Tak Hanya Perempuan, Puluhan Pria di Kaltim Jadi Korban KDRT
Kamis 24-12-2020,13:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tak hanya dialami kaum perempuan. Di Kalimantan Timur, ada 21 kasus KDRT yang dialami kaum adam.
nomorsatukaltim.com - Berdasarkan laporan yang dipublikasikan Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, dari 21 pria yang menjadi korban KDRT, 15 di antaranya berada di Samarinda. Kemudian 3 kasus terjadi di Bontang, masing-masing satu kasus di Berau, Kutai Barat dan Paser.
Kepala DKP3A Kaltim, Zaina Yurda tak merinci jenis kekerasan seperti apa yang dialami puluhan pria itu, namun ia menyatakan kekerasan fisik dan psikis banyak ditemukan.
“Ada beberapa prediksi kekerasan itu cukup meningkat, apalagi di masa pandemi. Karena seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah,” katanya, Selasa (22/12/2020).
Ia menggarisbawahi bahwa dari 21 laporan korban kekerasan terhadap pria, tidak semuanya dewasa. Dari jumlah itu, terbanyak dialami anak laki-laki.
Menurut Zaina, ada berbagai faktor yang menjadi penyebab KDRT, salah satunya persoalan ekonomi. Terlebih imbas pandemi, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Hal ini juga terlihat dari angka perceraian.
“Dilihat dari data pengadilan agama ada kecenderungan (gugatan cerai) meningkat karena masalah ekonomi. Banyak yang kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),” ujarnya. Secara umum, jumlah kasus KDRT sepanjang tahun 2020 dialami 174 orang.
Sementara angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 446 kasus. Dengan jenis kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, eksploitasi, trafficking, penelantaran, dan lain sebagainya.
Dari 10 daerah, Kota Samarinda berada di puncak dengan jumlah kasus 220, disusul Kota Bontang 65 kasus dan Balikpapan 45 kasus.
Kekerasan terbanyak terjadi di rumah tangga (51%), kemudian di fasilitas umum (7%), sekolah (3%), tempat kerja (1%), dan lain-lain (38%).
Di tempat terpisah Kepala Seksi (Kasi) Perlindungan Perempuan DKP3A Kaltim, Fahmi Rozano menambahkan, para korban kekerasan masih belum berani melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib.
“Kami sudah berkali-kali melakukan sosialisasi, namun masih banyak yang tidak berani mengadu” kata dia. Jika merujuk tahun sebelumnya, tahun ini angkanya menurun. Yakni dari 627 kasus menjadi 466 kasus.
DKP3A Kaltim mengajak pemerintah daerah untuk memberikan kesadaran pentingnya melaporkan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Upaya itu, selain memberikan perlindungan kepada korban, sekaligus memberikan efek jera kepada pelaku, maupun orang lain yang akan melakukan hal serupa.
“Jangan menunggu kasus, tetapi harus ke lapangan. Karena kalau menunggu kasus akan berjalan di tempat. Jadi kami akan berusaha mengajak turun ke lapangan. Jangan di kantor. Kita akan coba itu, sedikit demi sedikit bisa berjalan. Dan masyarakat bisa menjadi agen pelapor,” tuturnya.
Selain angka kekerasan perempuan dan anak, berdasarkan data yang dihimpun dari Pengadilan Agama Kaltim pada tahun 2020, Kasus cerai gugat sebanyak 1.058 kasus. Sementara kasus cerai talak mencapai 358 kasus.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Salehuddin, menuturkan, dengan adanya proses edukasi, mediasi, oleh beberapa lembaga dan instrumen pemerintah untuk dapat terus serius menangani kasus kekerasan perempuan dan anak.
“Masih tingginya kekerasan terhadap perempuan, termasuk ada beberapa berita-berita kekerasan oleh keluarga terdekat, kemudian anak dengan orang tua, harus dicegah dan diakhiri” katanya.
Salehuddin berharap semua pihak berkontribusi mencegah kekerasan. “Suksesnya masyarakat atau warga kita dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, dan orang tua menjadi peran penting,” terang politisi dari Golongan Karya (Golkar).
DPRD telah melakukan berbagai upaya ekstraparlemen dengan menggandeng lembaga masyarakat yang fokus terhadap perlindungan perempuan dan anak.
“Bersama seluruh pemangku kepentingan kita cari jalan keluar untuk mengatasi persoalan kekerasan,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Elly Hartati mengungkapkan, dalam situasi pandemi, ibu menjadi garda terdepan dalam mengatasi permasalahan keluarga.
“Seorang ibu dituntut all in all out segala urusan pandemi dan urusan apapun itu, bukan mengecilkan peran seorang ayah. Tetapi ibu itu jauh lebih berperan, padahal budaya kita patriarki. Tetapi diaukui peran ibu itu central,” ungkapnya.
Sehingga seluruh output dari keluarga berasal dari seorang ibu. Apabila ibu kurang peduli dengan keluarga, maka kemungkinan besar rumah tangganya akan menjadi terbengkalai.
“Itu untuk tuntutan saat ini,” tegasnya.
Dalam kasus kekerasan yang terjadi, Elly menuturkan ada puluhan kasus di KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Menurutnya, hal itu ada faktor dari ekonomi salah satunya.
“Biasanya kekerasan terhadap ibu dan anak, bermasalah kepada keluarga yang berujung kepada perceraian. Dan para pelaku kekerasan itu harus tahu, bahwa ada Undang-undang (UU). Dan itu yang masih harus diedukasi dan sosialisasikan,” katanya.
Untuk kasus penyelesaian kasus kekerasan perempuan dan anak, peran KPAI harus lebih indepen. Pasalnya untuk saat ini masih ditangani oleh pihak Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Agak lebih luas dalam aturan dan lebih berkembang lagi, mungkin karena kasus kekerasannya cukup tinggi dan cukup mencuat hingga nasional, menjadi pertimbangan,” pungkasnya. (tor/yos)
Tags :
Kategori :