Kata Pakar soal Dinasti Politik: Sah Saja, tapi Ada Implikasi Negatif

Jumat 08-01-2021,17:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

nomorsatukaltim.com - Dua pakar sosiologi memiliki pandangan berbeda soal dinasti politik.

Pertama, ada Zulkifli Abdullah, akademisi Program Studi Pembangunan Sosial FISIP Unmul. Ia beranggapan, dinasti politik dalam konteks demokrasi. Menurutnya sah saja terjadi. Karena, keberadaan mereka berdasarkan pemilihan langsung oleh masyarakat. Dalam sistem elektoral yang sesuai dengan konstitusi.

"Tidak ada peraturan yang melarang satu keluarga menjadi pejabat. Jadi itu wajar saja," kata Zulkifli saat dihubungi, Senin (4/1/2021).

Kecuali, kata dia, jika dinasti politik terbentuk dengan sistem yang bertentangan dengan unsur demokrasi. Misalnya melalui penunjukan sepihak. Atau penilaian subjektif untuk menempatkan posisi jabatan tertentu.

Zulkifli pun menyebut, ada dua tipe kelompok masyarakat yang menentukan kecenderungan memilih pada pemberian suara di pemilihan umum (pemilu). Pertama, ada kelompok rasional. Kelompok masyarakat ini, akan memilih figur berdasarkan track record dan program kerja.

Kedua, kelompok masyarakat tradisional. Berbanding terbalik dengan kecenderungan masyarakat kelompok rasional. Kelompok masyarakat tradisional justru akan melihat figur secara sosiologis. Dari etnis atau trah keluarga tertentu. Popularitas dan ketokohan punya pengaruh kuat. Atau secara psikologis, bisa membuat masyarakat merasa dekat dan nyaman.

"Persoalan program kerja urusan belakangan. Terpenting figur yang hadir bisa membuat nyaman. Atau calon pemimpin dari representasi kelompok itu," tambah Zulkifli kepada Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com.

Tipe kelompok tradisional ini lah yang berkontribusi pada terbentuknya dinasti politik di suatu daerah. Dan dalam sistem demokrasi, ini tidak bisa disalahkan. Karena yang terpilih, sudah melalui tahapan pemilihan secara demokratis. Terlepas dari bagaimana kapasitas dan program kerja yang dijalankan nantinya.

Zulkifli pun mengakui, dinasti politik mengundang kekhawatiran berbagai pihak. Karena dinilai berpotensi mengebiri unsur demokrasi dan transparansi pemerintahan. Hal ini menurut dia, bisa diantisipasi dengan memperkuat upaya kontrol kebijakan dari masyarakat. Baik melalui organisasi masyarakat sipil, maupun lembaga swadaya.

"Kalau ini kuat. Menurut saya potensi dampak negatif dari dinasti politik, bisa diatasi," pungkasnya.

NAIF

Berbeda pandangan dengan Zulkifli. Sri Murlianti secara gamblang menyebut dinasti politik adalah bentuk kefatalan demokrasi Indonesia. Dampak dari latahnya pengejawantahan sistem demokrasi liberal pasca Orde Baru.

"Kita dengan naif, menjalankan sistem demokrasi tanpa adanya pendidikan politik yang kuat. Di tengah ketidakadilan sumber daya di masyarakat," ucapnya.

Sri menjelaskan konsekuensi demokrasi liberal dengan sistem one man one vote. Ketika kualitas manusia dihargai satu suara. Dari doktor ilmu politik dengan orang yang awam. Hasil pilihan dihargai sama. Sementara kondisi ketimpangan ekonomi yang luar biasa tinggi. Di mana hanya sekitar 20 persen yang menguasai sumber daya. Dan 80 persen adalah masyarakat menengah ke bawah. Sehingga yang terjadi dalam situasi seperti itu, politik uang lah yang akan menang.

Biaya politik pun menjadi sangat mahal. Yang menyebabkan orang-orang yang mengajukan diri untuk dipilih bukan orang yang berkapasitas. Melainkan mereka yang punya uang. Atau mereka yang punya akses pada pemilik modal.

"Dua-duanya fatal. Karena ketika terpilih mereka akan memikirkan bagaimana balik modal dan mengembalikan mahar politik," ujar Sri.

Dosen Pembangunan Sosial FISIP Unmul ini juga mengkritisi. Peran parpol yang dinilai kurang maksimal dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Keberadaan parpol harusnya berkontribusi pada munculnya kader dan calon pemimpin yang memiliki ideologi yang jelas.

Tags :
Kategori :

Terkait