Kesejahteraan Petani di Antara Dana Sawit dan Biodiesel

Selasa 01-12-2020,14:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kesulitan merealisasikan program peremajaan sawit rakyat (PSR). Dari 6.000 hektare lahan perkebunan yang ditargetkan sejak tiga tahun lalu, baru 1.600 hektare dalam proses pengajuan.

nomorsatukaltim.com - Kepala Bidang Pengembangan Komoditi Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kaltim, Siti Wahyuni mengatakan, banyaknya persyaratan yang harus dilengkapi dalam proses pengajuan, menjadi salah satu sebab minimnya realisasi program PSR dari BPDPKS di Kaltim. Beberapa syarat pengajuan PSR di antaranya seperti, minimal luasan lahan yang diajukan adalah 50 hektare. Oleh masing-masing pemohon yang diajukan melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Program peremajaan hanya dilakukan kepada tanaman sawit yang sudah tidak produktif. Yakni direntang usia 25 sampai 30 tahun. "Sementara rata-rata kebun sawit kita kan masih 10-15 tahun umurnya. Masih produktif. Jadi mereka tidak mau diremajakan. Karena kalau diremajakan harus ditebang, dan diganti bibit baru." Jelas Wahyuni kepada Disway-Nomor Satu Kaltim, Senin (30/11/2020). Selain itu, syarat yang dinilai cukup memberatkan adalah penetapan titik koordinat perkebunan. Yang harus disetujui oleh Dinas Kehutanan setempat. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumpang-tindih lahan perkebunan dengan kawasan hutan. Setelah itu, pemohon masih harus menjalani proses verivikasi di Dinas Perkebunan. Baik tingkat kabupaten/kota mau pun provinsi. Setelah proses verivikasi selesai, data pemohon dikirim ke BPDPKS untuk menunggu penerbitan rekomendasi teknis (rekomtek). Kemudian, dilakukan tanda terima dari 3 pihak. KUD, Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota, dan BPDPKS. Setelah itu, baru lah dana bisa diterima oleh KUD senilai Rp 30 juta per hektare. Untuk proses peremajaan perkebunan kelapa sawit. "Dana harus direalisasikan selama 6 bulan. Jika dalam jangka waktu itu, dana belum digunakan, maka akan ditarik lagi," ungkap Wahyuni. Ia menyebut, baru program PSR lah yang telah terealisasi di Kaltim. Sementara 2 program BPDPKS lainnya. Yakni pengembangan sumber daya manusia, dan bantuan sarana dan prasarana masih dalam tahap sosialisasi. "Baru mau kami mulai tahun ini. Kami sudah buatkan SK-nya untuk diteruskan ke kabupaten kota," pungkasnya. Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu mengatakan penyaluran dana dari BPDPKS kepada petani sawit tak pernah dibahas secara riil di DPRD. Namun, yang ia pantau dari media, realisasi dana BPDPKS yang disalurkan baru tersalur di satu kabupaten. "Kalau ditanya maksimal, saya kira belum," jawabnya. Ia berharap, program PSR dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

47 TRILIUN

Pengelolaan dana sawit dilakukan BPDPKS sejak tahun 2015. Lembaga ini merupakan badan layanan umum di bawah Kementerian Keuangan yang bertugas menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan. Dana pungutan itu, kemudian dikelola untuk mendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. Dana yang dikelola BPDPKS ini sangat besar. Per Desember 2019, dana yang dikelola BPDPKS senilai Rp 47 triliun. Namun, besarnya dana yang dikelola dinilai tak sebanding dengan kemajuan sektor perkebunan sawit di Indonesia. Terutama, dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani sawit. Padahal, itu lah visi-misi badan layanan ini dibentuk. BPDPKS memberikan 3 program kegiatan dalam pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit. Di antaranya kegiatan  peremajaan sawit rakyat (PSR), pengembangan sumber daya manusia, dan bantuan sarana dan prasarana. Namun, ketiga program itu, dinilai tak berjalan optimal. Dari data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Capaian PSR pada  tahun 2017 hingga 2018 hanya sekitar 14 persen. Dari 180 ribu hektare yang ditargetkan. Hanya sekitar 8000 hektar yang berhasil.

PROGRAM BIODIESEL

Dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 14 tahun 2018, salah satu tujuan program itu ialah mendukung kebijakan biofuel. Permen itu berisi tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kepala Sawit. Data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menunjukkan produksi dan konsumsi biodiesel mengalami peningkatan sejak program mandatori B30 disahkan. Sempat mengalami penurunan di pertengahan tahun, harga bahan bakar nabati kembali naik.  (lihat grafis) Pada Maret 2020, konsumsi biodiesel di pasar domestik masih sebesar 784.266 kiloliter (kl) namun pada Juni turun menjadi 643.602 kl.  Secara rinci, konsumsi biodiesel pada Januari 2020 sebesar 683.433 kl, pada Februari menjadi 769.784 kl, pada Maret 784.266 kl, April turun menjadi 643.132 kl, Mei 669.791 kl, dan pada Juni hanya 643.602 kl.

KONSUMSI KALTIM

Sementara itu Pertamina Kalimantan memerlihatkan konsumsi B30 mencapai 633.612 KL. Angka itu merupakan akumulasi konsumsi sepanjang Januari-Oktober 2020. Sedangkan di Kalimantan Timur, konsumsi B30 mencapai 186.643,104 KL. Region Manager Communication Relation & CSR Pertamina Kalimantan, Robert Marchelino Verieza mengatakan distribusi B30 berdasarkan angka yang ditentukan pemerintah. “Untuk wilayah Kalimantan, kuota yang disediakan tahun ini sebanyak 684.313,336 KL,” kata Robert, baru-baru ini. Biodiesel dengan pencampuran 30 persen kelapa sawit disalurkan melalui SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Robert mengatakan, sampai saat ini pemerintah belum menetapkan kuota B30 untuk tahun depan. Berkaitan dengan Pasal 40 ayat 4 UU Nomor 11 Tahun 2020 Omnibus Law Cipta Kerja menyatakan, Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi. Dengan definisi itu, maka UU tidak mengakui biodiesel sebagai BBM. Dampaknya, mandatori B30 berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 41/2018, bakal tergusur. “Kalau bicara UU ranahnya di pembuat UU yaa..hehehe..kalau pertamina adalah operator yang beroperasi sesuai dengan aturan yang berlaku..salah satunya UU,” jawab Robert. (krv/fey/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait