Kecanduan Ras

Minggu 21-03-2021,06:39 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Penembakan ini langsung jadi berita besar. Semua berita langsung mengarah ke kebencian ras. Enam dari 8 orang yang mati itu adalah keturunan Asia –empat keturunan Korea dan dua  keturunan Tionghoa. Dua lainnya konsumen spa berkulit putih.

Tuduhan rasialis itu bukan tanpa dasar. Belakangan ini begitu banyak kejadian kekerasan yang menimpa orang keturunan Asia di Amerika. Khususnya keturunan Tionghoa.

Kekerasan jenis itu seperti menjadi trend baru. Terutama sejak Presiden Donald Trump berkuasa. Lebih-lebih sejak munculnya Covid-19. Trump selalu menyebut Covid-19 sebagai Virus China.

Akibatnya kebencian kepada keturunan Tionghoa meningkat. Itu terlihat dari tagar di medsos. Setiap Trump mengucapkan China Virus, disambut ribuan tagar yang mengarah ke anti Tiongkok. Sialnya tidak semua orang Amerika bisa membeda-bedakan mana Tionghoa, mana Korea, dan mana Jepang. Semua dianggap Tionghoa. Orang Korea pun bisa dikira Tionghoa. Demikian juga orang Filipina, Thailand, dan mungkin Indonesia. Bahkan ada orang India yang dibunuh –juga dikira Tionghoa.

Presiden Joe Biden sampai turun tangan. Kongres Amerika pun mengadakan dengar pendapat. Tokoh-tokoh perkumpulan keturunan Asia bereaksi keras –untuk menekan pemerintah agar mengatasi kecenderungan baru itu. “Kami, orang keturunan Asia, merasa tidak aman,” kata mereka.

Apalagi banyak kejadian seperti ini: orang Asia yang lagi jalan sendirian tiba-tiba dipukul dari belakang. Perasaan was-was terus meliputi orang Asia. Terutama kalau lagi jalan sendirian. Di waktu malam pula.

Dari mereka yang memukul itu ada yang hanya beralasan: “Saya tidak suka cara dia melihat saya”.

Sulitnya, kekerasan itu dilakukan tanpa ada kata-kata. Sehingga para pelaku hanya dikenakan perkara kriminal biasa.

Para pemimpin kelompok Asia menginginkan ini: mereka harus dikenakan pasal kebencian ras. Yang hukumannya lebih berat.

Tapi polisi sulit mendapat bukti kebencian itu –kalau pelakunya tidak mengatakan apa-apa.

Pun soal penembakan yang dilakukan Robert Long itu. Ia hanya mengaku sebagai orang yang kecanduan seks. Lalu tiba-tiba muncul kemarahannyi pada panti pijat –yang membuatnya penuh dosa.

Robert Long belakangan memang mengaku sebagai anak muda yang berlumur dosa. Begitulah yang sering ia katakan ke teman satu kamarnya.

Teman satu kamar?

Sejak umur 19 tahun –tidak lama setelah tamat SMA– Robert Long sudah tidak tinggal di rumah orang tua. Ia punya pacar. Ia pergi dengan sang pacar. Sampai tidak mau pulang. Ayahnya marah. Sang ayah minta anaknya pulang. Tidak mau. Sang anak pilih bersama pacar di negara bagian Kentucky –tetangga utara Georgia.

Akhirnya sang ayah melapor ke polisi. Agar anak itu bisa pulang. Berhasil.

Robert Long meninggalkan sang pacar. Tapi ia tetap tidak mau tinggal serumah dengan orang tua. Ia pilih tinggal di rumah penampungan –yang penghuninya adalah korban kecanduan narkoba atau minuman keras.

Tags :
Kategori :

Terkait