Abdul Malik: Dai yang Banyak Mendengar

Senin 28-06-2021,10:00 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

MENJADI anggota dewan bukan cita-cita Abdul Malik sewaktu muda. Pria kelahiran Ponorogo, 12 Juni 1966 silam itu sudah berniat untuk menjadi dai atau penceramah. Keinginan itu pun turut mendapat restu orang tua, apalagi mengetahui anaknya akan merantau ke Kalimantan.

Bontang, nomorsatukaltim.com - Usai menyelesaikan pengabdian di sebuah panti asuhan di Bogor, ia pun berangkat ke Samarinda, Juli 1990. Tak langsung menjadi dai. Lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo ini mengawali perjalanannya di Bumi Etam sebagai penjual koran. “Waktu itu program pengiriman dai ke daerah transmigran ditunda, jadi pekerjaan saya sebelum itu banyak, macam-macam,” kata Malik, sapaan akrabnya saat ditemui di kediamannya. Menjadi buruh bangunan pun pernah dilakoninya. Semata memenuhi kebutuhan hidup di Kota Tepian, kala itu. Hingga pada 1991, ia terjatuh sakit. Berbaring di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD AW Sjahranie selama 17 hari. Apalagi, saat itu ruangannya bersebelahan dengan kamar jenazah. “Tiap hari melihat ada yang meninggal, dibawa ke kamar jenazah, samping kiri dan kanan ganti-gantian meninggal,” kenangnya. Di saat itulah, jadi ajang Malik introspeksi diri dan kembali meluruskan niat, tentang cita-cita yang diinginkannya menjadi seorang penceramah. Kesempatan itu bersambut, kala KH Abdul Majid, alumni Gontor dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kaltim waktu itu, menawarkan kesempatan menjadi pembina mental dan rohani di Bontang. Tugasnya selain memahami persoalan di lapangan, juga membina umat, serta menjaga toleransi antar-umat beragama. Terlebih, lokasi Malik bertugas berada di daerah Kanaan, yang notabene banyak warga nonmuslim bermukim di sana. Cita-cita Malik menjadi dai dan penceramah pun sudah tercapai. Apakah selesai sampai di sini? Tentu tidak. Bergabungnya Malik sebagai anggota Partai Keadilan (PK) di kurun waktu 1998-1999, juga memulai perjalanan karier politiknya. Beberapa kali, ia menjadi calon anggota legislatif (caleg), kala Bontang masih berstatus kecamatan di Kabupaten Kutai. Hingga PK bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tercatat, dua kali ia dia di-calegkan oleh partai berlambang padi, dan dua bulan sabit itu. “Saya ditawari saja, awalnya diajak diskusi serius oleh anggota partai, ternyata sevisi dan sepaham, ya saya bergabung,” ujar pria yang pernah menjadi Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Bontang ini. Pencalonannya pun berhasil kala kali ketiga mengikuti pemilihan. Tepatnya di periode 2009-2014, Malik akhirnya duduk sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bontang Utara. Itu saat ia juga duduk sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS Bontang, periode 2005-2010. Kini, ia duduk sebagai anggota DPRD Bontang dari dapil Bontang Barat, meraih suara terbanyak kedua di dapil tersebut. Sejak duduk sebagai wakil rakyat, ayah dari enam orang anak ini meniatkannya untuk memperluas celah kebaikan, dan mempersempit celah keburukan. Karena perannya sebagai anggota DPRD, pembuatan regulasi atau peraturan daerah (Perda) adalah jalannya. “Dalam membuat Perda, ya tentu harus menyerap aspirasi dari masyarakat. Peran saya kini menjadi lebih banyak mendengar. Kalau sebagai dai kan banyak menceramahi,” kata penggemar olahraga takraw dan bola ini, sambil berseloroh. Kini, sebagai Wakil Ketua Komisi III DPRD Bontang, ada 75 inventarisasi masalah yang harus diselesaikan. Semuanya tak bisa instan. Butuh waktu, kajian, dan lagi-lagi mendengarkan keinginan rakyat. Beberapa persoalan tersebut disampaikannya. Seperti perbaikan infrastruktur jembatan, jalan, sumber air bersih, hingga gedung uji KIR. “Seperti persoalan air bersih ini, akan kami kejar terus kalau perlu sampai lubang semut,” kata ketua Fraksi PKS DPRD Bontang ini, menunjukkan keseriusan dalam menangani persoalan tersebut. Tak ada kata lelah bagi Ketua Nazir Wakaf Masjid Ar-Raudhoh Kanaan ini. Seluruh pikiran dan tenaganya dikerahkan untuk mewakili kepentingan masyarakat. Terlebih di sela pekerjaannya sebagai wakil rakyat, masih menyempatkan mengisi ceramah dan pengajian di masyarakat. Bahkan di sela salat di gedung dewan, ia masih sering mengisi ceramah kepada sesama anggota dewan maupun pegawai di sana. Pun meski sudah tiga periode duduk di gedung dewan, kesederhanaan dan kesahajaan tetap tampak dari dirinya. Rumahnya yang berbahan dasar kayu, yang dibangunnya sejak 1995 masih tetap seperti awal terbangun. Ibarat dirinya dan kesederhanaan adalah satu kesatuan. Baginya, semua tindakannya itu diniatkan sebagai ibadah. Sesuai semboyan hidupnya, sebaik-baik manusia, yang paling banyak memberikan manfaat dan paling baik akhlaknya. “Kalau kata almarhum KH Abdullah Syukri Zarkasyi (pimpinan Ponpes Modern Gontor, Red.), istirahatnya orang beriman itu adalah pergantian dari satu amal ke amal yang lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain,” pungkas anggota Komisi Fatwa MUI Bontang 2005-2015 ini. * Pewarta: Muhammad Zulfikar Akbar  
Tags :
Kategori :

Terkait