Menilik Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan

Selasa 29-12-2020,11:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Surat edaran Gubernur Kaltim yang mencantumkan sanksi denda bagi warga pelanggar protokol kesehatan (prokes) dinilai tidak berdasar.  Harusnya sanksi denda diatur dalam perda atau UU. Kecuali jika Kalimantan Timur ditetapkan statusnya sebagai zona karantina wilayah.

nomorsatukaltim.com - GUBERNUR Kalimantan Timur Isran Noor telah mengeluarkan Surat Edaran. Soal anjuran pelaksanaan selama libur Hari Raya Natal dan menyambut Tahun Baru 2021. Agar tidak mengundang kerumunan.  Ada sanksinya. Mulai teguran lisan, tertulis hingga sanksi membersihkan fasilitas umum dengan mengenakan rompi. Namun yang mengundang perdebatan adalah ini: denda berupa uang sebesar Rp100.000 bagi warga pelanggar. Denda itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor: 440/7874/0641-II/B.Kesra tentang Anjuran Pelaksanaan Selama Libur Hari Raya Natal dan Menyambut Tahun Baru 2021. Setiap orang yang melanggar dikenakan sanksi sesuai Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 48 Tahun 2020 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Jika merujuk pada Pergub Nomor 48 Tahun 2020 itu, ada denda sebesar Rp 100.000 bagi warga pelanggar protokol kesehatan. Kemudian ada sanksi denda Rp 1 juta bagi pelaku usaha. Serta pencabutan izin usahanya sementara. Pergub No 48 tersebut tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019. Menurut pengamat hukum Balikpapan Wawan Sanjaya SH, MH, sanksi berupa denda uang harusnya tidak diatur dalam Pergub atau Perwali. Apalagi jika sampai sanksi pidana. Sama sekali tidak berdasar. Denda berupa uang seharusnya diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). “Pelaksanaan eksekusinya yang tidak berdasar,” kata Wawan. Pun begitu dengan sanksi pidana. Hanya diperbolehkan pada level undang-undang dan peraturan daerah (Perda) saja. "Hal ini mengacu pada asas no punishment without representative. Pencantuman rumusan norma sanksi pidana hanya diperbolehkan dengan persetujuan rakyat melalui perwakilannya, dalam hal ini persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara Perda, atas persetujuan dari Gubernur dan/atau bupati dan/atau wali kota. Perda dibatasi hanya untuk ancaman pidana dalam level Perda," ujarnya, Senin (28/12/2020) kemarin. Wawan adalah Direktur LKBH Universitas Balikpapan.  Menurutnya, berdasarkan dua peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUPPP) dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) bahwa regulasi di tingkat daerah yang boleh mencantumkan sanksi hanyalah sebuah Perda. Dalam Peraturan Menpan RB Nomor 80 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala Arsip Nasional RI Nomor 2 Tahun 2014, surat edaran digolongkan sebagai produk tata naskah dinas. "Oleh karena itu idealnya surat edaran hanya sebatas alat komunikasi kedinasan berupa pemberitahuan kepada kalangan internal. Dikarenakan sifatnya informatif, maka surat edaran tidak boleh mengatur hal-hal yang melampaui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," tambahnya.

MELANGGAR HAM

Sama halnya dengan Herdiansyah Hamzah. Pengamat Hukum sekaligus Akademisi dari Universitas Mulawarman (Unmul) itu tidak setuju apabila warga pelanggar protokol kesehatan sampai harus dihadapkan dengan hukuman berupa pidana. Baik pidana berupa denda ataupun pidana kurungan. Di mana aturan yang digunakan, hanya bermodalkan dengan Pergub atau Perwali. Ini justru dinilai Herdiansyah bisa berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, pidana itu hanya bisa diatur melalui Undang-Undang (UU) atau Perda. Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 15 UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundangan-undangan. "Saya paham semangatnya untuk menjaga agar persebaran pandemi COVID 19, tidak makin meluas akibat kerumunan. Tapi modal perwali tidak cukup. Sebab kepala daerah tidak pernah diatribusikan atau didelegasikan untuk mempidanakan warganya," ungkap pria yang akrab disapa Castro tersebut. Menurutnya, sebenarnya ada UU yang mengatur pasal pidana. Misalnya UU 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Lalu ada pula Pasal 93 UU. Yang dapat mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi upaya karantina kesehatan.  Namun syarat diberlakukannya, ialah harus lebih dulu statusnya naik menjadi karantina wilayah. "Baru pasal tersebut bisa digunakan. Kalau di Kaltim, jelas pasal ini mustahil diterapkan. Mengingat tidak ada status karantina wilayah," terangnya. Aturan lain yang mengatur pidana juga disebut dalam UU 4/1984 tentang wabah penyakit menular. Di pasal 14 UU tersebut disebutkan bahwa barang siapa yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah, dapat dikenakan sanksi pidana. Kendati bisa digunakan, namun perlu kehati-hatian dalam penerapannya. Sebab kerumunan dan masker tidak disebut dalam UU tersebut. "Kecuali yang dimaksud adalah menghalangi isolasi, karantina, atau penanganan jenazah COVID, itu masuk dalam kualifikasi delik pidana ini," tandasnya. Namun bagi pelaku usaha, kata dia, boleh saja ada denda. Karena pelaku usaha itu punya izin yang dikontrol oleh pemerintah secara administratif. Namun, warga negara yang diancam pidana denda bermodal Pergub/Perwali yang tidak boleh.

CEGAH PERAYAAN

Sementara itu, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Arief Budiman baru-baru ini menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap warga. Agar tidak tidak melakukan perayaan malam pergantian tahun.  Apabila masih nekat, maka bersiaplah untuk dikenakan sanksi pidana oleh aparat kepolisian. Itu ditegaskan Kapolres melalui rapat koordinasi (Rakor) Operasi Lilin Mahakam 2020, yang dihadiri oleh instansi terkait dan sejumlah himpunan para pengusaha tempat hiburan. Bahwa telah disepakati, agar tidak ada perayaan di malam pergantian tahun. Imbauan dan sosialisasi itu bahkan gencar dilakukan oleh jajaran Polresta Samarinda. Dengan tujuan, mencegah penyebaran COVID-19 di Kota Tepian. (bom/aaa/dah)
Tags :
Kategori :

Terkait