OLEH: ADITYA PRASTIAN SUPRIYADI*
Bank syariah terbesar di Indonesia telah lahir. Sudah sebulan lebih lembaga itu memperlihatkan eksistensinya di Tanah Air. Kelahiran bank tersebut merupakan buah hasil merger dari beberapa perbankan syariah BUMN yang sepakat menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Pasca merger, aset BSI langsung melejit. Total aset tercatat meningkat menjadi Rp 214,6 triliun dengan modal inti Rp 20,4 triliun. Ditambah dukungan cabang sebanyak 1.200 dan jaringan 1.700 gerai ATM, menjadikan BSI tidak hanya terbesar di Indonesia. Namun juga masuk jajaran 10 bank syariah terbesar di dunia.
Wacana pembentukan BSI sempat mendapat kritikan pedas. Karena berpotensi tidak pro masyarakat kecil. Lahirnya BSI yang menjadi raksasa perbankan dianggap memutar setir yang berfokus pada pembiayaan berskala besar. Akibatnya bisa mengurangi fokus untuk pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sontak setelah kritik pedas muncul, sebenarnya BSI juga gesit meresponsnya.
BSI merencanakan 25 persen anggaran komitmen pemberdayaan UMKM. Namun komitmen BSI tetap menuai kontroversi. Rencana pemberdayaan UMKM BSI hanya dianggap sebagai pelipur lara. Karena angka 25 persen dari anggaran BSI merupakan angka yang kecil dan mustahil bisa dengan mudah ikut serta dalam memberdayakan masyarakat kecil di ranah UMKM.
Persoalan UMKM memang memerlukan ekstra perhatian. Karena menyangkut nasib kehidupan rakyat Indonesia. BSI perlu mengkaji ulang kebijakan yang tepat bagi pemberdayaan UMKM. Prioritas pemberdayaan UMKM oleh BSI dinilai lebih penting daripada wacana pembukaan kantor BSI di cabang di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Seolah gajah di pelupuk tidak tampak, semut di seberang lautan kelihatan”.
UMKM dalam negeri yang kaya akan masalah perlu menjadi perhatian utama bagi BSI daripada persoalan lain. Apalagi terjangan pandemi yang meluluh-lantakkan ekonomi nasional, memerlukan kontribusi UMKM sebagai penyelamat ekonomi negeri.
PILAR EKONOMI
UMKM adalah tonggak perekonomian bangsa. Data Kementerian Koperasi menunjukkan jumlah UMKM Indonesia pada 2018 menduduki angka fantastis sebesar 64,2 juta. Angka tersebut sangat berpengaruh terhadap lapangan kerja di Indonesia. Pasalnya, UMKM menyerap 97 persen pekerja.
Selain itu 60 persen, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berasal dari UMKM. Artinya, UMKM memiliki peran sangat strategis dalam perekonomian nasional. Bayangkan, bagaimana jika UMKM tidak berkembang seperti saat ini. Tak salah apabila UMKM dijuluki sebagai “pilar ekonomi bangsa”.
Gelar besar yang diberikan kepada UMKM nyatanya memiliki jalan terjal. Sang tonggak harapan ekonomi bangsa selalu dirundung masalah. Riset dari Director of BDASS of SBM ITB, Eng. Manahan Siallagan menemukan tiga masalah yang selalu menghantui UMKM. Masalah itu adalah modal insani (SDM), pemasaran (marketing) dan yang paling penting adalah pendanaan (modal).
Modal menduduki masalah paling serius. Tanpa modal, pelaku UMKM sulit mengembangkan usahanya. Kemudian sulit mendapatkan SDM mumpuni serta sulit dalam proses pemasaran produk. Padahal UMKM dalam konsideran UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM memiliki posisi krusial dalam mewujudkan demokrasi ekonomi. Sesuai amanat konstitusi.
Lahirnya perbankan syariah berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2008 bisa dimaknai sebagai salah satu aktor yang bisa mendongkrak pertumbuhan UMKM. Dalam Pasal 2 menyebutkan, selain prinsip syariah, prinsip lain yang digunakan bank syariah adalah demokrasi ekonomi. Prinsip tersebut seharusnya bisa menjadi payung hukum BSI. Agar fokus pada program pemberdayaan UMKM sebagai pilar demokrasi ekonomi. Kontribusi pendanaan yang aktif dari BSI bisa berpengaruh memangkas permasalahan yang selalu menghantui UMKM.
TANTANGAN KE DEPAN
Masalah besar yang menerjang UMKM harus dijadikan peluang emas BSI. Kontribusi BSI bagi perekonomian masyarakat menengah harus dirasakan ke pelosok daerah. Apalagi di tengah terjangan pandemi, omzet UMKM turun 30 persen. Dampak besar turunnya kinerja UMKM sangat dirasakan UMKM di Kaltim. Survei BI Kaltim pada tahun 2020, sebanyak 90,10 persen UMKM mengalami penurunan penjualan; 47,40 persen UMKM melakukan penurunan harga jual, dan hampir 50 persen UMKM terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
BSI yang telah lahir harus peka terhadap masalah ekonomi setempat. Pemulihan ekonomi nasional tidak hanya mengandalkan pemerintah. Perlu peran stakeholder. Terutama dari BSI sebagai lembaga keuangan. Ribuan cabang BSI di setiap daerah bisa dioptimalkan sebagai instrumen penyaluran finansial kepada UMKM.
Kontribusi BSI bak “pertolongan malaikat dari langit” penyelamat UMKM. Terutama UMKM Kaltim. UMKM Kaltim sangat berharap kucuran dana yang bisa disalurkan dari BSI. Kucuran dana tersebut menjadi modal segar bagi UMKM Kaltim untuk bangkit dari keterpurukan. Bangkitnya UMKM Kaltim bisa meningkatkan perekonomian daerah. Selain itu, bisa mengembalikan lapangan kerja di Kaltim yang sempat hilang.
Optimalisasi penyaluran dana melalui ribuan cabang BSI bukan hanya bermanfaat bagi Kaltim. Namun juga akan bermanfaat bagi UMKM di seluruh daerah Indonesia. Agar penyaluran dana ke UMKM daerah bisa optimal, BSI perlu menggandeng pemda. Dalam Pasal 8 UU UMKM, pemda memiliki peran memberikan fasilitas pendanaan UMKM melalui perbankan.
Celah legalitas ini perlu dimanfaatkan BSI dalam distribusi pendanaan yang bisa menyelamatkan UMKM daerah. Menyelamatkan UMKM di setiap daerah sangat berpengaruh dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Karena UMKM adalah pilar utama ekonomi negara.
Akhirnya, BSI yang telah lahir memiliki tugas mulia yang perlu direalisasikan. Kebijakan distribusi anggaran BSI perlu ditinjau ulang. Dalam rangka menyelamatkan UMKM. Peran BSI dalam memberdayakan UMKM juga berpengaruh mewujudkan iklim usaha yang rahmatan lil ‘alamin.
Hal ini sesuai perintah QS. An-nisa ayat (29), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil. Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu dan janganlah membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Dalam menyiasati ayat di atas, kinerja dan orientasi BSI bukan dinilai dengan laba. Tetapi sejauh mana BSI bisa bergerak membantu pelaku usaha dan menuju tujuan mulia untuk menyejahetrakan umat melalui perniagaan yang tidak saling merugikan. Kebijakan tersebut dinilai dapat mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi. Terutama akibat dampak pandemi COVID-19 yang belum kunjung usai. (*Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)