Kakao Long Apari Berkualitas Dunia, Tapi Pekebun Sulit Cari Pembeli

Minggu 27-12-2020,12:43 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Nestapa pekebun kakao Long Apari. Kakao yang ditanam di sini disebut punya kualitas dunia, Namun, hingga saat ini pekebun masih sulit memasarkan hasil kebunnya itu.

Mahulu, nomorsatukaltim.com – Sejak awal berdiri sebagai kabupaten usai memisahkan diri dari Kutai Barat. Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) langsung fokus ke sektor perkebunan. Utamanya adalah kebun kakao. Karena dengan kondisi geografis yang kebanyakan perbukitan. Sulit mengembangkan padi sawah. Sampai saat ini, sudah ada ribuan hektare kebun kakao di 5 kecamatan di Mahulu. Pemkab melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) juga secara bertahap terus membantu pengadaan bibit unggul untuk para pekebun. Sayangnya, hanya sampai di situ saja bantuan dari pemkab. Hal yang paling vital, yakni bagaimana pekebun dapat menjual kakao kering mereka, justru terabaikan. Kesulitan menjual kakao dengan harga layak seolah menjadi kesulitan bersama para pekebun. Terutama yang kebunnya jauh dari pusat pemerintahan. Seperti diakui oleh Rudi Niel Yihin, alias Rudi Walet. Seorang pekebun kakao Kampung Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari. Ia mengelola kebun kakao seluas 3 hektare. Secara mandiri sejak awal. Kakao yang ia tanam pun bukan jenis bibit unggul dari pembagian pemerintah. Meski begitu, dalam sebulan. Ia bisa memanen 800 kilogram kakao kering dari kebunnya itu. Tapi sejak mulai ditanam pada 2013. Dan mulai panen perdana pada 2015. Rudi belum pernah menikmati harga yang ideal. Karena memang tidak ada pembeli besar yang menampung hasil panennya. Upaya pemkab mengakomodir hasil panen pun belum dirasakan olehnya. Paling banter, kakao Rudi hanya dihargai Rp 20 ribu per kilogramnya. Itu juga kalau harga sedang bagus. “Belum ada pembeli besar. Hanya tengkulak. Ada info harganya Rp 22 ribu per kilogram. Tapi saya belum pernah mendapat harga seperti itu,” beber pria yang juga memiliki goa walet alam tersebut. Harapan para pekebun sebenarnya sederhana. Pemkab Mahulu diminta membuat formulasi. Agar pola penjualan kakao pasca produksi pekebun bisa terdistribusi maksimal. Karena bicara ketersediaan kakao dan keberlanjutannya. Pekebun di Mahulu sudah bisa memenuhinya. Opsi lainnya adalah pemkab bisa membuat pabrik pengolahan kakao kering. Baik dikelola oleh perusda atau pun pihak ketiga. Selain bisa meningkatkan pendapatan pekebun. Pemkab tentu bisa meraup pendapatan asli daerah (PAD) dari situ. Atau bisa juga pemkab menghadirkan investor besar. Untuk mendirikan pabrik pengolahan atau sekedar menjadi distribusi besar. “Sebenarnya saya berharap pemerintah tanggap. Karena jika harga dapat stabil, maka sangat lumayan hasilnya. Sejak 2015 saya sudah produksi biji kakao kering. Namun sayangnya tidak ada pembeli besar yang difasilitasi oleh pemerintah,” lanjutnya. Diceritakan Rudi, beberapa tahun silam sempat berdiri pabrik pengeringan kakao di Muara Tapue, Kampung Tiong Ohang. Pabrik itu diketahui didirikan dengan dana dari pemerintah pusat. Tapi hanya beroperasi sekira sebulan saja. Setelah itu, tidak ada kabar lagi. Kesulitan lain yang dialami pekebun kakao di Long Apari. Ketika akan menjual produksi kakao kering. Mereka harus menuju pusat pemerintahan di Ujoh Bilang. Yang hanya bisa dicapai dengan akses sungai. Karena belum ada jalur darat. Mereka membawa biji kakao kering itu menggunakan kapal kecil melewati riam Sungai Mahakam selama 5 jam untuk sampai di Ibu Kota Mahulu itu. Jadi selain menjual kakao dengan harga miring, usaha dan biaya perjalanannya pun besar. Padahal jika ditarik garis lurus pada peta. Jarak antar daerah itu hanya 129 kilometer saja. Yang jika dibuat akses darat. Tentu bisa memangkas waktu, jarak, dan biaya pengangkutan. Atau mungkin tengkulak sendiri yang mencari kakao di Long Apari. Selain bisa menyediakan produksi kakao kering dalam jumlah besar. Sebenarnya masih ada lagi keunggulan yang dimiliki kakao yang ditanam di bumi Mahulu. Yaitu kualitasnya. Yang diklaim Rudi punya kualitas super. “Apabila ada pembeli khusus yang difasilitasi pemerintah, saya yakin harga biji kakao kering akan naik. Karena kakao Mahulu merupakan salah satu kakao terbaik di dunia,” tukasnya. Rudi belum tahu sampai kapan ia dan rekan pekebun kakaonya harus berharap pada tengkulak kelas kecil dan menengah itu. Paling tidak, katanya, dengan segala keterbatasan ini. Ia masih bisa membiayai kehidupan keluarganya. Sampai bisa menguliahkan anaknya di Universitas Mulawarman Samarinda. Di luar masalah penjualan dan distribusi. Prospek perkebunan kakao di Mahulu tetaplah besar. Rudi Walet merasakannya betul. Karena di atas tanah yang subur di Mahulu. Rudi tidak pernah memupuk pohon kakaonya. Itu saja produksinya sudah terbilang besar. (imy/ava/eny)
Tags :
Kategori :

Terkait