Jalan Terjal Koalisi Poros Tengah, Ujian Jelang Koalisi Partai Islam
Jumat 16-04-2021,20:18 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group
Jakarta, nomorsatukaltim.com - Seruan pembentukan poros partai Islam mengemuka setelah Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menangkap sinyal koalisi di balik pertemuan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Yusril menganggap saat ini merupakan momentum bagi partai Islam bersatu membentuk poros tengah menjelang konstelasi politik 2024.
Koalisi poros partai Islam bukan hal baru di Indonesia. Setelah Reformasi melengserkan kekuasaan Orde Baru, pada pemilu pertamanya, koalisi partai Islam muncul dan berhasil mendominasi pemilu dengan presidennya kala itu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menyebut, tak ada yang salah jika poros Islam kembali hadir di Indonesia setelah 20 tahun lebih tenggelam dalam ego masing-masing. Namun, kata Adi, banyak hal yang mesti diingat sebelum poros Islam ini benar-benar terbentuk.
“Pertanyaannya sekarang, apakah poros Islam bisa reborn? Bisa terbentuk kembali? Mungkin saja. Cuma dengan sejumlah catatan,” kata Adi, Jumat (16/4).
Catatan-catatan itu, kata Adi, adalah beberapa hal yang mesti diperbaiki dan diingat oleh partai-partai Islam sebelum benar-benar berkoalisi. Sebab, jika tak dijalankan, koalisi ini tak akan kuat dan kokoh. Alih-alih itu justru bisa layu sebelum berkembang.
Pertama, kata Adi, berkaitan dengan ego sektoral dari masing-masing partai. Sejumlah partai yang bergabung harus menyamakan pandangannya. Antara satu dan yang lainnya tak boleh ada yang merasa rendah atau lebih tinggi dari partai lainnya dalam koalisi itu.
“Perasaan-perasaan ego sektoral itu harus dihilangkan. Karena itu bisa jadi kendala psikologis yang cukup serius,” kata Adi.
Selain itu, paham keagamaan di masing-masing partai juga harus diredakan. Sebab pemahaman agama Islam di tiap partai memiliki perbedaan. Ini juga kerap memicu perselisihan.
Perbedaan ini juga kerap terjadi di akar rumput atau para pendukung partai. Baiknya, kata Adi, sebelum benar-benar berkoalisi perbedaan-perbedaan ini disimpan di belakang.
Kemudian, kata Adi, hal paling utama dan terutama yakni berkaitan dengan siapa yang akan dijagokan dalam Pilpres. Nama yang akan diusung sangat berpengaruh untuk menguatkan poros Islam ini.
Akan lebih baik pembicaraan terkait calon presiden yang akan dijagokan di Pilpres 2024 ini tak dibahas dulu sebelum poros Islam ini benar-benar kuat terbentuk.
“Karena kalau bicara poros Islam harus setop dulu keinginan di antara mereka yang terlampau ingin jadi capresnya. Karena semua parpol punya jagoan,” kata dia.
Perebutan tentu tak akan terhindari. Jika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin kegagalan poros Islam ini hanya tinggal menunggu waktu.
“Hal-hal ini bisa jadi cacatan penting. Yang saya sebut sebagai cacat bawaan sebenarnya. Jadi, kekuatan politik Islam yang tidak pernah muncul setelah pasca Reformasi itu karena ada cacat bawaan ini,” kata Adi.
“Jangan sampai poros Islam layu sebelum berkembang. Belum apa-apa sudah ribut. Karena khawatir sudah mulai bicara siapa yang dijagokan di capres,” lanjutnya.
Menurut Adi, tak ada hal lain yang bisa merusak poros Islam selain di internal koalisi sendiri. Urusan suara bisa tergerus oleh partai-partai nasional, itu urusan kedua. Sebab ketika poros Islam ini kuat, bukan tidak mungkin pendukung justru akan berdatangan. Apalagi Islam di Indonesia memang masuk dalam agama mayoritas.
“Persatuan parpol Islam tujuannya jangan terlampau kentara nuansa politik kekuasaan. Tapi harus ada nilai yang dijunjung. Cuma problemnya itu ego sektoral. Karena sulit menyatukan elite partai Islam ini,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo menilai, wacana koalisi poros partai Islam hanya isu basi yang kerap muncul jelang pemilu dan Pilpres.
Upaya koalisi partai Islam kerap kandas bahkan sebelum dimulai. Partai-partai Islam acap berseberangan ketika perhelatan pemilu telah dimulai. “Hingga saat ini upaya untuk menyatukan partai-partai Islam masih sebatas imajinasi,” kata Karyono.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat penyatuan partai Islam sulit terealisasi. Salah satunya berkaitan dengan mazhab setiap partai yang cenderung berbeda.
“Perbedaan kepentingan politik praktis yang berorientasi kekuasaan juga lebih dominan dibanding kepentingan penyatuan ideologi politik Islam ke dalam satu koalisi,” kata dia.
Di sisi lain, partai Islam yang cenderung puritan enggan merespon serius wacana penyatuan partai-partai Islam dalam satu koalisi.
Hal ini, kata Karyono, lantaran sesama partai Islam masih muncul kecurigaan wacana tersebut hanya untuk kepentingan pragmatis. Kepentingan jangka pendek sekadar untuk tawar menawar posisi (bargaining position).
Selain faktor internal koalisi yang memberi pengaruh banyak dalam penyatuan partai Islam, partai dengan haluan ideologi nasionalis juga patut diwaspadai.
Apalagi, kata dia, dari sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, belum pernah ada partai Islam yang tampil sebagai pemenang pemilu secara nasional.
“Terlepas dari persoalan tersebut, kekuatan partai Islam masih jauh dibanding dengan partai-partai yang berhaluan nasionalis,” kata dia. (cnn/qn)
Sumber: Jalan Terjal Poros Tengah Koalisi Partai Islam
Tags :
Kategori :