Hebat, Sineas Asal Bontang Raih Piala Citra di FFI 2020
Jumat 11-12-2020,20:15 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal
Warga Kaltim, khususnya Bontang patut berbangga memiliki Muhammad Arif. Seorang putra daerah yang sukses menjadi sineas di ibu kota. Salah satu karyanya, film dokumenter pendek berjudul “Ibu Bumi”, meraih Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2020. Disway-Nomor Satu Kaltim berkesempatan wawancara dengan sineas sukses ini. Mulai soal filmnya, bekerja di tengah pandemi, dan potensi sineas Kaltim.
Muhammad Zulfikar Akbar, Bontang
nomorsatukaltim.com - RIUH tepuk tangan bergerumuh, saat sineas senior Indonesia, Joko Anwar dan Christine Hakim masuk ke panggung FFI 2020. Keduanya membacakan lima nominasi kategori film dokumenter pendek terbaik. “Ibu Bumi” disebut paling akhir. Namun justru film itulah yang menjadi jawaranya. Mengalahkan ratusan film yang sebelumnya masuk kurasi.
Tepukan tangan kembali menggema di Jakarta Convention Center (JCC), Sabtu (5/12/2020) malam itu. Produser film tersebut, Wini Angraeni naik ke panggung. Ditemani sang Director of Photography (DOP), Muhammad Arif. Piala Citra, lambang penghargaan tertinggi di dunia film tanah air pun diserahkan Joko Anwar dan Christine Hakim, kepada Wini dan Arif.
Diwawancara via sambungan telepon, Arif yang masih di Jakarta saat ini mengaku bangga dan tak menyangka salah satu karyanya berhasil menyabet Piala Citra. Padahal, tujuan awal film dokumenter tersebut bukanlah penghargaan. Melainkan membantu masyarakat di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang tengah berjuang melawan pembangunan pabrik semen di daerahnya.
“Mungkin ini imbas dari niat baik,” ujarnya.
Ia pun bercerita soal film yang disutradarai oleh Chairun Nisa itu. Katanya, film ini mulai digarap pada awal 2019. Salah satu rumah produksi, Sedap Film merekrut Arif untuk menjadi DOP dalam film “Ibu Bumi”. Film ini diinisasi oleh salah satu non-government organization (NGO), Publish Whay You Pay Indonesia, yang aktif mengawal isu pembangunan pabrik semen di Kendeng dan Rembang, Jawa Tengah.
Lembaga ini kemudian berpikir, untuk membuka mata pemerintah dan membangun kesadaran warga secara luas terkait dampak pembangunan pabrik semen melalui film dokumenter. Namun dengan cara yang tidak memprovokasi.
“Cara tersebut juga sama dengan yang diinginkan sutradara kami, kami sajikan dengan cara smooth, tersirat,” jelas pria kelahiran Bontang, 3 Desember 1991 ini.
Kesepakatan pun terjadi. Riset ke daerah itu pun dilakukan. Alumus SMAN 1 Bontang 2010 ini pun ikut mendampingi ke lokasi yang dimaksud: Kendeng dan Rembang. Di kedua daerah itu, ia menemukan perbedaan yang mencolok. Kata Arif, warga Kendeng berhasil “mengusir” pemerintah yang berencana mendirikan pabrik semen di daerah itu. Alhasil, sumber daya alam (SDA) di Kendeng masih terjaga.
“Tanah masih subur, airnya juga masih segar,” kata Arif.
Namun berbeda kala di Rembang. Pabrik semen mulus terbangun di daerah itu. Kondisinya pun seperti berbanding 180 derajat dengan Kendeng: tanah tak subur, air pun keruh. Bahkan desanya lebih sering berdebu, efek penambangan batu kapur sebagai bahan baku semen di daerah itu.
Lalu, bagaimana Arif dkk menyajikan film tersebut? Ia dan timnya menggunakan satu tokoh, namanya Bagus. Dia adalah anak tetua adat, yang justru sehari-harinya seperti menentang kebiasaan adatnya. Contohnya, adat di sana mengharuskan anak-anak tidak sekolah formal. Tetapi, mereka tetap belajar di rumah masing-masing dengan pengetahuan mereka sendiri. Meski demikian, kata Arif, pengetahuan mereka apalagi seputar politik dan isu terkini, tak perlu diragukan juga.
Lain halnya Bagus, di saat adatnya tak ingin berdekatan dengan peradaban modern, ia justru lekat dengan duniawi masa kini. Mendirikan band yang diberi nama Kendeng Squad. Ia pun menjadi vokalis di dalamnya. Dengan tiga personel yang juga beragam: tidak satu adat dengannya. Tokoh ini yang dimanfaatkan Arif dkk meramu film “Ibu Bumi” hingga meraih penghargaan Piala Citra.
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=MCbU7IWSrdc[/embedyt]
TERDAMPAK PANDEMI
Arif bukanlah sineas yang bekerja di bawah instansi atau lembaga tertentu. Ia bekerja freelance. Proyek-proyek filmnya berdasarkan pesanan klien dan rumah produksi yang merekrutnya. Beberapa proyek yang dikerjakannya pun beragam. Mulai dari film pendek, video klip, iklan digital, dan dokumenter.
Total, puluhan karya sudah ia garap. Beberapa di antaranya, seperti iklan digital dan video klip bahkan sudah tayang di layar kaca.
“Kemarin juga baru selesai garap video klip Ivan Seventeen,” katanya.
Biasanya, kata Arif, ia bisa mengerjakan 10 proyek dalam sebulan. Namun imbas pandemi COVID-19, proyeknya menurun drastis.
“Sekarang ini satu-dua proyek yang masuk,” ujar lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) mayor Sinematografi ini.
Bahkan di awal-awal corona masuk di Indonesia, antara pekerja film dengan aparat sering “kucing-kucingan”. Terutama saat masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jika ada rumah produksi yang kedapatan sedang syuting, bisa dihentikan saat itu juga.
“Bahkan bisa didenda sampai Rp 50 juta,” ungkap Arif.
Dirinya pun turut merasakan akibatnya. Imbas seluruh produksi dihentikan, hampir lima bulan lamanya ia tak kerja.
“Syuting itu jadi seperti kegiatan ilegal. Kalau teman-teman yang lain ada yang kucing-kucingan. Kalau saya setop hampir lima bulan,” ujarnya.
Namun aturan mulai longgar memasuki Juli hingga kini. Setidaknya, ada satu atau dua syuting tiap bulannya yang bisa dilakoni. Meski tetap harus dengan protokol kesehatan ketat.
Salah satu proyek yang baru saja selesai digarapnya mengangkat tentang Sarung Samarinda. Film tentang sarung khas Kota Tepian itu diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI bersama TVRI. Arif turut menjadi DOP di dalamnya.
“Saat ini proses audio mixing. Target launching sih tengah Desember atau akhir bulan ini ya,” kata pemilik akun instagram @arif.bontang ini.
Ia turut bercerita mengenai keunikan Sarung Samarinda saat proses syutingnya. Katanya, Sarung Samarinda ini begitu terkenal di luar Kaltim. Utamanya di Jawa, ketika mengunjungi toko sarung, Sarung Samarinda jadi salah satu yang populer dibandingkan sarung dengan merek ternama.
“Kalau dilihat sejarahnya, sebenarnya ada sedikit kesamaan dengan sarung asal Bugis. Karena asal sarung ini kan dari perkampungan Bugis di tepi Sungai Mahakam ini,” jelasnya.
Beberapa hal unik dibanding sarung lainnya ialah, Sarung Samarinda masih dibuat manual atau dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Selain itu, berbeda di daerah lain, warga Samarinda begitu bangga dengan sarungnya. Ia pun turut bangga, sebagai putra daerah bisa membantu mempromosikan salah satu produk khas asal Kaltim.
“Kebanggaan dengan produk lokal ini termasuk yang diangkat dari proyeknya Kemendikbud ini,” ujarnya.
KALTIM PUNYA POTENSI
Berbicara potensi sineas lokal Kaltim, Arif begitu bersemangat. Ia tahu betul potensi kreator film di Bumi Etam. Bahkan menyebut beberapa nama sineas lokal yang diketahuinya.
“Potensi kami (sineas lokal, Red.) enggak kalah kok dengan ibu kota, bahkan menyamai,” tegas Arif yang sedikitnya sudah memproduksi 25 karya sinematografi.
Kata Arif, tampak sepinya sineas di daerah, lantaran industri kreatif yang mendukungnya masih minim. Berbeda dengan Jakarta yang industri kreatifnya memang tumbuh. Menurutnya, menumbuhkan industri kreatif tidak hanya bisa dari satu pihak saja.
“Kuncinya kolaborasi. Kalau semua mau kerja sama, pemerintah, sineas lokal, stakeholder lain, industri kreatif ini pasti bisa tumbuh di Kaltim,” kata Arif.
Kendala lain, lanjutnya, karena masih ada gap antara sineas daerah satu dengan yang lain. Padahal, karya para sineas ini jika disatukan dalam satu proyek film, kata Arif bisa lebih bagus dan maksimal hasilnya ketimbang dikerjakan sendiri.
“Mereka (sineas) ini masih tetap eksis kok saat ini. Paling tidak satu-dua karyanya selalu di-publish. Dan hasilnya juga enggak kalah bagus. Tapi kalau bisa kerjain bersama, pasti lebih bagus hasilnya,” tuturnya.
Di ujung wawancara ini, Arif berpesan kepada pemerintah daerah untuk mulai melirik potensi industri kreatif. Salah satunya film. Sebab, sumber daya alam (SDA) suatu saat akan habis. Sementara seni, atau industri kreatif akan selalu ada mengikuti perkembangan zaman.
“Korea Selatan sekarang bisa dikenal, justru dari industri kreatifnya. Pemerintahnya mendukung dan menyiapkan ekosistemnya. Kalau Korea saja bisa, Indonesia seharusnya juga bisa,” ujar Arif.
Ia juga berharap, ada kolaborasi antara kreator film lokal, pemerintah, dan stakeholder, termasuk masyarakat dalam menumbuhkan industri film di Bumi Etam. Untuk bersama-sama mengeluarkan potensi terdalam sineas Kaltim. Yang sebentar lagi menjadi ibu kota negara baru menggantikan Jakarta.
“Potensi sineas Kaltim itu hebat, asal ada kerja sama dan saling dukung antar semua pihak,” pungkasnya. (zul)
Tags :
Kategori :