Persoalan sampah yang berlarut di Kutai Barat (Kubar) membuat bupati angkat bicara. Pangkal masalah ini rupanya hanya satu: keterbatasan anggaran.
nomorsatukaltim.com - Tak mau di anggap diam soal penanganan sampah, Bupati Kubar FX Yapan tak membantahnya. Beragam masalah mengenai sampah mewarnai era kepemimpinan awalnya di periode terakhir sebagai Bupati Kubar. Di antaranya, rusaknya akses jalan menuju tempat penampungan akhir (TPA) sampah, di Belaw Kampung Gesaliq Kecamatan Barong Tongkok sejak akhir Mei hingga awal Juni ini.
“Tapi sudah kita perbaiki sekarang. Waktu rusak memang kendaraan pengangkut sering amblas. Akhirnya bingung sampah mau dibuang kemana,” ujar Yapan didampingi wakilnya Edyanto Arkan, kemarin.
Minimnya kucuran anggaran pemerintah pusat ke daerah, jadi alasan Yapan tak bisa memenuhi kebutuhan armada laik pakai sampah yang sudah berumur.
“APBD Kubar dalam dua tahun terakhir dipotong hingga Rp 800 miliar untuk penanganan COVID-19. Yang dulunya Rp 2,4 triliun sekarang hanya Rp 1,7 triliun,” beber Yapan.
Tak habis akal, bupati pun berinisiatif meminta bantuan dengan perusahaan atas bantuan armada pengangkut sampah. Hasilnya juga baik, ada perusahaan yang merespon menyediakan kendaraan operasional sampah. Ia pun mengakui, sistim anyar penggunaan anggaran saat ini semakin ruwet. Harus dengan prosedur panjang dan ketat.
“Kita harus paham karena proses uang pemerintah ini lambat. Tidak sembarangan, harus mengikuti prosedurnya, kalau tidak ya bakal jadi temuan nantinya,” tandas bupati.
Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Perkimtan) Kubar, Sabransyah mengutarakan sejumlah penjelasan matang. Secara prosedural, pengelolaan sampah merupakan urusan wajib pemerintah sepenuhnya yang tak dipungkiri lagi.
Sekira 20 persen wilayah di kabupaten ini masuk kategori kawasan kumuh yang menjadi pekerjaan rumah, dan belum terselesaikan hingga sekarang.
“Sudah di SK-kan ada tim survei yang melihat kawasan kumuh itu. Tapi saya belum pelajari daerah mana saja. Makanya pertama di sini kita harus membuat rencana induk atau masterplan,” imbuh Sabran.
Pola penanganan dengan skema yang kabur seperti ini, tentu tak akan ada hasil. Nihilnya perencanaan.
“Termasuk soal sampah ini. Misalnya di kampung ini bangun apa, daerah ini bangun apa. Kalau tidak ada rencana induk ya kita berjalan dalam gelap terus,” tandasnya.
Dengan begitu jangan harap bisa menuju status Kota Maju. Itu indikatornya adalah kota bersih. Sampah ada di mana-mana. Sementara tempat pembuangan sementara (TPS) minim. Jika dicermati pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, pemerintah telah membuat masyarakat bingung dalam bertindak soal sampah. Aturan ini melarang untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. Bahkan ada sanksi yang melanggar.
“Masyarakat disuruh ke tempat penitipan sementara. Kata-kata titip itu ada konsekuensinya, pasti ada biaya operasional yang harus kita keluarkan. Hal ini mestinya dipahami mekanisme yang harus dilakukan itu apa. Ujung-ujungnya masyarakat dikambinghitamkan,” sesalnya.
Ia bersolusi, strategi TPS 3R (reduce, reuse, recycle) segera dikerjakan agar tak ada kawasan kumuh baru.
“Strateginya membangun sarana dan prasarana tempat pemilahan sampah. Jadi bukan lagi TPS yang dulu kita kenal dengan benda mati. Sekarang sudah berubah. Di situ adalah satu bangunan di mana ada kegiatan dari rumah ke pengumpulan. Kemudian pengangkutan sampai di TPS ada pemilahan dan pengolahan residunya. Baru kita amankan secara ramah lingkungan ke TPA,” jelasnya.
Selain menuntaskan masalah, langkah ini justru memengaruhi ekonomi masyarakat. Akan ada lapangan kerja terbuka nantinya, juga ongkos angkut berkurang. (luk/zul)