Politik Dinasti yang Masih Digemari

Jumat 08-01-2021,16:30 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Lagi-lagi modal politik itu membuat Golkar mengamanahkan Ketua DPD II Golkar Bontang ke Pundak Andi Faizal. Tapi di Pilkada 2020, Neni gagal mempertahankan kursinya. Justru wakilnya, Basri Rase bersama Najirah menjegal langkah politik trah Sofyan.

BAPAK PEMBANGUNAN

Neni harus kerja ekstra mempertahankan kursinya. Pun suaminya ikut turun lapangan selama Pilkada kemarin. Tapi narasi keberhasilan masih gagal meyakinkan publik. Tokoh Masyarakat Bontang Kuala, Galib punya pengalaman panjang mengisi ruang-ruang politik sejak Sofyan memimpin dua dekade lalu.

Sofyan dinilai berhasil membangun daerah. Infrastruktur massif dihadirkan, mulai pelayanan kesehatan, sarana olahraga, jalan protokol hingga kantor pemerintahan. Keberhasilan itu menobatkan Sofyan sebagai Bapak Pembangunan Bontang.

Tak pelak, Neni-Basri bisa menang mudah di Pilkada 2015 lalu. Adi – Isro sulit menghalau isu gagal membangun Bontang. Memang kurun 5 tahun kepemimpinannya tak banyak proyek besar yang bisa dihadirkan.

“Yang paling saya ingat itu, Pak Sofyan yang menyediakan air PDAM bisa masuk ke Bontang Kuala. Itu saya minta hanya 1 minggu saja,” ujar Galib saat ditemui di restorannya, Senin (28/12).

Keberhasilan Neni memimpin Bontang masih banyak sanjungan. Artinya produk dari politik dinasti tidak selamanya berbuah buruk. Setidaknya di mata masyarakat.

Dalam Pilkada kemarin itu, praktis hanya terpaut 4 ribu suara saja. Dari total 85 ribu suara yang menyalurkan hak pilihnya. Masih ada separuh warga yang memuja keberhasilan Neni. Terlepas dari dinasti politik yang makin kuat.

Kelompok Pemuda Loktuan, Amin Denny Muspa punya pandangan berbeda. Menurutnya, tak ada dinasti politik di Bontang. Kepemimpinan Neni di kursi eksekutif dan putranya di legislatif hanya kebetulan.

Toh mereka dipilih dari proses demokrasi: Pemilu. “Enggak ada dinasti politik saat Neni ini. Itukan hasil pilihan rakyat juga,” ujar pria yang akrab disapa Bojes ini.

Hanya saja, ada proses yang kurang efektif yang dinilai dari kepemimpinan trah Sofyan ini. Pengawasan kerja-kerja eksekutif diragukan. Roda pemerintahan diprediksi berjalan monoton dan statis. Tak ada dinamika. Demokrasi pelan-pelan mundur menuju otokrasi.

Penggiat politik Risnal membenarkan itu. Bisa saja politik kekerabatan akan menciptakan pemerintahan yang hegemonik. Ruang-ruang kritis pelan-pelan pudar. Dominasi kekuasan yang super power membuat rival politik memudar. Dan lamat-lamat hilang.

“Ada ketakutan di lingkungan politisi untuk melawan, karena bisa menggangu kepentingan mereka,” ungkapnya.

Secara kalkulus, politik Neni dan putranya tanpa lawan. Pemimpin partai terbesar dengan sejarah panjang keberhasilan. Modal politik ini bisa menindih siapa pun yang berani melawan.

Namun, dibalik itu regulasi memberi kesempatan seluas-luasnya bagi kandidat manapun untuk membangun politik kekerabatan. Aturannya pun membolehkan. Kendati mudaratnya lebih besar, namun isu-isu populis kerap mengaburkan kepentingan dinasti di baliknya. (wal/sah/dah)

Tags :
Kategori :

Terkait