Ilustrasi. (int)
Usai pelantikan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju. Ada lagi kabar baru.
Banyak yang dag dig dug, terutama dari kalangan politisi. Yang dalam kompetisi kabinet, menelan kekecewaan. Karena tak termasuk pilihan.
Kini harapan seolah hadir kembali. Semua menanti. Siapa saja nanti wakil menteri yang kelak bakal dipilih.
Mencuatnya penambahan wamen atau wakil menteri, dipicu permintaan Menteri BUMN Erick Thohir. Ia meminta pada Jokowi untuk dibantu tiga sampai lima wamen.
Saat masih Ketua Timses Jokowi di Pilpres. Pak Erick pernah mengeluarkan statement tentang penolakannya, bila ditawari jadi menteri. Kini, alih-alih ditolak. Setelah dilantik jadi menteri, ia justru meminta wakil menteri. Sah-sah saja.
Apalagi, permintaan wamen bukan hal baru. Regulasi telah mengaturnya. Ketentuan jabatan ini termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri.
Regulasi itu diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Juni 2012. Mencuatnya wacana penambahan wamen di Kabinet Indonesia Maju, mengingatkan kita. Pada era SBY.
Di era pemerintahan Pak SBY, ada 19 wakil menteri yang melengkapi Kabinet Indonesia Bersatu II. Persisnya pada periode 2009-2014.
Semua berharap, idealnya, wamen diisi orang-orang kapabel. Utamanya mereka yang memiliki karir di kementerian terkait. Jika pun harus diisi orang luar, paling tidak dari kalangan profesional.
Tapi, apa mungkin nantinya bakal diisi dari para pejabat karir? Yang benar-benar mengetahui seluk beluk birokrasi. Juga masalah-masalah di kementerian.
Tapi, mustahil sepertinya. Sebab, kabinet yang sudah dilantik saja tetap tercium aroma bau-bau kompromi politis.
Komposisi menteri terdiri dari 55% kalangan profesional. Sisanya, atau sebanyak 45% berasal dari politisi. Mereka berasal dari enam parpol.
Yakni, PDIP (5 menteri), Golkar, NasDem, PKB masing-masing (3), Gerindra (2), dan PPP (1). Dari jumlah itu, terbanyak PDIP. Yakni mengisi 13% komposisi kabinet.
Mau tak mau, posisi wamen bakal kompromi lagi. Bisa jadi gabungan profesional dan politisi juga. Terutama dari parpol berkeringat yang belum kebagian jatah.
Tak menutup kemungkinan bisa juga nanti ada yang dari Tim Sukses. Seperti Erick Thohir, sang Ketua Tim Kampanye Nasional. Bisa pula dari delegasi relawan Jokowi. Projo, misalnya.
Untuk pejabat karir dari kementerian terkait. Rasa-rasanya tipis sekali kesempatannya. Jika, ada porsinya kecil. Apa mau dikata, relaitas politik kita saat ini memang penuh kompromi.
Terlebih dengan sistem presidensial. Yang didukung koalisi super jumbo. Suka tak suka bakal ada kompromi. Untuk memformulasikan kursi wakil menteri.
Barangkali win-win solutionnya: profesional ada, dari kalangan politisi atau parpol juga ada. Masalah ideal sesuai kapasitas dan kapabilitas, nanti dulu. Kompromi dulu. Hitung dulu, siapa dapat berapa.
Ya, kita tunggu saja. Apakah pada akhirnya muncul kompromi: wakil menteri tetap diisi profesional dan politisi. Seperti di kabinet. Atau didominasi pejabat karir kementerian terkait.
Omong-omong soal kompromi. Jadi teringat suhu politik di Balikpapan. Jelang Pilkada tahun depan. PDIP menjadi kuncian. Semua menanti: siapa kandidat yang diusung PDIP?
Sejauh ini nama Pak Safaruddin, mantan Kapolda Kaltim. Yang juga Ketua PDIP Kaltim, yang paling mencuat. Politisi DPR RI ini, digadang-gadang calon tunggal terkuat untuk head to head dengan Pak Rahmad Mas'ud. Sang inkubmen dari Golkar.
Kalau Pak Safaruddin maju, Pilkada dipastikan berjalan seru. Tapi kalau hitung-hitungan laba rugi, untuk apa maju. Rugi pula melepas status anggota DPR RI. Iya kalau menang. Kalau kalah, rugi dua kali.
Kompromi saja dengan Golkar. Misalnya, Pak Safaruddin tidak maju. Tapi syaratnya Pak Rahmad Mas'ud menggandeng wakil dari PDIP. Semisal, Pak Thohari. Ketua DPC PDIP Balikpapan.
Jika hal itu terjadi. Rahmad Mas'ud berpasangan dengan Thohari. Selesai bola-bola. Sama saja Pilkada belum mulai, tapi pemenangnya sudah ada.
Eits tunggu dulu. Kata siapa begitu? Belum tentu pasangan ini menang. Anggap lah Rahmad Mas'ud berpasangan dengan Thohari.
Lalu, bagaimana kalau terjadi koalisi besar-besaran melawan mereka? Tenang. Koalisi itu tak berpengaruh.
Mesin politik Golkar dan PDIP sedang berada di masa puncaknya. Seiring masa puncak Bani Mas'ud, keluarga besar Rahmad Mas'ud. Didukung pula kekuatan finansial tak berseri. Dan mesin buzzer di sosmed.
Tinggal keluarkan jurus loba lobi kompromi. Untuk merayu koalisi besar-besaran yang ingin melawan.
PR nya, tinggal satu kompromi lagi: menciptakan kandidat boneka. Terserah siapa saja kandidatnya. Sekadar untuk seru-seruan. Jadi tiga atau empat pasang.
Biar Pilkada terlihat ramai dan tetap berjalan. Tidak melawan kotak kosong. Toh, Golkar dan PDIP sama-sama mau juara kan? Menjaga hegemoni di kursi legislatif Balikpapan.
Mengikuti jejak pusat. Tidak salah kan, kompromi untuk sama-sama cari kemenangan? Yang penting, tidak ada hukum positif yang dilanggar.
Apalagi di tingkat nasional, Golkar dan PDIP memang berkoalisi. Daerah, tinggal ikut saja. Termasuk ikuti jejak hegemoni kursi di legislatif dan eksekutif pusat.
Cari kepentingan yang sama dulu, kemenangan dulu. Maka kompromi politis lah, salah satu jalan instannya. Yang penting seluruh kandidat dan pendukungnya damai, semua partai gembira.
Apa nanti skemanya akan seperti itu, tuan puan? Jika, ya. Untuk apa ada Pilkada? Kalau sekadar berkompromi dengan sandiwara. Lebih baik, anggarannya untuk mengatasi masalah Balikpapan. Yang beraneka rupa.
*Jurnalis.