Tanda-Tanda Kematian Demokrasi (1)

Rabu 25-11-2020,08:22 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Jakarta, nomorsatukaltim.com – Kekhawatiran terhadap kematian demokrasi telah menjadi perbincangan para ilmuwan politik. Bukan semata karena buku How Democracies Die viral di dunia maya setelah diunggah Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan. Tetapi tema ini telah mencuat seiring sistem demokrasi prosedural diterapkan di Indonesia.

Topik kematian demokrasi, sebagaimana diulas Steven Levitsky dan Daniel Ziblattt dalam How Democracies Die, dilatarbelakangi fenomena terpilihnya Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2016 lalu. Namun pertanyaan mendasar tentang tanda-tanda kematian demokrasi telah menjadi konsen dua guru besar Harvard University itu selama bertahun-tahun.

Barangkali kita yang hidup di negara yang menganut sistem demokrasi akan mengajukan pertanyaan: bagaimana mungkin demokrasi mati di tengah hiruk pikuk pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah yang menggema hingga dinobatkan sebagai pesta rakyat setiap lima tahun sekali? Atau pertanyaan yang lebih mendalam sebagaimana diajukan Levitsky dan Ziblatt dalam kata pengantar bukunya, “Apakah demokrasi kita dalam bahaya?”

Kematian demokrasi, menurut keduanya, bisa terjadi dengan dua cara: pertama, kudeta militer di tangan orang-orang yang bersenjata. Seperti yang terjadi di Argentina, Brazil, Ghana, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Republik Dominika, Thailand, Turki, Uruguay, dan Yunani.

Cara demikian juga terjadi di Mesir pada tahun 2013. Saat Presiden Muhammad Mursi digulingkan militer. Begitu juga yang menimpa Thailand kala Perdana Menteri Yingluck Shinawa digulingkan oleh militer dari tampuk kekuasaannya. “Demokrasi hancur secara spektakuler, melalui kekuatan militer dan pemaksaan,” jelas Levitsky dan Ziblatt dalam buku How Democracies Die sebagaimana dikutim Disway Nomorsatu Kaltim pada Rabu (25/11/2020).

Kedua, demokrasi mati melalui pemilihan yang “dianggap” demokratis. Levitsky dan Ziblatt mengetengahkan Venezuela sebagai contoh kasus. Rakyat negara itu tidak menyadari bahwa terpilihnya Hugo Chavez di tampuk kekuasaan pada 1998 menjadi awal mula kehancuran demokrasi di negara yang terletak di Amerika Utara itu.

Ironisnya, masyarakat Venezuela menganggap kesuksesan Chavez menduduki jabatan presiden sebagai awal dari kristalisasi demokrasi di negara tersebut. “Demokrasi terinfeksi. Dan Chavez satu-satunya antibiotik yang kami punya,” kata seorang perempuan di Venezuela di malam pemilihan sebagaimana dikutip kedua penulis kenamaan di AS tersebut.

Ketika meluncurkan revolusi yang dia janjikan, kata Levitsky dan Ziblatt, Chavez melakukannya secara demokratis. Setahun setelah terpilih sebagai presiden, ia menyelenggarakan pemilihan umum bebas untuk dewan konstituante. Hasilnya, kemenangan besar bagi sekutunya di pemerintahan. Sekutu Chavez kemudian menulis konstituante baru secara sepihak. Konstitusi barunya demokratis. Untuk memperkuat legitimasi, diadakanlah pemilihan presiden dan legislatif pada tahun 2000. Chavez dan sekutu-sekutunya menang lagi.

Tetapi di sisi lain, menurut Levitsky dan Ziblatt, populisme Chavez memicu oposisi keras. Dua tahun setelah pemilihan itu, militer mencoba menggulingkannya. Tetapi upaya itu gagal. Sehingga Chavez meraih legitimasi demokratis yang lebih besar.

Masih berdasarkan How Democracies Die, lima tahun berlalu setelah duduk di tampuk kekuasaan tertinggi Venezuela, Chavez mengambil langkah-langkah pertama menuju otoriterianisme. Seiring waktu, dukungan publik terhadapnya semakin memudar. Oposisi kemudian mengusulkan referendum untuk menurunkan Chavez dari jabatannya. Tetapi ia berhasil menghambatnya. Setelah namanya terangkat kembali pasca harga minyak naik, ia justru menang lagi secara beruntun dalam ajang pemilihan pada tahun 2004 dan 2006.

Setelah itu, rezim Chavez semakin represif. Ia menutup stasiun televisi besar, menangkap atau mengasingkan politikus oposisi, hakim, dan tokoh media dengan tuduhan tidak jelas, serta menghilangkan batas masa jabatan presiden supaya Chavez dapat berkuasa selamanya.

Di tengah keadaannya yang semakin sekarat karena kanker yang menyiksanya, ia masih bisa terpilih kembali dalam pemilihan presiden yang bebas tapi tak adil pada 2012. Karena dalam pemilu itu, dia beserta sekutunya mengendalikan sebagian besar media dan mengerahkan aparat.

Setahun setelah kematian Chavez, Nicolas Maduro menang dalam pemilu yang mencurigakan. Pada 2014, pemerintahan Maduro memenjarakan seorang pemimpin utama oposisi. Namun kala itu, kemenangan besar para politisi yang berseberangan dengannya pada pemilihan umum legislatif menyangkal anggapan bahwa Venezuela sebagai negara yang tidak demokratis. Kelak, hampir dua dasawarsa setelah Chavez pertama kali meraih kursi kepresidenan, Venezuela diakui secara luas sebagai negara otokrasi.

“Itulah cara demokrasi mati sekarang,” kata Levitsky dan Ziblatt. Menurut mereka, kediktatoran yang mencolok dalam bentuk fasisme, komunisme, atau kekuasaan militer sudah hilang dari sebagian besar negara di dunia. “Kudeta militer dan perebutan kekuasaan dengan kekerasan jarang terjadi,” demikian kesimpulan keduanya.

Tetapi di saat bersamaan, demokrasi tumbang melalui pemerintahan hasil pemilu. Levitsky dan Ziblatt berpendapat, seperti Chavez di Venezuela, para pemimpin terpilih telah membajak lembaga-lembaga demokrasi di Georgia, Hungaria, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina. “Kemunduran demokrasi hari ini dimulai di kotak suara,” ujar dua guru besar tersebut.

Mereka melanjutkan, kematian demokrasi melalui pemilu benar-benar mengecoh publik. Dengan kudeta, seperti yang dilakukan Pinochet di Chile, tampak jelas telah membawa demokrasi menuju kematian. Istana kepresidenan terbakar, presiden terbunuh, dipenjara, atau terusir ke pengasiangan. Konstitusi dianggap tak berlaku.

Tags :
Kategori :

Terkait