Imlek di Kaltim Tanpa Perayaan

Minggu 14-02-2021,10:55 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Perayaan Tahun Baru Imlek tahun ini masih diwarnai suasana pandemi. Warga Tionghoa di Kalimantan Timur merayakan pergantian tahun secara sederhana. Tanpa kembang api, tanpa petasan.

nomorsatukaltim.com - Di Samarinda, warga Tionghoa merayakannya dengan makan malam Bersama di rumah. Jika biasanya menjelang tengah malam dilanjutkan bersembahyang “Tutup Tahun” di kelenteng, kali ini tidak dilakukan. Begitu juga dengan sembahyang “Buka Tahun”, yang lazimnya dilakukan dini hari, terpaksa ditunda sampai pagi hari. Bahkan di Kelenteng Thien Ie Kong, ritual buka tahun diwakili pengurus kelenteng. Baru setelah itu, warga boleh sembahyang secara bergantian. Begitu juga masyarakat Tionghoa di Balikpapan. Ibadah di Kelenteng Guang De Miao dilakukan dengan protokol kesehatan. “Meski kami tidak mengenal ibadah secara bersama-sama, tetapi, tetap menerapkan protokol kesehatan,” kata Charles, ketua Konghucu Balikpapan. Di Kabupaten Berau, Ketua Pengurus Kelenteng Tem Pie Kong Tri Dharma, Suhaidi Wiyono mengikuti imbauan pemerintah. “Yang penting keluarga selamat dari penyakit berbahaya,” katanya. Bupati Berau Agus Tantomo yang merupakan warga Tionghoa tidak menggelar open house. “Saya tetap merayakan karena ini adalah kebudayaan kami. Tapi tidak akan melakukan kegiatan yang mengundang orang banyak. Hanya lingkup keluarga kami saja,” ujarnya kepada Disway Berau. Tokoh masyarakat Tionghoa Kalimantan Timur, Robin Jonathan mengaku memahami situasi ini. Menurut Guru Besar Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda ini, keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas. Berbicara soal Imlek, profesor bidang ekonomi yang menjabat Ketua Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (Fobi) itu mengatakan, tahun baru Tionghoa sudah dirayakan sejak ratusan tahun sebelum Masehi. “Sudah melampaui zaman pergantian dinasti-dinasti di Tiongkok. Para dinasti  di Tiongkok menciptakan sistem penanggalan (halwi),” kata pria yang lahir di Samarinda, 11 Agustus 1950. Robin Jonathan gemar mendokumentasikan dan menelusuri sejarah Tionghoa di Kota Tepian. Menurut Robin, Imlek diambil dari tahun kelahiran Konghucu. Sistem penanggalan itu dimulai dari 551 tahun SM. Sehingga kalender orang Tionghoa 551 tahun lebih lama dari tahun Masehi. Maka jika dirunut, saat ini kalender Tionghoa sudah memasuki tahun 2572. "Itulah asal muasal dari tanggalan Imlek," ucapnya. Meski begitu, Robin mengatakan, Imlek bukanlah hari raya Konghucu. Imlek bukan hari raya keagamaan. "Banyak kekeliruan yang kita pahami. Tahun yang kita pakai, adalah tahun kelahiran Konghucu. Karena kita menghormati nabi Konghucu," ujarnya. Budaya Imlek bahkan sudah ada sebelum kelahiran Konghucu. Dari situ, ia berkesimpulan bahwa Imlek adalah perayaan budaya dan adat istiadat. Perayaan Imlek juga tidak terbatas pada pemeluk agama Konghucu dan Budha. Apapun agamanya ketika memiliki garis keturunan Tionghoa, boleh mengikuti, menjaga dan merawat budaya Imlek. "Saya baca banyak buku tentang hari raya Tionghoa. Semua menggarisbawahi itu," ujar Robin, sambil menunjukkan buku Hari-Hari Raya Tionghoa. "Dan saya pikir ini perlu dipahami oleh kita semua," imbuhnya. "Karena Imlek sudah ada sebelum nabi Konghucu lahir. Artinya bukan nabi Konghucu yang menciptakan budaya ini." Konghucu, kata penganut Katolik ini, ikut membesarkan, membenahi adat istiadat Tionghoa, itu memang betul. Karena itulah, tahun kelahiran Nabi Konghucu digunakan sebagai tahun Imlek.

BERAWAL DARI PERAYAAN MUSIM SEMI PETANI

Awal mula Imlek berasal dari perayaan musim semi oleh petani dan nelayan di Tiongkok pada masa lampau itu. Di musim semi itulah mereka bercocok tanam. "Jadi, tahun Imlek ini sama dengan tahun pertanian dan nelayan sebenarnya," kata Robin. Pada 1912 tokoh revolusi Sun Yat Sen menggaungkan Republik Tiongkok. Bapak Negara Tiongkok modern itu ingin menyetop perayaan Imlek. Karena menganggap banyak bernuansa adat istiadat. Sebagai orang berpendidikan barat, Sut Yat Sen menganggap tradisi itu harus dihentikan. "Maka ketika Dokter Sun Yat Sen menjadi presiden Republik Tiongkok, dia ingin menghapus Imlek, supaya Tiongkok cepat berkembang. Tapi gagal," tutur Prof Robin. Sebab, tahun Imlek seirama dengan tahun pertanian di Tiongkok saat itu. Maksudnya, masa bercocok tanam dan melaut bagi nelayan. Sehingga tahun baru Imlek dianggap sebagai tahun pertanian dan nelayan. Juga musim panen bagi sebagian mereka. Oleh karenanya ketika mendekati perayaan tahun baru Imlek, di Tiongkok saat itu, buah-buahan, hasil pertanian dan nelayan melimpah. "Risalah itu ditulis dalam buku Hari-hari Raya Tionghoa," sebut Prof Robin.

YANG MERAYAKAN IMLEK

Menurut Robin, selain Sun Yatsen, kekeliruan soal Imlek masih terjadi saat ini, Terutama berkaitan dengan siapa yang merayakan Imlek. Apakah hanya mereka yang beragama Konghucu saja. Atau apakah yang beragama Budha saja. "Beberapa teman yang beragama nasrani dan muslim menanyakan apakah boleh mereka merayakan," ungkap Prof Robin. "Saya bilang, ketika darahmu, ada darah Tionghoa,  itu berarti boleh. Saya jelaskan kepada mereka, Imlek bukan perayaan hari raya keagamaan. Imlek adalah adat istiadat. Karena di Tiongkok, tidak ada agama. Yang ada adat istiadat," jelas dia. Dalam adat istiadat orang Tionghoa, mulai lahir, ada adat kelahiran. Kemudian ada adat perkawinan, sampai adat kematian. Semuanya disertai dengan sembahyang. Dari adat istiadat itu lah, yang kemudian menjadi kebudayaan. Pada masa orde lama di Indonesia. Perayaan Imlek masih diizinkan. Di Samarinda juga ramai. Situasi berubah saat Orde Baru. Semua berbau Tiongkok dilarang. "Karena situasi politik saat itu. Ya kami maklumi." Baru setelah era reformasi, saat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berkuasa, larangan perayaan Imlek dihapus. Warga etnis Tionghoa bisa merayakan tahu baru. Izin dari Gus Dur itu lalu dikukuhkan pada masa presiden Megawati Soekarno Putri. Dengan menetapkan Imlek sebagai hari raya nasional. Sementara di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istilah China bagi warga negara Indonesia keturunan diganti dengan Tionghoa. "Jadi kita berterima kasihlah kepada Gus Dur. Kepada Megawati yang membolehkan kita merayakan Imlek," ucap Robin Jonathan. Namun setelah itu muncul persoalan. Perayaan Imlek jadi perdebatan. "Tentang Imlek hari raya siapa? Agama apa?" "Nah inilah yang kita mau luruskan. Bahwa ini adalah hari raya adat. Atau tahun baru musim semi. Yang dirayakan petani dan nelayan di Tiongkok awalnya." "Dan ini dibenarkan di Tiongkok. Karena di Tiongkok tidak ada agama. Hanya bentuk keyakinan komunitas kecil," terangnya. "Makanya kita beruntung di Indonesia bisa menganut agama," imbuhnya. Dia juga mengatakan, pada saat diizinkan kembali oleh Gus Dur. Warga Tionghoa di Samarinda langsung merayakannya dengan meriah. Di satu sisi karena terlampau senang, akhirnya lupa akan substansinya. Maka sempat muncul kecemburuan antar sub suku Tionghoa di Samarinda. Saling mau menunjukkan ke akuan sub sukunya. Masing-masing membesarkan sub sukunya dalam hal perayaan Imlek tersebut. "Tapi akhirnya hal itu berhasil kita eliminasi. Kita kasih penjelasan. Dan mereka mau mengerti. Untuk melaksanakan adat istiadat ini bersama-sama," papar ekonom Kaltim itu. Para tetua membentuk Yayasan Darma Bakti yang mewadai 13 sub suku Tionghoa. (das/app/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait