Partisipasi Pemilih di Pilkada: Meleset Jauh dari Target

Sabtu 12-12-2020,13:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Jumlah pemilih dalam pilkada di Kalimantan Timur tak seperti diharapkan. Bebagai indikasi menunjukkan, capaian 77,5 persen partisipasi, tinggal mimpi.

nomorsatukaltim.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) di berbagai daerah sampai kemarin belum menyelesaikan proses penghitungan hasil pemungutan suara. Meski begitu, berdasarkan hitung cepat, hasil pilkada di daerah-daerah yang menggelar pemilihan sudah diketahui. Pasangan calon (paslon) yang perolehan suaranya unggul, sudah pula mendeklarasikan kemenangan. Begitu pula, sudah ada paslon yang memberikan ucapan selamat kepada pasangan pemenang hitung cepat. Namun di balik situasi yang relatif aman selama kenduri demokrasi berlangsung, jumlah pemilih menurun. Di Samarinda misalnya, berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga, jumlah golput mengalahkan pemberi suara. Dari 576.981 daftar pemilih, tercatat 258.910 suara sah, atau 94,36%. Suara itu berasal dari 274.396 pemilih atau 47,56% dari jumlah DPT. Artinya ada 302.585 atau 52,44% warga tidak menggunakan hak suara. Jumlah itu lebih banyak dari suara yang dihasilkan pemenang hitung cepat, Andi Harun-Rusmadi Wongso (36,4%). Soal fenomena ini Pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Lutfi Wahyudi menilai pandemi COVID-19 menjadi salah satu penyebab. Ia bahkan menyebut target 77,5% pemilih tidak realistis. Karena itu,   wajar jika angka pemilih jauh dari target yang ditetapkan KPU. "Dari KPU Kaltim belum merilis persentase partisipasi pemilih. Tapi menurut informasi yang beredar, tidak sampai 60 persen itu," kata Lutfi, Jumat (11/12/2020). Menurutnya, penyelenggaran hajat pemilihan kepala daerah ini, terlalu memaksa. Mengingat risiko penyebaran wabah virus masih tinggi. Sehingga, masyarakat yang peduli terhadap kesehatan, lebih memilih tidak menyalurkan hak politiknya. Ketua KPU Balikpapan, Noor Thoha belum berani menyebutkan jumlah pemilih. Ia berdalih, sampai kemarin, penyelenggara pemilu belum menyelesaikan penghitungan surat suara. "Kalau bicara partisipasi paling rendah kami belum (bisa pastikan). Sementara kami belum punya punya data yang valid. Kalau faktor (partisipasi rendah) bisa dikira-kira. Tapi kalau data tidak bisa," katanya. Di Kutai Kartanegara, Komisioner KPU Nofand Surya Gafillah setali tiga uang. “Yang jelas intinya tunggu proses penghitungan hasil pilkada dan rapat pleno terbuka KPU,” ujar Nofand. Soalnya rendahnya angka pemilih, Ketua KPU Samarinda, Firman Hidayat juga tak berani menjawab. Ia menjelaskan, KPU sedang merekapitulasi hasil suara di tinggkat kelurahan dan rekapitulasi tingkat kecamatan. “Dan sesuai dengan jadwal tanggal 10 hingga 14 Desember masuk proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) kecamatan,” jelasnya. Namun Firman mengatakan, penyelenggara pemilu sudah melakukan berbagai upaya untuk menarik partisipan. Termasuk sosialisasi terhadap masyarakat tentang keamanan TPS. “Kami juga sudah memasukkan data pemilih tetap dan fasilitasi dengan undangan serta undangan. Ketika mereka tidak mau datang ke TPS, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.

HUKUMAN PUBLIK

Kembali ke Lutfi Wahyudi, hal lain, yang mempengaruhi menurunnya partisipasi pemilih adalah kekecewaan masyarakat kepada pemerintah, baik eksekutif, legislatif, partai, dan kalangan elit politik. “Mereka memberi sinyal kekecewaan dengan memilih golput. Ini sebagai bentuk resistensi dan respon negatif kepada pemerintah dan KPU. Yang 'ngotot' melaksanakan Pilkada di tengah pandemi,” jelas Lutfi. "Karena kalau sudah terinfeksi kan urusan masing-masing. Sementara yang perlu suara kita kan elit. Balik lagi. Sudah mempermainkan butuh suara lagi. Ya siapa yang mau?" kritiknya. Angka 38 persen pemilih kotak kosong pada Pilkada Balikpapan dan 27 persen di Pilkada Kukar, sebagai tolok ukur kekecewaan masyarakat kepada elit politik. Terutama pada kalangan elit partai politik (parpol). Di dua daerah itu, parpol dianggap menghilangkan unsur kompetisi yang menutup pilihan lain bagi masyarakat. "Demokrasi kan esensinya memberikan pilihan. Bukan meniadakan pilihan. Sementara ini yang dilakukan elit politik. Itu kemudian, yang memunculkan respon negatif kalangan pemilih," jelas Lutfi. Di samping itu, menurut dia, ada  kekecewaan masyarakat terhadap paslon tunggal. Ada perbedaan yang cukup signifikan melihat respon dari masyarakat atas fenomena munculnya kotak kosong di dua daerah ini. Di Balikpapan, persentase masyarakat menengah atas lebih banyak ketimbang Kukar. Maka tidak heran. Pemilih kotak kosong di kota Minyak, lebih banyak. Dibandingkan pemilih kotak kosong di Kukar. Dua daerah itu, menurut Lutfi, punya budaya politik yang relatif berbeda. Di Balikpapan sudah mulai mengarah pada peningkatan jumlah masyarakat, yang masuk kategori budaya politik partisipan. Sementara Kukar, jumlah masyarakat pemilih, mayoritas masih pada level parokial dan kawula. "Ditambah lagi dengan kemampuan Edi Damansyah. Dalam merangkul kalangan birokrasi di Kukar yang jauh lebih bermakna ketimbang di Balikpapan," tuturnya. Sementara Samarinda, menurut Lutfi, tingkat partisipasi politiknya memang tidak terlalu tinggi. Sejak dulu, angka golput di kota ini, cukup tinggi. Hal ini, disebabkan oleh banyaknya pegiat dari kalangan masyarakat sipil. Yang aktif memberikan kesadaran politik pada masyarakat. Keberadaan perguruan tinggi juga turut menambah peran itu. "Bukan berarti, perguruan tinggi menyumbang angka golput, tidak. Melainkan penyadaran politik yang kemudian memunculkan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah," ujar akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul ini. Ia pun berpesan kepada pemerintah. Jika tidak ingin dikritisi dengan cara negatif, buatlah kebijakan yang pro rakyat. Dalam artian peduli kepada rakyat dengan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat. "Barangkali masyarakat Samarinda marasakan hal yang sebaliknya. Kemudian ditambah kesadaran politik yang makin  membaik," tandasnya. Kondisi itu, mungkin menjadi hal yang tidak nyaman dirasakan kaum elit politik. Tapi itu lah konsekuensi ketika kesadaran politik masyarakat mulai meningkat. Untuk munculkan respon positif masyarakat, pemerintah harus menunjukkan perilaku yang memunculkan simpati masyarakat. Bukan justru, menunjukkan sikap ofensif pada masyarakat yang kritis terhadap pemerintah. (krv/tor/mrf/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait