Perusda Anak Pinak

Selasa 12-10-2021,00:04 WIB
Reporter : Devi Alamsyah
Editor : Devi Alamsyah

EDISI  ngobrol podcast kali ini cukup seru. Edy Kurniawan, direktur utama Perusda PT Migas Mandiri Pratama (MMP) bercerita soal tantangan dirinya setelah menjabat. Kendati baru hitungan bulan, namun persoalan yang dihadapi sepertinya sudah menahun.

Edy bukan sosok baru di Kalimantan Timur. Ia berdarah Kutai dan lahir di Samarinda. Alumnus Universitas Mulawarman (Unmul) ini juga pernah berkiprah di dunia politik. Pernah duduk di DPRD Provinsi Kaltim di Komisi II. Pernah juga menjadi calon wakil wali kota Samarinda pada 2010 silam. Ketika itu Edy berpasangan dengan Ipong Muchlissoni sebagai calon wali kotanya. Namun gagal. Ipong akhirnya yang berhasil. Menjadi Bupati Ponorogo. Di tanah kelahirannya. Mulai 1 Juli 2021, Edy Kurniawan resmi menjabat direktur MMP. Melalui proses seleksi. MMP sendiri adalah perusahaan daerah milik pemerintah Provinsi Kaltim, sebagai pemegang sahamnya. Perusda MMP satu di antara yang kerap dibicarakan. MMP lah yang ditunjuk untuk mengelola dana participating interest (PI) 10 persen Blok Mahakam yang dikelola Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Berbicara mengenai PI, mungkin banyak yang sepakat dengan saya. Nyaman sekali. Tinggal terima duit tiap tahun. Kemudian dalam jumlah yang besar. Apalagi saat ini, sudah keluar Permen ESDM No 37 tahun 2016, di mana daerah melalui BUMD tidak disyaratkan lagi untuk penyertaan modal. Semua ditanggung kontraktor migas (KKKS). Atau dipinjami. Tanpa bunga pula. Tapi yang disampaikan Edy pada sesi podcast itu tidak senyaman asumsi saya. Uang PI tidak mengalir setiap tahun. Tergantung hasil dari produksi migas saat itu. Sementara operasional dan pajak menjadi biaya tetap. Edy mencatat hanya pada 2018, MMP mendapat kucuran besar. Angkanya hampir mencapai Rp 1 triliun. Uang tersebut dibagi dua; MMPKT 66,5 persen dan MGRM Kukar 33,5 persen. Tahun 2019, pendapatan PI dari PHM menurun. Pertamina tahun itu butuh investasi, sehingga keuntungannya dialokasikan untuk belanja modal.  “Tapi masih dapat, walau sedikit. Dan kita juga harus bayar pajaknya,” kata Edy. “Bagaimana dengan 2020?” tanya saya. “Nah, itu yang nol sama sekali. Kita malah harus bayar pajak dan operasional kantor”. Namun, tahun 2021 ini, Edy berharap ada pendapatan dari PI Blok Mahakam. Ia optimistis karena sudah ada laporan lifting hasil produksinya. Hanya angka pastinya belum dapat ia pastikan. Target ke depan jika semua operasional berjalan lancar, maka MMP bisa memberikan pendapatan ke kas daerah berkisar Rp 25 miliar. Sebetulnya tidak ada terget pastinya dari Pemprov Kaltim. Tergantung kondisi produksi migas. Tergantung pula pada SK Gubernur, berapa dana yang harus dimasukkan ke kas daerah. Itu landasan hukumnya. PT MMP tidak bisa mengeluarkan dana untuk kas daerah tanpa adanya SK Gubernur. Menurutnya, saat ini uang MMP masih ada Rp 218 miliar. Namun uang itu tertahan. Atau berencana untuk ditahan dan masuk kas daerah. Itu berdasarkan RUPS sebelumnya. Sebelum periode Edy. Dari angka tersebut disisihkan Rp 10 miliar. Itu bukan hanya untuk MMP. Dibagi lagi. Untuk CSR Rumah Sakit Islam Rp 2 miliar, kemudian untuk kerja sama produksi dengan East Kaltim di Penajam Rp 3 miliar dan WK Sangasanga Rp 3 miliar. Ok lah East Kaltim dan WK Sangasanga, kok tiba-tiba ada RS Islam? “Nah itu dia, enggak ngerti saya”. Berarti MMP hanya kebagian Rp 2 M selama setahun ini, apa yang bisa dilakukan dengan uang itu? “Ya enggak bisa apa-apa. Itu cukup hanya operasional gaji saja,” jawab Edy. Keputusan itu, kata Edy, berdasar pada Laporan Hasil Badan Pemeriksa Keuangan (LHBPK) perwakilan Kaltim. Laporan itu menyebutkan ada ketidaksesuaian dari laporan PT MMP. Namun, belakangan, kata Edy, setelah ditinjau kembali, semuanya sudah sesuai. Edy pun telah menghadap gubernur. Meminta peninjauan ulang atas keputusan RUPS tersebut. Gubernur Isran sudah kasih lampu hijau. Kemungkinan akan digelar RUPS Luar Biasa. Edy diminta menyampaikan hasil tinjauannya. Termasuk berapa kebutuhan investasi MMP. Edy memahami anggapan masyarakat soal MMP. Karena tidak dapat dimungkiri, beberapa fakta soal perusda berakhir kelabu. Salah satu contoh PT Agro Kaltim Utama (AKU) yang kini tengah bermasalah. Atau di Kukar ada PT Mahakam Gerbang Raja Migas (MGRM)—perusda Kukar yang juga tengah berkasus. Dan masih banyak lainnya. Pokoknya seabrek kritikan soal perusda. Padahal seyogianya, perusahaan daerah bisa sejalan dengan program pemerintah daerah. Menjadi mitra. Karena selain profit, BUMD juga punya tugas sebagai agen pembangunan. Misalnya, jika pemerintah memiliki visi membangun industri hilir di Kaltim, nah bagaimana perusda yang berkaitan bisa mendorong terjadinya hilirsasi. Tentu di masing-masing bidang yang digeluti. Untuk mewujudkan itu, pertama memang harus ada komitmen dari pemerintah sebagai pemegang saham. Kemudian juga dari legislatif dan stakeholder lainnya. Soal ini, saya teringat diskusi dengan Darmawan Prasodjo sekitar tahun 2014-2015 lalu. Ketika itu saya diajak Kristanto Hartadi, kepala Urusan Media Total E&P Indonesie (TEPI). Jauh sebelum itu, Darmawan seorang IT portal media Astaga.com. Yang popoler di tahun 2000-an. Sebelum kemudian dia melanjutkan Ph.D-nya ke Amerika. Pemimpin Redaksi Astaga.com ketika itu, ya Kristanto Hartadi itu. Di Amerika, Darmawan ternyata menjadi salah seorang pakar industri migas. Analisa soal migas beberapa kali muncul di media di AS. Pulang ke Indonesia masuk jalur politik. Bahkan, kalau tidak keliru dia masuk staf ahlinya Presiden Jokowi. Mungkin saja, Darmawan lah yang mengusulkan Arcandra Tahar, wamen ESDM, yang sama-sama “besar” di Amerika. Menekuni jalur politik, karier Darmawan pun kian melejit. Pada 2019 lalu, Darmawan yang kelahiran Magelang itu sudah diangkat menjadi Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero). Kembali ketika kami ngobrol soal migas. Darmawan menyampaikan soal bangaimana membangun industri migas nasional. Yang menjadi contoh adalah Pertamina. Menurutnya, Pertamina akan sulit berkembang karena dari laba yang diperoleh hanya 5 persen yang kembali ke Pertamina. Sebagian besar labanya masuk postur APBN. Dilema. Satu sisi Pertamina didorong untuk berkembang. Tapi disisi lain, postur APBN kita kurang. Dan itu sangat rawan sekali, kata Darmawan. Ia membandingkan dengan Petroliam Nasional Berhad (Petronas), Malaysia. Yang pada awalnya 100 persen laba Petronas untuk pengembangan perusahaan. Setelah besar, terbalik. Akhirnya Petronas lah yang memberikan porsi besar terhadap APBN Malaysia. Jika ditarik ke daerah, komitmen pemerintah daerah untuk mendorong BUMD berkembang sangat menentukan sekali. Kalau baca berita, hampir setiap tahun persoalannya sama; tambahan modal, aset, perusahaan induk dan anak-anaknya merugi, pengurusnya lari hingga menyangkut masalah korupsi. Saya pernah juga ngobrol dengan Direktur Perusda PT Melati Bhakti Satya (MBS) Agus Dwitarto, tahun lalu. Ketika tengah ramai-ramainya MBS disorot Komisi II DPRD Kaltim. Ternyata ada pandangan berbeda antara DPRD, pemerintah dan pengurus BUMD. Mulai soal aset, setoran ke kas daerah hingga prihal pengelolaan perusahaan. Perbedaan pandangan itu yang harusnya mulai disamakan, supaya lebih seirama. Selain itu, yang perlu diperhatikan lagi adalah soal SDM. Menurut saya, perusda atau BUMD dapat didorong sebagai jabatan karier. Jangan ditarik ke wilayah politik. Apalagi ada istilah titip menitip. Mulai dikader ketika menjadi karyawan baru. Dari petugas lapangan, kemudian naik jadi staf, staf bisa naik koordinator staf, kemudian manajer dan bahkan berpeluang jadi direktur. Perbaikan SDM bisa dimulai dari rekruitmen karyawan. Mengedepankan sisi profesionalisme dan kompetisi yang sehat. Menjaring lulusan baru yang berkualitas di bidangnya. Karena SDM ini nantinya yang menjadi kunci perusda itu bisa berkembang atau tidak. Jadi, rekrtuitem direksi tak mesti dilakukan seleksi dengan menjaring dari pihak luar. Pemerintah bisa memperioritaskan SDM di internal perusahaan sendiri. Cukup dengan fit and proper test. Toh mereka lah yang sudah menguasai bidang pekerjaannya. Kecuali jika di pandang dari internal perusahaan belum ada yang memenuhi kualifikasi. Ketiga, disarankan kepada pengurus BUMD agar jangan tergiur dulu untuk beranak-pinak. Harus ikut program KB dulu. Disini peran pemeritah dan DPRD atau lembaga pengawas lainnya menjadi penting. Ketika mendirikan anak perusahaan atau cucu cicit, tentu ada cost-nya. Mulai gaji karyawan, operasional, pajak hingga fasilitas kantor. Semua itu akan menjadi biaya tetap yang mesti dikeluarkan. Jangan berharap semua biaya itu menjadi bebannya APBD. Bahkan, ada informasi menyebut ada direktur anak perusahaan BUMD yang bergaji ratusan juta rupiah. Sejak awal didirikan perusahaan itu. Padahal selama perjalanannya perusahaanya merugi. Invoicenya banyak tidak tertagih. Sebetulnya sah-sah saja bergaji besar jika itu sebanding dengan pendapatannya. Bisa juga menggandeng perusahaan swasta lokal. Yang memiliki kapastitas dan jejak rekam baik. Itu dapat memberi peluang pada pelaku usaha di daerah. Dengan begitu tidak ada beban fixed cost dan mengurangi risiko jika merugi. Pertanyaannya, pendapatannya berkurang dong? Secara langsung mungkin iya. Tapi, ketika perusda mampu menggerek pelaku usaha lokal tentu akan berpengaruh pada bergairahnya sektor ekonomi daerah. Sebut saja penyerapan tenaga kerja, pajak hingga daya beli masyarakat secara lebih luas. Bukannya itu yang jadi visi daerah? Jika secara hitung-hitungan masuk dan dianggap perlu membuat anak perusahaan, barulah di lepas program KB-nya. Tapi jangan dulu menerapkan skema yang gemuk. Bila performanya membaik dan peluangnya semakin besar, baru skema dan strukturnya ditingkatkan secara bertahap. Sebagai agen pembangunan, seyogianya perusda juga bisa memberi jalan kepada para pelaku usaha lokal. Makanya sektor yang digarap adalah yang penting, potensial dan sulit bagi perusahaan lokal kecil untuk mengaksesnya. Karena asumsinya perusda memiliki power lebih. Punya akses. Punya modal dan aset yang di-support pemerintah daerah. Kita tentu berharap perusahaan daerah itu bisa menjadi kebanggaan bagi warga Kaltim dan berpendapatan optimal. Bagiamana dengan Anda? (*/Jurnalis)
Tags :
Kategori :

Terkait