jauh, tampak lengang. Tak ada antrean seperti sebelumnya. Ternyata benar. Saya langsung banting setir masuk SPBU tersebut. Di depan, hanya ada satu mobil.
Tapi, seketika petugas SPBU menghampiri. “Kosong, tinggal solar saja pak,” katanya. Waduh, pantesan sepi antrean. Tapi, okelah. Di depan masih ada SPBU lagi. Masih di Jalan Juanda itu.
Setelah melintasi flyover masih di jalan itu, volume kendaraan tampak padat. Jalan merayap pelan. Wah, jangan-jangan bersumber dari SPBU yang akan dituju tersebut. Ternyata betul. Saya ambil lajur sebelah kanan. Tidak ikut antrean.
Melintasi daerah Karang Asam, SPBU yang dekat kantor Pertamina pun juga tampak antre. Tapi, saya memang tidak bermaksud isi BBM di situ, karena harus putar balik.
Sampai di Samarinda Seberang. Akhirnya baru bisa masuk SPBU dengan mulus. Itupun tak ada jenis Pertalite. Adanya Pertamax. Pantas saja tak ada antrean.
Seandainya pemerintah tak menyajikan BBM bersubsidi, mungkin saja tak akan terjadi antrean mengular. Karena antrean terjadi lantaran banyak yang berburu BBM subsidi. Tapi bagi sopir truk, BBM subsidi menjadi berkah. Mereka rela antre berlama-lama. Bahkan hingga bermalam.
Besoknya, baca berita soal antrean serupa terjadi di Sangatta, Kutai Timur (Kutim). Sebetulnya, sudah mulai dari beberapa hari sebelumnya. Lebih parah. Bahkan harga di tingkat pengecer pun melambung hingga Rp 20.000 untuk jenis Premium.
Pertamina mengakui ada keterlambatan pasokan BBM. Menurut Manager Region Communication, Relation & CSR Pertamina Kalimantan Heppy Wulansari kapal tanker pengangkut BBM harus antre bersandar di Dermaga Kilang.
Kendati saat ini informasinya sudah kembali pulih, mungkin perlu didalami agar kejadian serupa tidak terus berulang. Apa saja sih langkah antisipasinya?
Dulu, saya sering diskusi dengan humas Pertamina MOR dan RU V. Saat itu masih Alicia Irzanova. Antara lain saat dia mengeluh terhadap pemberitaan wartawan yang seolah selalu menyudutkan Pertamina. Terkait berita kelangkaan tabung gas elpiji.
Padahal, kata Alicia, kuota Pertamina tetap. Stoknya aman. Terjadi kelangkaan justru di tingkat pengecer.
Saat itu, saya sampaikan. Pertamina jangan hanya mencukupkan diri pada stok dan distribusi BBM. Perlu juga diurai, dimana kebuntuan distribusinya. Dalam alur distribusi itu, kan tidak hanya Pertamina MOR / Pemasaran saja. Tapi ada juga vendor lain.
Sewaktu-waktu bisa dilakukan sidak. Secara berkala. Kemudian masalahnya dilokalisasi. Jika memang ada ditemukan distributor atau pengecer nakal, jangan segan untuk mengeluarkan sanksi. Misalnya izin distribusinya dicabut.
Memang tak hanya Pertamina. Ini tanggung jawab bersama. Pemerintah daerah juga harus andil membantu. Apalagi jika terkait dengan BBM bersubsidi. Dibuat tim khusus. Gabungan antara stakeholder itu.
Apalagi terkait dengan kebijakan BBM satu harga. Yang sudah dicanangkan Pemerintahan Jokowi itu. Pertamina sempat kelabakan juga untuk penyaluran distribusi hingga daerah utara Kaltim. Yang akses jalannya belum sepenuhnya baik. BBM terpaksa diangkut melalui kapal. Biayanya tambah tinggi. Sementara harga jual harus sama.
Pemerintah daerah harus dirangkul. Bagaimana jalan yang menjadi akses distribusi BBM itu menjadi prioritas untuk dibangun. Atau diperbaiki. Sehingga, kepentingan pemerintah daerah untuk menyejahterakan masyarakatnya kian terwujud.
*/Pemimpin Redaksi Disway Kaltim