nomorsatukaltim.com - Penggunaan antimikroba secara bijak perlu melibatkan peran serta dari semua pihak. Mulai dari masing-masing individu sebagai komponen terkecil di masyarakat dan tenaga kesehatan. Terutama teman-teman sejawat apoteker atau assistant apoteker yang memberikan pelayanan obat di apotek, klinik, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, hingga perlu melibatkan peran instansi pemerintahan sebagai pembuat kebijakan. Jika penggunaan antimikroba tidak bijak, maka dapat terjadi resistensi antimikroba yang secara klinis bisa membahayakan manusia, dan berdampak buruk bagi kualitas kesehatan suatu bangsa secara umum. Dalam benak kita mungkin muncul beberapa pertanyaan, bagiamana sebenarnya penggunaan antimikroba yang bijak? Lalu, apa yang dimaksud resistensi antimikroba dan resistensi antibiotik? Dan bagaimana peran kita sebagai masyarakat umum atau tenaga kesehatan untuk mendukung penggunaan antimikroba yang bijak? Dalam tulisan ini nantinya akan dibahas satu per satu terkait pertanyaan-pertanyaan tadi. Penggunaan antimikroba secara bijak ialah penggunaan antimikroba yang sesuai dengan penyebab infeksi dengan rejimen dosis optimal, lama pemberian optimal, efek samping minimal, dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba resisten. Resistensi antimikroba yang dimaksud adalah resistensi terhadap antimikroba yang efektif untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit. Antimikroba sebaiknya digunakan atas rekomendasi dari dokter yang ditandai adanya peresepan oleh dokter. Bakteri adalah penyebab infeksi terbanyak maka penggunaan antimikroba yang sesuai adalah penggunaan antibiotik. Antibiotik ini termasuk salah satu jenis dari golongan antimikroba juga. Tidak semua penyakit perlu mendapatkan terapi antibiotik, hanya penyakit yang disebabkan infeksi bakteri yang perlu mendapat terapi antibiotik. Antibiotik juga harus digunakan sesuai aturan pakai yang disarankan oleh dokter, jika antibiotik diminum berlebihan atau kurang dari jumlah obat yang seharusnya diminum (tidak sampai habis), dapat menyebabkan munculnya permasalahan resistensi antibiotik. Resistensi antibiotik adalah kondisi dimana bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik, Sehingga, antibiotik yang awalnya efektif untuk pengobatan infeksi menjadi tidak efektif lagi. Resistensi bakteri terhadap antibiotika terus meningkat di seluruh dunia. Merujuk pada data yang disajikan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 8 tahun 2015, hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) tahun 2000-2005 pada 2494 individu di masyarakat, memperlihatkan bahwa 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Sedangkan pada 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa masalah resistensi antimikroba juga terjadi di Indonesia. Selain itu, tingkat resistensi yang tinggi diantara antibiotik yang sering digunakan yaitu penggunaan antibiotik pada infeksi saluran kemih dan diare. Misalnya, tingkat resistensi terhadap ciprofloxacin, antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih, bervariasi dari 8,4% hingga 92,9% di 33 negara yang melaporkan (WHO, 2020). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa resistensi antimikroba menjadi salah satu masalah yang berkembang pesat di seluruh dunia dan menyebabkan ancaman serius bagi kesehatan global. Terlebih lagi pengembangan obat antimikroba baru masih dalam kondisi stagnasi. Dikhawatirkan nantinya kita akan menghadapi risiko masa depan di mana infeksi yang hari ini dianggap kecil bisa muncul kembali sebagai ancaman Kesehatan yang serius dan penyebab utama kematian (WHO, 2015). Sudah waktunya semua pihak mulai dari masyarakat umum hingga tenaga kesehatan lebih mengambil peran dalam pencegahan resistensi antimikroba. Berdasarkan data yang ada, antibiotik sendiri dapat dibeli tanpa resep di 64% negara Asia Tenggara. The Center for Disease Control and Prevention in USA pada tahun 2015 menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotika yang tidak diperlukan (unnescecery prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahun (Hartadi, 2020). Adapun peran yang bisa kami lakukan sebagai tenaga kesehatan apoteker dan assistant apoteker yaitu melakukan kontrol pelayanan obat agar pemberian antibiotik maupun jenis antimikroba lainnya hanya bisa diberikan ke pasien jika ada resep dokter. Hal ini sangat memerlukan ketegasan dari pihak tenaga kesehatan agar tidak sembarangan menjual atau memberikan antimikorba ke pasien. Selain itu tenaga kesehatan juga berperan dalam mengupayakan kepatuhan pasien dalam penggunaan antibiotik sesuai aturan pakai yang disarankan. Tenaga kesehatan juga perlu menggencarkan edukasi ke masyarakat terkait penggunaan antimikorba secara bijak dan mengedukasi terkait bahaya dari adanya resistensi antimikroba. Adapun peran masyarakat umum dalam pengendalian resistensi antimikroba yaitu dapat dimulai dari diri sendiri. Masyarakat harus sadar bahwa penggunaan antimikroba seperti antibiotik yang sembarangan justru bisa membahayakan kesehatan pasien, karena bisa menyebabkan munculnya resistensi antibiotik. Berikut ini sedikit contoh gambaran terkait terjadinya resistensi antibiotik. Seorang pasien dengan keluhan batuk berobat ke dokter umum dan mendapat resep obat pengencer dahak, obat peradangan dan antibiotik. Dokter meresepkan antibiotik tentunya dengan mempertimbangkan berbagai kondisi klinis pasien dan kondisi batuknya tersebut diduga disebabkan oleh infeksi bakteri. Akan tetapi karena pasien tersebut kurang teredukasi, akhirnya pasien menganggap setiap kali dia batuk membutuhkan antibiotik yang sama seperti yang dia pernah minum sebelumnya. Karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat, maka akhirnya menyebabkan bakteri penyebab batuk tadi menjadi resisten atau kebal dengan antibiotik tersebut, sehingga untuk menangani infeksi bakteri itu diperlukan penggunaan antibiotik lain dengan kelas terapi yang lebih tinggi atau dengan dosis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam mencegah semakin luasnya resistensi antimikroba. Dimulai dengan menjaga diri sendiri, keluarga, bahkan jika dimungkinkan membantu mengedukasi tetangga terdekat di sekitar rumahnya agar tidak menggunakan antibiotik maupun antimikroba lainnya tanpa resep dari dokter. Karena sakit kita saat ini belum tentu memerlukan terapi yang sama seperti saat sakit sebelumnya meskipun kita menganggap sakitnya memiliki gejala yang sama. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah ketika kita memang diharuskan menggunakan antimikroba, maka gunakanlah antimikroba itu secara tepat sesuai aturan pakai yang dianjurkan. Gunakan antimikroba tepat waktu, misalnya aturan pakai obat diminum tiga kali sehari maka obat diminum setiap 8 jam sekali, jika dua kali sehari maka obat diminum setiap 12 jam sekali. Gunakan antimikroba sesuai jumlah yang diresepkan, atau dengan kata lain penggunaannya harus sampai habis. Jangan pernah menghentikan pengobatan di tengah jalan meski gejala penyakit atau keluhan yang dirasakan sudah mereda, karena bakteri penyebab penyakit di tubuh belum tentu sudah hilang sepenuhnya. Gunakan antimikroba secara rutin, diusahakan tidak ada waktu pemberian obat yang terlewat. Jika melewatkan satu dosis antimikorba pada jam tertentu dan baru ingat 2–3 jam kemudian, segera minum dosis obat yang terlewat tersebut dan lanjutkan dosis antimikroba berikutnya. Namum jika jeda dengan jadwal konsumsi obat berikutnya terlalu dekat, abaikan dosis tersebut dan konsumsilah obat pada jadwal berikutnya untuk mengganti dosis yang terlewatkan. Adapun peran instansi pemerintah seperti Dinas Kesehatan ataupun instansi lainnya yang terkait, dapat berperan dalam pencegahan resistensi antimikroba, di antaranya yaitu dengan memastikan bahwa masyarakat mendapat informasi yang baik tentang penggunaan antimikorba yang tepat, mengevaluasi kampanye media massa untuk masyarakat umum yang bertujuan mencegah penggunaan antimikroba yang tidak perlu, melaksanakan pengendalian infeksi melalui pembuatan pedoman pengendalian infkesi dan memastikan panduan penggunaan antibiotik up to date, serta mendorong otoritas pengawas seperti BPOM agar dapat berpartisipasi lebih aktif. Dengan adanya peran aktif dari seluruh elemen dalam mewujudkan penggunaan antimikroba secara bijak, maka diharapkan dapat mencegah dan menurunkan angka kasus terjadinya resistensi antimikroba sehingga dapat mendukung peningkatan mutu kesehatan suatu bangsa. Salam sehat, Bersama Melawan Resistensi Antimikroba. (*/Apoteker Bontang) DAFTAR PUSTAKA World Health Organization. 2015. National Strategy Against Antibiotic Resistance 2015-2020. https://cdn.who.int/media/docs/default-source/antimicrobial-resistance/amr-spc-npm/nap-library/national-strategy-against-antibiotic-resistance-2015-2020.pdf?sfvrsn=3c7ded3a_1&download=true – Diakses November 2021 World Health Organization. 2020. Record Number of Countries Contribute Data Revealing Disturbing Rates of Antimicrobial Resistance. https://www.who.int/news/item/01-06-2020-record-number-of-countries-contribute-data-revealing-disturbing-rates-of-antimicrobial-resistance – Diakses November 2021 Hartadi, Erwan Budi. 2020. Darurat Resistensi Antibiotik di Indonesia. http://news.unair.ac.id/2020/01/03/darurat-resistensi-antibiotik-di-indonesia/ -Diakses November 2021
Penggunaan Antimikroba Secara Bijak Dapat Mencegah Resistensi
Rabu 24-11-2021,14:10 WIB
Editor : admin12_diskal
Kategori :