Sejak pertemuan ’61 tokoh’ dan manuver bupati ke Jayapura dan Jakarta, MRP tak dilibatkan. Namun, ia mengaku berpegang pada keputusan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin yang masih memberlakukan moratorium pemekaran.
“Pemekaran ini, kan, bukan dari rakyat. Tapi tokoh 61. Orang Jakarta tahu. Orang Papua punya kelemahan. Kalau menangis kasih bunga. Nanti tertawa dan senyum. Pemekaran juga belum tentu dikasih. Kami ketemu Wapres minggu lalu. Bicara pemekaran Papua dengan MRP. Wapres bilang pemekaran tidak di Papua. Pemekaran hanya isu saja. Para bupati malah semangat,” kata Murib pada 16 Desember 2019.
Murib mencurigai ada motif elite dalam pemekaran. Terutama para bupati/wali kota yang sudah menjabat dua periode. Sehingga ingin mencari jabatan lagi sebagai gubernur/wakil gubernur.
PINTU MASUK
Pastor Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, menilai pemekaran bukan hanya kepentingan elite lokal. Tapi secara politik juga punya strategi nasional. Untuk mengamankan Papua dari gerakan—meminjam bahasa pemerintah—“separatis.” Tapi, kelompok ini inginnya disebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
“Dengan pemekaran, paling tidak ada kodam baru. Berarti militer semakin banyak. Polda baru. Anggota semakin banyak. Untuk mengurung ini. Jadi mereka mengamankan posisi selatan. Barat sudah. Berarti mengurung (OPM) di tengah dan utara,” katanya.
Tapi, hal ini dibantah Bupati Jayapura Mathius Awoitauw. Menurut dia, pemekaran merupakan aspirasi warganya sejak 2012. Pemkab Jayapura, kata dia, telah menjalin kerja sama dengan Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk mengkaji pembentukan Provinsi Tabi.
“Ada yang dicurigai. Pasti ini kepentingan elite. Tidak. Jadi, kami ini mau mengurai kepentingan Papua. Orang salah persepsi dengan Papua. Papua itu identik dengan otsus. Tidak. Itu orang hanya kejar uangnya saja. Kita harus tunjukkan kita punya potensi,” ujar dia pada 14 Desember 2019.
RAKYAT DAPAT APA?
Bupati Merauke Frederikus Gebze mengaku sudah 17 tahun menanti pemekaran daerahnya menjadi Papua Selatan. Gebze dan Awoitauw berkata, pemekaran akan menguntungkan daerahnya. Gebze menyebut, dengan pemekaran, Papua bisa mengatasi masalah. Karena dua gubernur saja tidak cukup. Pertumbuhan dan perkembangan daerah akan terjadi bila ada pemekaran.
Namun, jumlah pendatang di Merauke lebih banyak dari orang asli Papua (OAP). Sehingga dikhawatirkan non-OAP menjadi pihak utama yang menikmati pemekaran. “Ada yang anggap Papua Selatan ini hanya untuk orang Jawa. Saya pikir salah. Itu justru ada provinsi supaya hak kita pegang. Kita atur lewat regulasi, adat, budaya, perempuan,” katanya.
Saat ditemui, ia baru saja melantik dan merotasi ratusan pejabat Pemkab Merauke di sebuah hotel. Dari nama-nama yang dibacakan protokol acara, terdengar banyak pejabat memiliki nama Jawa. Alasan dia menempatkan banyak orang non-OAP untuk mengurus Merauke. “Karena kita masuk dunia kompetisi, maka harus siapkan diri dari sekarang. Supaya jangan salahkan orang lain,” tegasnya.
Awoitauw menilai, dengan adanya Provinsi Tabi, indeks pembangunan manusia bisa berada di urutan kedelapan di Indonesia. Sehingga Papua tak lagi masuk daerah termiskin dan tertinggal. “Kami paling siap sebetulnya untuk jadi provinsi. Kalau dari fasilitas, infrastruktur sangat siap. Dari pembiayaan. Potensi besar. Hutan masih. Apalagi (akan ada pembangkit) energi di Mamberamo Raya. Kelautan kita kelola. Kita tidak perlu otsus,” ujar Awoitauw.
Perkara pemekaran juga menyangkut sumber daya manusia. Menurut Haryy Ndiken, tokoh suku Marind di Merauke, jumlah ASN OAP di Pemkab Merauke berkisar 800 orang dari total ASN di sana sebanyak 5.000 orang.
Keterwakilan OAP kursi DPRD Merauke periode 2019-2014 hanya 3 dari 30 kursi. Situasi yang sama juga terjadi di seluruh wilayah Papua. “OAP di sini sudah mencakup orang Serui, Jayapura, Mappi, Asmat, dan Marind. Mau bikin pemekaran dari mana? Apakah kita harus ‘impor’ ASN lagi?” ungkapnya.
Pemekaran tanpa menyiapkan OAP, kata dia, hanya menjadikannya sebagai “penonton”. Ia meminta agar tidak pakai “kaca mata kuda” melihat kebijakan afirmatif di Papua yang mewajibkan kepala daerah adalah OAP.
Xaverius Bavo Gebze, ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-Imbuti yang membawahi masyarakat asli Merauke di kota, menginginkan kesejahteraan warga tetap menjadi perhatian. Baik ada maupun tidaknya Provinsi Papua Selatan. Selama ini, penduduk asli Merauke bingung dengan pemerintah daerah. Karena program pelatihan yang dibuat tak ditindaklanjuti. Ada warga yang dibawa ke Surabaya dan Sorong untuk dilatih mengoperasikan kapal. Namun tak berlanjut ke pemberian bantuan.