Mas Parno

Jumat 11-12-2020,07:47 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Saya memang ke kuburan itu. Melihat lubang yang akan dipakai menyemayamkan mayat Mas Parno. Yakni di sebelah persis makam ibunya. Di bawah pohon rindang yang amat besar –yang tidak ada yang tahu sudah berapa ratus tahun umurnya.

“Kalau Pak Manteb ke sini, ya menerabas lewat bukit itu,” ujarnya. Manteb Sudarsono adalah dalang kondang pujaan saya juga. Yang rumahnya di Karanganyar ternyata di balik bukit itu. Bukan hanya Pak Manteb yang sudah ke Poncol-nya Mas Parno. Sudah puluhan dalang datang ke Poncol.

Untuk tampil gantian, dan sesekali tampil bareng. Pokoknya orang Poncol bangga banget pada Mas.

Parno. Ingin dalang siapa pun Mas Parno sanggup mendatangkan. Setiap saat selalu ada wayangan di situ.

Nama aslinya hanya satu kata: Suparno. Ia sempat menjadi wartawan Masa Kini di Jogja, sebelum bergabung dengan saya, menjadi wartawan di Jakarta. Ketika harus ke luar negeri, saya minta agar namanya ditambah satu kata lagi. Ia pilih menjadi Suparno Wonokromo.

Rasanya ada beberapa wartawan bernama satu kata yang saya minta dijadikan dua kata. Agar kalau ke luar negeri tidak ada masalah. Wartawan Don Kardono itu, aslinya bernama hanya Kardono.

Saya punya dua anak buah yang sama-sama wartawan hebat. Juga sama–sama dalang. Satunya lagi juga bernama satu kata: Margiono. Kini Dirut Rakyat Merdeka Group.

Mas Parno lebih sering mendalang daripada Margiono. Terutama karena Margiono lantas menjadi ketua umum PWI Pusat dua periode. Kadang-kadang saya goda Mas Parno: jangan- jangan kesibukan ndalangnya lebih diutamakandaripada mengurus perusahaan.

Tapi kok perusahaan di bawahnya maju semua. Beres semua. Ya sudah. Sering juga saya tegur Mas Parno. “Kok di Sumatera masih mendalang terus. Apakah nanti tidak ada anggapan men-Jawa-kan

Sumatera?” tegur saya. “Di sini banyak sekali orang Jawa. Mereka juga kangen wayang,” jawabnya.

Mendengar jawaban itu saya pun tidak pernah menegur lagi. Yang penting urusan perusahaan beres.

Hanya kadang saya kasihan pada para manajernya: harus ikut semalam suntuk menonton ia mendalang tanpa tahu jalan ceritanya.

“Lama-lama kami mengerti kok,” jawab salah satu direktur di Jambi. Saya tahu itu adalah jawaban

seorang manajer yang bijaksana. Setelah lama saya tidak menegur lagi, giliran saya kena batunya. Mas Parno mengadakan rapat pimpinan di Jambi. Saya diminta harus hadir. Dan harus menginap. Tumben.

Saya pun hadir. Ternyata malam harinya ada pertunjukan wayang kulit di Kota Jambi. Saya diminta harus “mucuk-i”. Yakni memainkan wayang di awal pertunjukan sebagai tanda pagelaran dimulai.

Saya pun mengingat–ingat bagaimana saat saya mendalang amatiran sambil menggembala kambing di sawah. Yang wayangnya terbuat dari rumput –yang dibuat wayang-wayangan. Kami tidak mampu membeli wayang –pun hanya terbuat dari kertas.

Tags :
Kategori :

Terkait