Organisasi Buruh Tak Satu Suara soal Kenaikan UMP

Senin 21-10-2019,21:10 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Nason Nadeak. (Istimewa) Samarinda, DiswayKaltim.com – Asosiasi buruh di Kaltim tak satu suara. Menyikapi kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan. Terkait peningkatan 8,51 persen Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2020. Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kaltim Amir P Ali mendukung kebijakan pemerintah pusat itu. Menurutnya, kenaikan UMP sudah sesuai harapan buruh di Bumi Etam. “Pas saja itu. Kalau dilihat selama ini. Saya lihat dari kondisi sekarang. Itu sudah sesuai. UMK sekarang Rp 2,7 juta. Berarti sekitar Rp 3 juta kalau naiknya segitu,” sebut Amir kepada diswaykaltim.com, Senin (21/10/2019). Ketua Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI) Kaltim Nason Nadeak tak sependapat dengan Amir. Ia menegaskan, kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan tak mempertimbangkan tingkat kebutuhan buruh di setiap provinsi. Padahal, harga kebutuhan pokok di setiap provinsi di Indonesia berbeda-beda. Keputusan itu dinilai Nason mendahului Dewan Pengupahan. Yang mestinya memahami tuntutan dan harapan buruh di setiap daerah. “Untuk apa ada Dewan Pengupahan kalau begini. Percuma dong mereka digaji. Habiskan uang negara saja,” tegasnya. Pun begitu dengan kenaikan UMP 2020 sebesar 8,51 persen. Menurutnya, tak sesuai kebutuhan buruh di Kaltim. Jika dikalkulasi dengan UMP di Bumi Etam saat ini, tahun depan upah buruh akan naik menjadi Rp 2.981.378,72. Nason menghitung kebutuhan setiap buruh yang sudah memiliki anak. Dari kontrakan, air, listrik, konsumsi harian, transportasi, dan lainnya. Kebutuhan bulanannya lebih dari Rp 3 juta. Itu belum termasuk kebutuhan tersier. Baru kebutuhan mendesak. “Anggap saja buruh punya dua anak dan seorang istri. Masa uang segitu bisa digunakan selama sebulan?” sesalnya. Ia menyarankan penentuan besaran UMP ditetapkan sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dewan Pengupahan terlebih dahulu menyurvei harga kebutuhan pokok seorang buruh yang masih lajang. “UMP itu sebetulnya untuk buruh yang masih bujang. Bukan untuk buruh yang sudah menikah. Selama ini disamakan. Makanya saya tekankan, kembalikan kebijakan UMP kepada Dewan Pengupahan,” desaknya. (qn/eny)

Tags :
Kategori :

Terkait