Mas Parno

Jumat 11-12-2020,07:47 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Saya sarankan jangan semua orang membaca Disway hari ini. Tulisan ini hanya berisi kenangan untuk seorang anak buah yang baru saja meninggal dunia. Saya penuhi janji itu. Telat.

Mas Parno sudah meninggal dunia. Rabu pagi lalu. Karena kanker pankreas. Di RSCM Jakarta.

Putri beliau yang memberi tahu bahwa Mas Parno meninggal dunia. Dia mau menikah minggu depan. Satu jam kemudian, saya meluncur ke kampung asal Mas Parno: Dusun Krajan, Desa Poncol, Kecamatan Sine, di lereng utara Gunung Lawu, Jatim.

Saya tahu, kampung itu jauh sekali, pun dari kota terdekat: Ngawi. Tapi saya sudah berjanji suatu saat akan ke situ. Itulah kampung kelahiran kebanggaan Mas Parno.

Mas Parno adalah Direktur Utama PT WSM. Itulah holding company untuk sekitar 50 perusahaan koran, radio, televisi, media online, percetakan, pabrik pelet, dan tambak udang.

Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung, Cirebon, Tasikmalaya, Bandung, Tegal, Banyumas dan sekitarnya.

Hidupnya habis untuk keliling ke kota-kota itu. Untuk menemui para pimpinan unit usaha di sana. Tugas saya menjadi ringan karena Mas Parno bisa mengatasi semua masalah di grup itu.

Tapi Mas Parno masih ingat untuk selalu pulang ke kampungnya itu. Setidaknya setahun sekali. Untuk menemui orang tuanya –ketika masih hidup. Atau ke makam orang tua–Ketika keduanya sudah meninggal dunia.

Setiap kali pulang ke kampung itu Mas Parno punya acara besar: mempraktikkan ilmu dalangnya. Ia pentas. Mas Parno memang dalang wayang kulit. Maka rumah orang tuanya itu ia bangun dengan konstruksi beton. Dengan tiang yang tingginya sama dengan rumah empat lantai.

Itu karena rumah tersebut di lereng bukit. Sulit mendapat tanah datar –pun untuk hanya seluas rumah itu. Posisi lantai yang paling atas pun baru sejajar dengan jalan berliku di lereng gunung itu. Maka lantai teratas tersebut justru menjadi seperti lapangan kecil. Di samping sebagai atap. Luasnya kira-kira 8 x 12 meter.

Di pelataran itulah Mas Parno selalu menggelar wayang kulitnya. Baru di bawah “halaman” itulah rumah bapak ibunya. Yang untuk ke rumah itu harus menuruni perengan gunung. Lewat jalan yang berkelok.

Di bawah atap itulah tiang-tiang beton tinggi menyangga rumah itu. Tapi tiang-tiang beton itu tidak menonjol. Kalah dengan pohon-pohon tinggi di kebun sekelilingnya.

Saya tidak menyangka kampung Mas Parno seterpencil itu. Dulu, waktu saya berjanji suatu saat akan ke sana, saya pikir tidak sulit. Toh kampung kelahiran ayah saya juga di lereng utara Gunung Lawu.

Sesekali saya masih ke kampung ayah saya itu: Gedangan, Jogorogo. Kapan-kapan sekalian mampir ke Poncol-nya Mas Parno.

Baru kemarin itu saya tahu bahwa Poncol masih satu jam bermobil dari kampung ayah saya. Dulu, saya pikir kampung ayah saya sudah yang paling terpencil. Yang untuk ke sana harus menyeberangi sungai. Dengan cara loncat-loncat batu di sela-sela aliran air. Waktu kecil saya suka BAB di sungai itu. Dengan cara jongkok. Kaki kiri dan kaki kanan bertumpu di batu yang berbeda. Lalu mencucinya dengan air yang mengalir deras di sela batu itu.

Ternyata kampung Mas Parno lebih terpencil lagi. Sudah dekat dengan perbatasan kabupaten Karanganyar, Jateng.”Di balik bukit itu sudah Karanganyar,” ujar sepupu Mas Parno sambil menuding salah satu bukit di sebelah barat kuburan.

Tags :
Kategori :

Terkait