Ini luput dari perkiraan Kanjeng Sinuhun. Membungkam Kaum Hermes saja tidak cukup. Ternyata ada kekuatan lain yang lebih besar pengaruhnya; musuh politik.
----------------
MUFAKAT KANJENG SINUHUN - SAGAT legawa. Dirinya tidak terjerat dalam kasus penggelembungan dana perluasan lahan pertanian itu. Padahal ia khawatir sekali jika terseret. Ia ketakutan hingga jarang keluar rumah. Wajar saja, karena biasanya ke mana-mana Sagat sering menemani Sinuhun Ucok, yang kini sudah ditahan pihak punggawa militer. Pun dalam urusan perkelahian dan tindakan kekerasan.
Suatu malam, sekitar pukul 20.00, Sagat memberanikan diri keluar rumah. Ia menuju warung kopi di depan gang rumahnya. Seperti biasa, banyak teman-teman dan tetangganya juga nongkrong di tempat itu. “Weih.. apa kabar? Lama enggak kelihatan,” sapa Simad.
Simad sebetulnya juga Kaum Hermes di sebuah media cetak di Kota Ulin. Sudah senior. Ia sudah tidak turun ke lapangan lagi. Hampir setiap malam, Simad menghabiskan waktu di warung kopi itu. Rumahnya beda gang dengan Sagat. Simad hobi main catur. Kedatangan Sagat disambut gembira. “Wah..ada musuh nih,” kata Simad.
“Ayuk sudah, main!,” ujar Sagat.
Simad pun buru-buru ambil papan catur. Sambil memesan kopi dan pisang goreng. Sungguh pasangan yang pas menemani mereka bermain catur. “Belikan aku rokok juga ya. Lagi bokek nih, enggak bisa mikir,” pinta Sagat.
“Ndak masalah, ambil saja. Nanti aku yang bayar semua”.
Sambil memainkan bidak catur, Sagat dan Simad pun berbagi cerita. Termasuk mengomentari persoalan-persoalan kota yang tengah hangat. Namanya obrolan warung kopi, bebas saja mau ngomong apa. Tak sadar, Sagat pun menceritakan kisahnya bersama Sinuhun Ucok. Termasuk ketika ia membantu Ucok mendistribusikan uang kepada para petinggi Kota Ulin. Antara lain Kanjeng Sinuhun.
“Kanjeng Sinuhun lagi pusing nih, soal kasus lahan itu”.
“Lho, memang kenapa? Kalau tidak merasa terlibat tak perlu pusing,” ujar Simad, sambil menggerakkan bidak catur.
Skakk…rupanya dalam beberapa langkah saja, Simad sudah mendesak bidak Sagat. Wow… masih ada jalan. Sagat segera menutupi bidak raja dengan peluncur.
“Pastinya terlibatlah, wong aku yang antar uangnya ke Kanjeng Sinuhun. Pakai plastik warna hitam,” kata Sagat.
“Ah serius?!,” Simad menatap Sagat. Tak menyangka jika lawan mainnya tahu kasus tersebut.
“Iya. Tapi jangan bilang-bilang ya,” timpal Sagat lagi.
Obrolan pun semakin hangat. Sagat menceritakan proses penyerahan uang ke Kanjeng Sinuhun. Ketika itu ia diminta Ucok untuk mengantarkan uang dalam plastik hitam itu. Sagat pun meluncur menggunakan sepeda motornya. Ia masuk ke rumah dinas Kanjeng Sinuhun. Kantong plastik berisi uang itu, ia letakkan di bawah kursi di beranda rumah Kanjeng Sinuhun. Sesuai perintah Ucok. Ia tidak bertemu langsung dengan Kanjeng. Bahkan mungkin Kanjeng tak tahu siapa yang mengirimkan uang itu.