Samarinda, nomorsatukaltim.com – Sebanyak 16 dosen dari Universitas Mulawarman mengeluarkan respons terhadap press release yang dikeluarkan pihak rektorat Unmul. Mereka menganggap, pembatasan kebebasan akademik adalah kejahatan intelektual.
Diketahui, sengkarut ini bermula dari unggahan di media sosial BEM KM Unmul pada Selasa 2 November 2021. Termuat di situ, kalimat ‘SERUAN AKSI KALTIM BERDUKA, PATUNG ISTANA MERDEKA DATANG KE SAMARINDA’.
Seketika itu juga, unggahan tersebut menjadi viral. Saat berita ini dibuat, lebih dari 11 ribu orang menyukai dan 11,8 ribu kali dikomentari. Pro kontra memang terjadi.
Di tengah ketegangan, Universitas Mulawarman mengeluarkan pernyataan resmi pada 4 November 2021. Ada 6 poin pada rilis yang ditandatangani Rektor Unmul, Masjaya. Yang pada kesimpulannya, BEM KM dianggap telah keluar dari koridor dan diintruksikan meminta maaf pada Wakil Presiden, masyarakat, dan Unmul sendiri.
Respons dari rektorat ini kemudian disayangkan oleh 16 dosen Unmul dari berbagai fakultas. Mereka menyebut, penggunaan diksi ‘Patung Istana Merdeka’ yang dipakai oleh BEM KM adalah bentuk kritikan yang dikemas dalam kalimat metaforik dan sarkastik.
Sehingga, respons yang diberi atas pernyataan itu hendaknya mencakup persoalan yang menjadi alasan BEM KM membuat kritikan. Bukan hanya berputat pada penggunaan diksinya.
“Sayangnya, pro dan kontra ini tidak berkaitan sama sekali dengan subtansi kritik BEM KM terhadap Wakil Presiden. Publik justru dominan terlibat dalam pro dan kontra terhadap pilihan diksi "Patung Istana Merdeka" yang digunakan dalam unggahan BEM KM tersebut. Padahal membincangkan "isi", tentu jauh lebih baik daripada meributkan "kulit",” bunyi rilis yang diterima nomorsatukaltim.com – Disway News Network (DNN) pada Sabtu 6 November sore.
Jika pun ingin meributkan sisi luar dalam penyampaian kritik dari BEM KM, para dosen tersebut menilai bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh BEM KM mencerminkan tingkat intelektualitas yang mumpuni.
“Olehnya, membungkam dan berupaya mematikan gaya bahasa metafor berarti berupaya mematikan kecerdasan dan intelektualitas sang empunya metafor.”
“Adapun sarkasme sendiri serupa dengan kata-kata pedas, cemoohan, atau ejekan yang biasanya dibungkus dengan perumpamaan dan sedikit humor.”
“Dan dalam tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah. Dan dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah.”
“Terlebih terhadap pejabat publik yang cenderung menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan rakyat. Yang tidak lumrah adalah, justru pejabat publik yang tipis telinga, anti kritik, bereaksi berlebihan, dan punya kebiasaan menyerang balik para pengkritiknya,” lanjutan isi rilis tersebut.
Terkait dengan diksi "Patung Istana Merdeka", kata rilis tersebut, mestinya publik memahami konteks di baliknya. Dan itu sudah dijawab oleh BEM KM Unmul sendiri dalam beberapa kesempatan. Intinya, Wakil Presiden dianggap terkesan lebih berdiam diri dan menghindar dari riuhnya protes publik terhadap kebijakan Pemerintah yang selama ini jauh dari harapan publik.
Padahalnya layaknya Presiden, Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki tanggung jawab penuh untuk bertindak memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi mutlak, kalimat metaforik bernada sarkastik "Patung Istana Merdeka" ini adalah kritik kepada Wakil Presiden yang dianggap gagal menjalankan fungsinya, bukan terhadap pribadinya.
Di lain sisi, 16 dosen dimaksud menyayangkan respons yang diberikan oleh Unmul terhadap BEM KM Unmul. Dalam hal, BEM diintruksikan meminta maaf pada Ma’ruf Amin, masyarakat, dan Unmul. Serta akan adanya tindakan internal pada BEM. Itu disebut mereka sebagai bentuk pembatasan kebebasan berpendapat civitas akademik.