Produksi Kakao Turun, Kebun Korporasi Jadi Solusi
Rabu 06-01-2021,15:45 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal
SAMARINDA, nomorsatukaltim.com – Penurunan produksi dan luas lahan tanaman kakao di Kalimantan Timur bukan hanya karena tanaman yang sudah tua. Porsi terbesar justru disumbang minimnya pemasaran komoditi yang digandrungi masyarakat Eropa itu.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim, Ujang Rachmad mengatakan untuk menyelesaikan persoalan pertama, pemerintah rutin melakukan program peremajaan tanaman.
“Yang kedua, kami berupaya memperbaiki alur distribusi pemasaran,” kata Ujang Rachmad, Selasa (5/1/2021).
Sejak dua tahun lalu Disbun memperluas lahan kebun kakao sampai 300 hektare. Kemudian, peremajaan tanaman mencapai 100 hektare. Selanjutnya intensifikasi terhadap 350 hektare kebun. Upaya itu, diklaim Ujang cukup berhasil.
“Terbukti dengan meningkatnya jumlah produksi kakao dalam dua tahun terakhir. Termasuk luasan lahan tanam," tandasnya.
Kepala Bidang Pengembangan Komoditi, Siti Wahyuni menyebut pada 2019 produksi kakao sebanyak 2.513 ton. Naik sedikit dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2.393 ton. Kemudian naik lagi menjadi 3.307 ton, tahun lalu.
"Walau pun itu masih angka sementara. Angka tetapnya, per Maret nanti. Tapi rata-rata produksi memang meningkat," ujarnya.
Komoditi kakao di Kaltim, secara umum merupakan perkebunan rakyat. Sehingga, penanaman komoditas ini, tergantung pada minat petani dan pekebun. Meski menjadi salah satu komoditas unggulan. Perkebunan kakao di Kaltim masih relatif kecil. Jika dibandingkan dengan daerah penghasil kakao lainnya. Seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Hal ini, kata Siti Wahyuni disebabkan kontur tanah. Tak semua lahan di Bumi Etam, cocok ditanami kakao.
"Paling banyak, itu hanya di Kutim, Berau dan Mahulu. Karena memang di sana yang cocok. Dan peminatnya ada," jelas Siti.
Padahal, kualitas kakao Kaltim termasuk salah satu yang diakui dunia. Terbukti, dengan penjualan ekspor ke berbagi negara. Seperti Taiwan, Filipina, Australia, Italia dan bahkan Perancis.
"Sebagian biji kakao kita dikirim ke Bali. Dari sana, diekspor ke Perancis. Jadi biji kakao kita ini, sudah sampai Perancis," ungkap Siti.
Perlahan, alur distribusi pasaran biji kakao dari petani pun mulai diperbaiki. Dengan membentuk ruang-ruang kerja sama dengan korporasi agar harga jual kakao stabil dan terjamin.
Salah satunya yang sudah terbentuk, ada di Kabupaten Berau. Produksi kakao di sana, sudah diolah menjadi produk hilir. Dengan hadirnya pabrik Berau Cocoa yang didirikan PT Berau Coal. Sehingga, dapat menyerap produksi kakao dari petani setempat. Hal ini pun, dapat memberikan dampak positif pada pengembangan produksi kakao di Berau.
Pemerintah menargetkan pola perkebunan berbasis korporasi seperti ini bisa dilakukan di seluruh kabupaten/kota. Termasuk, pada komoditi perkebunan lainnya.
Sejak lama kakao menjadi salah satu komoditi unggulan dari subsektor perkebunan. Luasan lahan tanaman ini sempat mencapai 7.328 hektare. Yang didominasi dari wilayah Kutai Timur, Berau, dan Mahakam Ulu. Sebagai daerah sentra penghasil kakao.
Sayangnya, statistik menunjukkan produksi kakao dalam 10 tahun terakhir cenderung menurun. Pada 2011, data jumlah produksi kakao mencapai 5.722 ton per tahun. Namun pada 2019, jumlah produksi menurun tajam. Hanya sebanyak 2.513 ton. (Krv/yos)
Tags :
Kategori :