Kuota Produksi Batu Bara Dipangkas karena Perusahaan Dinilai Tak Tertib

Rabu 09-10-2019,20:53 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Baihaqi Hazami. (Mubin/DiswayKaltim)

Samarinda, DiswayKaltim.com – Tahun lalu, Kaltim tak memenuhi kuota domestic market obligation (DMO). Yang ditetapkan 25 persen kepada setiap perusahaan batu bara.

Akibatnya tahun ini, kuota produksi emas hitam di Bumi Etam berkurang drastis.

Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Baihaqi Hazami mengungkapkan, pengurangan kuota produksi batu bara di Kaltim mencapai 50 persen.

“Dari 60 jutaan ton. Turun ke 30 jutaan. Hampir segitulah turunnya. Tapi bukan hanya Kaltim. Provinsi lain juga mengalami pengurangan,” kata Baihaqi kepada DiswayKaltim.com, Rabu (9/10/2019) sore, di kantornya. Jalan MT Haryono, Samarinda.

ESDM Kaltim tak tinggal diam. Pihaknya berusaha meminta kebijakan pengurangan kuota produksi batu bara itu dicabut. Atau setidaknya, kuotanya ditambah.

Kementerian ESDM tak menerima permintaan tersebut. Alasannya, sebagian perusahaan batu bara di Kaltim dinilai tidak tertib. Dalam menjalankan aktivitas pertambangan.

“Sekarang kita buat tertib. Makanya kita makin ketat. Supaya tertib. Perusahaan harus ikut aturan. Supaya pusat tidak menjadikannya alasan terus,” ujarnya.

Sejatinya, tahun depan produksi batu bara bisa normal seperti sediakala. Namun serapan dalam negeri belum memadai. Masalahnya, tak ada perusahaan yang bergerak di industri hilir. Untuk memanfaatkan batu bara yang diproduksi di Indonesia.

Apabila perusahaan itu beroperasi di Indonesia, maka pengusaha batu bara dapat menjualnya di dalam negeri. Baihaqi berpendapat, batu bara tak layak dijual sebagai komoditas. Cukup digunakan untuk kebutuhan domestik.

“Dijual untuk pembangkit energi dalam negeri. Itu yang benar. Kalau kita mau mengelola bahan galian tambang. Baik migas maupun batu bara. Kalau kebutuhan dalam negeri menurun, harus kita turunkan juga produksi,” sarannya.

Karena itu, Baihaqi memandang kebijakan DMO memiliki nilai positif. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Khususnya untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN). Supaya tidak ada lagi pemadaman listrik karena kekurangan bahan bakar.

Itu pula yang melandasi keluarnya kebijakan. Setiap perusahaan diwajibkan menjual 25 persen hasil produksinya kepada PLN. Perusahaan menjualnya dengan harga di bawah harga batu bara acuan (HBA).

Dalam pelaksanaannya, tidak semua perusahaan dapat memenuhinya. PLN membutuhkan batu bara dengan gar 4.200. Sementara yang tersedia di Kaltim, umumnya batu bara dengan gar 3.000. Ada pula yang memproduksi batu bara dengan gar 6.500.

Perusahaan yang tak memenuhi spesifikasi tersebut, dibebankan untuk melakukan transfer kuota. Misalnya, terdapat perusahaan yang mampu menjual 100 persen kepada PLN. Perusahaan yang tak memenuhi 25 persen, dapat membeli dari perusahaan yang melewati ambang kuota tersebut.

“Memang program ini terlihat memaksa. Supaya kebutuhan dalam negeri itu terpenuhi. Karena sekarang tidak hanya PLN yang membutuhkan batu bara. Ada juga pabrik semen dan smelter,” bebernya. (qn/eny)

Tags :
Kategori :

Terkait