Refly Nilai Demokrasi Indonesia dalam Ancaman

Selasa 24-11-2020,10:38 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Jakarta, nomorsatukaltim.com – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyapa warganet di akun Twitternya pada Minggu (22/11/2020) pagi. Status itu disertai gambar yang memuat orang nomor satu di ibu kota tersebut sedang membaca buku How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati).

Sejumlah pihak kemudian menafsirkan status itu sebagai sindiran Anies terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Yang diduga berupaya mematikan demokrasi di Indonesia.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, pendapat tersebut memang didukung oleh sejumlah tokoh. Para tokoh nasional seperti Amien Rais, Din Syamsuddin, dan Jimly Asshiddiqie mengkhawatirkan munculnya kekuasaan yang otoriter di Indonesia.

Upaya mematikan demokrasi, kata Rafly, terlihat dari langkah-langkah pemerintahan Jokowi. Hal itu bukannya memajukan demokrasi di Indonesia. Tetapi justru membawa kemunduran terhadap sistem yang telah dibangun sejak era Reformasi tersebut.

Saat ini, memang Indonesia sedang bergelut dalam demokrasi prosedural. Belum substansial. Di tengah-tengah itu, dikhawatirkan muncul otoritarianisme.

Refly kemudian mengutip penelitian yang dilakukan Freedom House. Yang menyebutkan, sejak 2016, Indonesia bukan lagi negara bebas. “Tetapi negara separuh bebas,” kata dia sebagaimana dikuti Disway Nomorsatukaltim.com di akun YouTube Refly Harun, Selasa (24/11/2020).

Kata dia, hal itu menunjukkan bahwa terdapat ancaman terhadap demokrasi di Tanah Air. Ia kemudian mengaitkannya dengan penurunan spanduk-spanduk Habib Rizieq Shihab di DKI Jakarta oleh aparat TNI.

Refly menyebut, bisa saja alasan TNI benar. Tetapi di sisi lain, hal itu dapat memberikan sinyal bahwa demokrasi sedang berada dalam ancaman.

Pemerintah, lanjut dia, sama saja mengundang aparat militer masuk dalam ranah sipil. Hal ini menurutnya berbahaya. “Itu mempercepat kematian demokrasi,” tegasnya.

Ia mengatakan, TNI memiliki doktrin menghancurkan. Hal itu dicontohkan dalam perang: tidak ada negosiasi. Karena itu, fungsi TNI adalah alat perang.

Aparat militer, lanjut dia, bukanlah alat untuk berdemokrasi. Demikian juga dengan aparat kepolisian. Keduanya bukanlah alat untuk berpolitik.

Karena itu, ia menegaskan, perpolitikan nasional harus diserahkan kepada institusi yang memiliki hak untuk mengaturnya: partai politik dan kelompok-kelompok sipil society.

Refly berharap, fenomena ini diharapkan dapat memberikan pelajaran kepada semua pihak. Agar dapat memperkuat demokrasi di Indonesia.

Di lain sisi, upaya mengokohkan demokrasi juga dapat dibuktikan dengan membuka peluang bagi setiap orang. Yang memiliki potensi untuk bertarung di Pilpres 2024.

Kata dia, Anies, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, dan bakal calon lain mesti diberikan peluang yang sama. “Bukan dimatikan sayap dan kakinya. Agar tidak bisa lagi bertanding. Dalam sebuah ritual demokrasi yang paling besar. Yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia,” tutup Refly. (qn)

Tags :
Kategori :

Terkait