Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Berbagai langkah strategis terus dilakukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam mengejar target lifting 1 juta BOPD minyak dan 12 BSCFD gas pada tahun 2030. Pencapaian target ini penting sebagai langkah mewujudkan ketahanan energi nasional. Awal pekan ini, SKK Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyelenggarakan 2nd CEO Forum 2021: “Recovering From Pandemic Covid-19: Toward Strong Growth 2022”. Kegiatan ini mendapat perhatian luas dari para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Terbukti, sebanyak 150 pimpinan KKKS produksi dan eksplorasi, ambil bagian. Ini merupakan konsolidasi skala besar yang bertujuan menyelaraskan strategi dan program kerja hulu migas jangka pendek menghadapi target lifting 2022 dan jangka panjang 1 juta BOPD (barel minyak per hari) dan 12 BSCFD (miliar kaki kubik per hari) pada tahun 2030. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya SKK Migas untuk berdiskusi dengan para pimpinan KKKS agar memperoleh komitmen visi jangka panjang industri hulu migas tahun 2030. Dalam pertemuan itu berbagai masukan atau dukungan disampaikan KKKS untuk merealisasi kegiatan-kegiatan jangka pendek maupun jangka panjang. Berbagai masukan disampaikan KKKS terkait hambatan yang dialami dalam meningkatkan produksi melalui investasi maupun pengembangan lapangan. Hambatan yang dirasakan antara lain bidang pengadaan, perizinan, pertanahan, serta usulan insentif. “Sebagian besar KKKS mengapresiasi transformasi SKK Migas dalam hal mempercepat proses bisnis. Namun selain percepatan proses, masih ada kendala lain yang dihadapi KKKS di lapangan. Berdasarkan survei yang dilakukan tadi, KKKS mengatakan kendala masalah pertanahan dan perizinan adalah penyebab utama kegagalan operasi. Hal ini tentunya perlu ditangani segera,” kata Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto. Acara yang dihadiri Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial itu merupakan salah satu upaya menyelaraskan strategi dan program kerja hulu migas jangka pendek. “Semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini menyadari pentingnya pelaksanaan program demi ketahanan energi Indonesia di masa depan,” kata Ego Syahrial. Chief Executive Officer Pertamina Hulu Energi, Budiman Parhusip optimistis target yang dibebankan kepada Pertamina bisa tercapai. “Sebagai pengelola wilayah kerja terbesar di Indonesia, tentunya performance Pertamina menjadi sangat dominan. Kami optimistis dapat mencapai target yang diembankan,” ujarnya. Sementara Direktur Utama Medco E&P Ronald Gunawan mengapresiasi langkah-langkah tranformasi SKK Migas. Salah satunya adalah One Door Service Policy (ODSP). “Penerapan ODSP sudah cukup baik, kami berharap SKK Migas dapat terus melakukan continuous improvement, sehingga SKK Migas dan KKKS dapat lebih fokus kepada hal-hal krusial lainnya, ungkapnya. Dalam pernyataan yang dilansir Katadata, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menjelaskan butuh tambahan produksi minyak 350 ribu barel per hari di 2030. Untuk mengejarnya, perlu tambahan rata-rata produksi 40 ribu barel per hari setiap tahun dalam waktu kurang dari sembilan tahun ini. Makanya untuk bisa meningkatkan produksi minyak, perlu dukungan semua pihak. Terutama kontribusi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas yang sangat diharapkan. Saat ini terdapat 15 KKKS besar yang beroperasi di Indonesia memiliki produksi di atas 5 ribu barel per hari dan 5 KKKS dengan produksi skala kecil. Artinya, jika ditotal terdapat 20 KKKS yang dapat berkontribusi dalam mendongkrak kenaikan produksi. * Percepat EOR Dalam pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini, percepatan penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan-lapangan yang potensial bisa mendorong peningkatan produksi. "Waktu penerapan EOR perlu dipercepat. Harapannya EOR ini bisa berkontribusi signifikan di tahun 2030," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Tutuka Ariadji dalam webinar yang diadakan oleh IPB, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Petrokimia Gresik dan Komunitas Migas Indonesia (KMI), Sabtu (14/8). Percepatan penerapan EOR dilakukan dengan dua strategi. Pertama, penyederhanan timeline proyek EOR yaitu melaksanakan lab analysis bersamaan dengan pilot test pada skala sumuran sebagai kegiatan tahap reservoir description. Cara ini mempersingkat timeline EOR dari 8 tahun menjadi hanya 4-5 tahun. Strategi kedua, road map well to well EOR menuju Field Scale EOR yang dimulai dengan injeksi sumuran/well field trials secara bertahap hingga tujuan akhir berupa full field scale EOR implementation, dengan fokus mempelajari teknis implementasi dan konsiderasi non-teknis dengan skala sumuran dan pre-conditioning lapangan untuk menuju EOR full-field scale. Salah satu lapangan yang telah menggunakan teknologi EOR adalah Lapangan Duri di Wilayah Kerja Rokan dengan teknologi injeksi uap (steam flood), membuat produksi dari lapangan tersebut lebih banyak dibandingkan lapangan konvensional. Diperkirakan produksi dari lapangan ini akan berkontribusi besar pada tahun 2030. Selain di Lapangan Duri, kegiatan EOR yang tengah diuji coba adalah Lapangan Tanjung (PEP) dengan menggunakan polymer injection. Sementara kegiatan EOR yang telah field trial namun on hold untuk full field scale adalah Lapangan Kaji (Medco EP Rimau) dengan menggunakan surfactant polymer injection dan Lapangan Minas (PHR) dengan menggunakan alkaline surfactant polymer injection. Teknologi EOR rencananya juga akan dilakukan pada 2020-2021 di Lapangan Gemah (Petrochina Jabung) dan Lapangan Jatibarang (PEP). Keduanya menggunakan CO2 injection. Selain itu, Lapangan Tanjung (PEP) dengan menggunakan surfactant dan Lapangan Sukowati (PEP) di mana saat ini masih dalam tahap studi subsurface dan lab. Untuk mendukung kelancaran penerapan EOR, menurut Tutuka, Pemerintah meminta PT Pertamina membentuk gugus tugas yang memonitor dan melakukan perencanaan dalam implementasi EOR. Mantan Direktur Politeknik Balikpapan itu mendorong pelaksanaan EOR dilakukan lebih masif, antara lain menggunakan surfactant yang memiliki sejumlah keunggulan. Namun demikian, salah satu kendala dalam penggunaan surfactant adalah faktor harga yang dapat mempengaruhi keekonomian pelaksanaan teknologi EOR. "Kalau kita di Indonesia berhasil membuat surfactant dan harganya ekonomis untuk penerapan EOR, saya optimis proyek ini bisa berjalan," katanya. * Regulasi Kunci Genjot Produksi Upaya memenuhi pencapaian target lifting migas dipengaruhi banyak faktor. Akademisi STT Migas Balikpapan Andi Jumardi menyebut regulasi adalah yang paling penting dari semua itu. Ia menyebut terbitnya Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2020 sebagai langkah positif meningkatkan capaian lifting. Dalam beleid terbaru ini ada kelenturan regulasi. Perusahaan dengan kontrak baru bisa memilih antara skema kontrak gross split atau cost recovery. “Pemerintah mulai serius membenahi dunia hulu migas. Lebih friendly dalam investasi. Gong utamanya memang ada pada regulasi,” sebut Andi kepada Disway Kaltim, baru-baru ini. Regulasi yang ada saat ini disebut sudah sangat lentur. Seperti membuka peluang lebih besar untuk mengejar target lifting minyak 1 juta barrel oil per day (BOPD) dan gas 12 billion standard cubic feet per day (BSCFD) pada 2030. Lebih jauh soal itu, Andi menyebut beberapa terminologi dalam cadangan migas. Probable, possible, dan proven. Secara deterministik cadangan berstatus proven 90 persen sudah pasti berhasil. Hanya saja untuk menuju level itu ada investasi yang harus dilakukan. “Artinya adalah, kalau mau menambah cadangan, satu- satunya jalan adalah melakukan eksplorasi. Kalau mau eksplorasi, maka harus ada investasi,” singkatnya. Andi berpandangan eksplorasi penting tetap dilakukan. Sembari terus memproduksikan minyak dan gas dari lapangan yang ada. Berbicara produksi, kata dia, adalah satu langkah setelah menemukan lapangan yang punya cadangan. Meski ada kajian lagi melihat apakah lapangan itu memiliki nilai ekonomis atau tidak. Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) bisa dikatakan sebagai rencana pendek menengah yang bisa dilakukan menggenjot produksi migas. Sebab pekerjaan eksplorasi membutuhkan waktu yang sangat panjang. Dan investasinya juga membutuhkan dana yang besar. Sementara EOR prinsipnya mengoptimalisasi lapangan yang sudah ada. Tinggal menerapkan teknologinya saja. “EOR akan jauh relevan, tapi eksplorasi tetap harus dilakukan untuk jangka panjang.” Satu lagi langkah yang dilakukan adalah dengan mengakuisisi lapangan-lapangan migas di luar negeri, katanya. * Sangat Prospektif Indonesia memiliki 128 cekungan migas. Di mana 20 di antaranya sudah berproduksi. Lalu, 27 cekungan telah ditemukan adanya hidrokarbon namun belum berproduksi. Sementara 13 cekungan belum ditemukan dan sebanyak 68 belum dilakukan pemboran. Potensi ini masih sangat memungkinkan menuju target lifting minyak 1 juta BOPD dan gas sebesar 12 BSCFD. Agar bisa mandiri memenuhi kebutuhan domestik. Karena sejauh ini masih dipenuhi dengan impor. Dari laporan capaian semester I-2021, SKK Migas merilis angka lifting minyak sebesar 667 ribu BOPD. Sementara target yang ditetapkan sebesar 705 ribu BOPD. Dengan kebutuhan per hari secara nasional sebesar 1,5 juta BOPD. Minus 900 ribuan BOPD yang ditutupi dengan impor. Sedangkan gas, mencatatkan lifting 5.430 MMSCFD (setara 1.636 ribu BOEPD). Dengan target 5.638 MMSCFD (setara 1.712 ribu BOEPD). “Sederhananya saja, saat ini saja tidak bisa mempertahankan lifting di 700 ribu BOPD, bagaimana mau mengejar 1 juta BOPD pada 2030?” kata Andi Jumardi. Untuk itulah pelbagai langkah strategis dan tepat perlu diwujudkan. Yang juga butuh dukungan semua pihak. Dari pusat sampai ke daerah, tidak terkecuali masyarakat di sekitar daerah operasi lapangan migas. Pemerintah melalui SKK Migas, sudah melakukan beberapa Langkah mengejar target itu. Pertama, merubah reserve to produce (RtoP). Yakni memproduksikan cadangan yang ada (remaining reserve). Dalam kebijakan energi hal itu disebut dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Menggenjot produksi dari lapangan yang sudah ada. Di samping menggiatkan kegiatan eksplorasi. Yang berpeluang pada 68 cekungan. Kemudian, program yang juga diandalkan adalah EOR. Metode ini memang dikenal high technology dan high investment. Akan tetapi jauh lebih relevan ketimbang mencari dan menemukan lapangan baru. Andi menilai adanya paradigma keliru tentang capaian lifting migas saat ini. Banyak pihak beranggapan lifting migas akan sustainable atau sama sampai bertahun-tahun ke depan. Sehingga seolah-olah hanya mencari penambal kurangnya kebutuhan terhadap konsumsi migas saat ini. Padahal untuk mempertahankan lifting setiap harinya adalah pekerjaan yang sulit. “Katakanlah hari ini kita mendapatkan 669 ribu BOPD, besok berpotensi turun. Kalau kita tidak melakukan kegiatan di sisi hulu migas pasti akan turun. Karena itu memang terjadi secara alamiah,” jelasnya. Sederhananya, Andi bilang, jiika ditanya hal apa yang paling menyebabkan lifting turun, karena tidak ada atau minimnya investasi. “Bahkan kita (hulu migas) sudah melakukan kegiatan pun masih bisa turun, karena itu normal. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa. Bisa terjun bebas,” tambahnya. Oleh karena itu, Andi menyebut sudah saatnya semua pihak berpikir menemukan lapangan-lapangan migas baru. Tanpa mengurangi dukungan pada lapangan lama yang sudah mature. “Karena lapangan (migas) andalan kita sudah decline. Kalua tidak di-treatment pasti akan habis.” Maka, Andi menyebut semua pihak perlu meluruskan paradigma tentang hal itu. “Kalau sektor hulu itu tidak bekerja, pasti akan jauh menurun. Kalau sudah begitu maka impor akan semakin tinggi,” sebutnya. Langkah itu, kata Andi Jumardi, harus dimulai sekarang, kalau pemerintah ingin mewujudkan kemandirian energi. (RYN/ENI)
Mewujudkan Target 1 Juta Barrel Demi Ketahanan Energi
Kamis 30-09-2021,16:00 WIB
Editor : Benny
Kategori :