Sri mencontohkan pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 lalu. Terjadi persaingan sengit hingga ke akar rumput. Dari dua pendukung paslon presiden. Faktanya, kini dua kubu dalam pilpres itu, justru berada dalam satu kabinet pemerintahan.
"Itu kan memperjelas politik tanpa ideologi. Yang penting berkuasa. Yang kalah pun berkuasa!"
Terkait dinasti politik, Sri menyarankan harus ada reformasi hukum. Yang membatasi peran keluarga dalam satu instistusi pemerintahan atau jabatan politik tertentu. Sehingga bisa meminimalisasi potensi monopoli kebijakan.
Kemudian, kontrol sosial dari masyarakat harus diperkuat. Dinasti politik tidak akan terbentuk. Jika masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi. Dan terakhir, peran parpol harus dioptimalkan. Dalam kaderisasi politik dan membentuk calon-calon pemimpin yang berkapasitas dan berintegritas.
TERGANTUNG KESADARAN MASYARAKAT
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Budiman menyebut, budaya dinasti politik dapat berpotensi memberikan implikasi negatif. Karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Menghapuskan ruang demokrasi dan yang terburuk mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan potensi korupsi.
Apalagi, jika dinasti politik mencengkeram dua institusi strategis. Eksekutif dan legislatif. Bisa dipastikan, peran pengawasan akan mati. Dan segala keputusan bisa ditetapkan tanpa paripurna.
"Ibarat kata, fungsi sering tidak jalan. Apa yang disodorkan oleh eksekutif akan langsung disetujui legislatif. Dalam konteks ini pintu korupsi akan terbuka. Karena segala sesuatu diputuskan duluan sebelum paripurna," kata dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unmul ini, Minggu (3/1/2021).
Dari dampak negatif yang ditimbulkan itu, faktanya dinasti politik tetap berjaya. Bahkan tak jarang, budaya ini mendapat dukungan dari masyarakat. Dengan terpilihnya calon-calon penerus dinasti, dalam kontestasi pemilihan umum. Menurut Budiman, hal itu dipengaruhi oleh faktor ketokohan dan kepopuleran.
Ia mencontohkan, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel) . Di sana, siapa yang tidak mengenal Jusuf Kalla dan Syahrul Yasin Limpo. Dinasti politik dua kubu ini pun begitu kuat. Bahkan, Sulsel tercatat sebagai daerah dengan afiliasi dinasti politik terbanyak. Pada Pilkada serentak 2020 lalu.
Kedua, tergantung kesadaran politik masyarakat. Masyarakat dengan kesadaran politik yang tinggi, akan memilih berdasarkan rasionalitas. Yakni dengan mengedepankan program. Bukan orang atau ketokohan. Apalagi, jika calon memiliki hubungan dinasti politik. Yang akan berimplikasi pada risiko penyalahgunaan wewenang.
Contoh kasus ini, bisa dilihat pada Pilkada Bontang. Masyarakat Bontang berhasil menumbangkan dinasti politik yang telah bertahun-tahun dikuasai oleh keluarga Andi Sofyan Hasdam. Dengan memenangkan Basri Rase sebagai wali kota terpilih. Berdasarkan perhitungan suara Pilkada Serentak 2020.
"Masyarakat menganggap kalau tidak ditumbangkan, dinasti politik akan mengakar dan menguat. Serta melihat implikasi negatif ke depan. Walau pun kalau dilihat secara ketokohan, siapa yang tidak mengagumi sosok Neni Moerniaeni," ujar Budiman.
Sayangnya, kesadaran politik ini tidak terjadi di semua daerah. Karakteristik masyarakat berbeda dalam menyikapi budaya dinasti politik di wilayahnya. Paser contohnya. Dinasti politik di sana, nyaris tidak terdengar. Atau mungkin, masyarakat di sana belum menyadari implikasi negatif dari dinasti politik. Sehingga menganggap persoalan ini hanya lah hal sepele. Demikian yang dipikirkan Budiman.
Dinasti politik lintas kabupaten-kota dan legislatif ini, rawan akan berbagai macam kepentingan. Kecurigaan Budiman muncul, kalau saja, dinasti politik keluarga Mas'ud juga menguasai Kutai Kartanegara (Kukar). Artinya, jika itu terjadi. Tiga daerah posisi strategis Blok Mahakam akan mereka kuasai.
"Semua tahu yang seksi di Kaltim ini, perihal Blok Mahakam. Posisinya di Balikpapan, Penajam, dan Kukar. Bisa menguasai daerah ini, minyak dikuasai. Surga dunia sudah," ujarnya.
Budiman pun menjelaskan. Untuk mengakhiri atau paling tidak, mengantisipasi budaya dinasti politik. Harus dimulai dari pintu masuknya. Yakni partai politik (parpol). Parpol harus menjalankan fungsinya sebagai rekrutmen politik dan regenerasi kepemimpinan.