Penilaian Berbasis Kompetensi terhadap Pendidikan Vokasi

Kamis 08-10-2020,05:48 WIB
Oleh: bayong

Untuk mengembangkan suatu unit kompetensi, maka kita harus memahami dengan jelas: (1) aktivitas kerja dan apa yang terlibat, (2) tugas, peran, dan keterampilan yang membentuk aktivitas kerja, (3) keterampilan kerja umum (atau keterampilan dasar), (4) pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas kerja, (5) bukti kinerja yang perlu didemonstrasikan oleh peserta didik. Agar dianggap kompeten dalam aktivitas kerja, (6) kondisi dan/atau kontek di mana unit akan disampaikan dan dinilai, dan (7) sumber daya yang mungkin diperlukan untuk mengumpulkan bukti penilaian. Informasi tersebut dapat diperoleh dengan cara wawancara, meninjau dokumentasi (misalnya deskripsi posisi, prosedur atau standar observasi aktivitas kerja), konsultasi dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal, dan konsultasi dengan subject matter expert (SME) pada bidangnya masing-masing (Sumber: Australian Skills Quality Authority VAC 7.2).

Dalam prakteknya, selain mencantumkan unit kompetensi terkait hard skill sesuai dengan bidangnya yang mencakup pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill), juga dilakukan penilian terhadap kesadaran (awareness) K3 dan sikap (attitude) dari orang yang dinilai tersebut (assessee). Unit kompetensi yang terkait hard skill dapat diberikan bobot 70 persen. Karena merupakan inti dari pekerjaan di bidangnya masing-masing dan 30 persen lainnya diberikan bobot untuk sikap dan kesadaran K3. Pemberian bobot ini bisa disesuaikan dengan kebijakan serta kesepakatan dari pihak institusi pendidikan vokasi dan pihak industri. Beberapa institusi atau organisasi menerapkan standar yang berbeda-beda. Terkait nilai minimum untuk menyatakan bahwa seseorang telah “kompeten”. Best practice yang umum digunakan adalah 70 persen, 75 persen, dan 80 persen. Tergantung dari kebijakan dan tingkat kesulitan dari masing-masing bidang.

METODE PENILAIAN

Fletcher (2005) menyatakan, dalam melaksanakan penilaian kompetensi, terdapat 7 langkah yang  harus dilakukan: (1) menetapkan kriteria yang dipersyaratkan untuk kinerja, (2) mengumpulkan bukti mengenai hasil kinerja individu, (3) mencocokkan bukti dengan hasil yang ditetapkan/dipersyaratkan, (4) membuat penilaian mengenai pencapaian terhadap seluruh hasil kinerja yang dipersyaratkan, (5) mengalokasikan nilai “kompeten” atau “belum kompeten”, (6) menerbitkan sertifikat untuk kompetensi yang dicapai (jika tujuan dari penilaian untuk sertifikasi), dan (7) membuat rencana pengembangan untuk bidang-bidang yang “belum kompeten”. Dalam prakteknya, bidang-bidang yang dinyatakan belum kompeten dalam proses penilaian kompetensi disebut juga dengan “individual competency gap”. Kemudian dibuatkan analisis serta tindakan perbaikan yang terencana dan dapat diukur tingkat efektivitasnya.

Selama proses penilaian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang assessor: menilai pengetahuan kandidat. Dengan mengamati kinerjanya. Cara yang praktis dan tidak mengganggu dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang relavan kepada kandidat, menyajikan pertanyaan dengan jelas, mengajukan pertanyaan terbuka, melakukan klarifikasi dengan jelas, dan menyimpan semua catatan bukti (evidence) dengan baik. Bukti (evidence) penilaian kompetensi dapat dikumpulkan dengan beberapa cara: (1) bukti produk (pekerjaan yang sudah selesai. Misalnya hasil pengelasan, hasil kerja bangku, dan hasil perbaikan mesin), (2) bukti yang diamati (di mana penilai atau saksi lain telah melihat keterampilan yang ditunjukkan), (3) diskusi (rekaman diskusi antara penilai dan kandidat untuk mengukur pengetahuan. Misalnya dengan sesi tanya jawab), dan (4) bukti tambahan (misalnya foto atau video, catatan dari quality control/QC tentang perbaikan pengelasan, dan melakukan simulasi).

VERIFIKASI PENILAIAN

Dalam pelaksanaan penilaian berbasis kompetensi, setidaknya terdapat 4 pihak yang terlibat: orang yang dinilai (assessee), orang yang menilai (assessor), orang yang melakukan verifikasi internal (internal verifier), dan orang yang melakukan verifikasi eksternal (external verifier). Untuk menjadi assessor, internal verifier, dan external verifier harus diberikan pelatihan khusus. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar. Instruktur yang menguasai bidangnya masing-masing dapat ditunjuk sebagai assessor. Internal verifier bisa dilakukan oleh kepala instruktur/kepala program studi, dan external verifier bisa dilakukan oleh SME atau praktisi dari industri.

Apabila penilaian kompetensi bertujuan untuk menerbitkan sertifikat kompetensi, maka bisa bekerja sama dengan pihak luar sebagai external verifier. Sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan bersama antara pihak institusi pendidikan vokasi dan industri. Lebih bagus jika ada industri yang sudah memiliki izin sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dapat membantu dan menjembatani dalam proses pelaksanaan competency-based assessment (CBA) ini. (*Praktisi SDM dan Pemerhati Pendidikan Vokasi)

Tags :
Kategori :

Terkait