Ramai-Ramai Tinggalkan Dolar Amerika

Selasa 06-10-2020,06:22 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Sementara itu, bank-bank di Jepang yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan Jepang adalah Mizuho Bank Ltd, MUFG Bank Ltd, BNI cabang Tokyo, Resona Bank Ltd, dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation.

***

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, adanya kerja sama ini tak serta merta membuat dolar AS ditinggalkan. Sebab, ada sejumlah komoditas yang harga acuannya menggunakan dolar AS.

“Sebenarnya tidak sim salabim ya langsung dolar AS ditinggalkan. Karena beberapa komoditas ekspor ke China saja misalnya nikel dan olahan nikel menggunakan harga acuan dolar per tonnya. Ini urusan B to B. Di mana pelaku usaha mau menggunakan mata uang selain dolar kalau ada insentifnya,” katanya, Kamis (1/10).

Dia mengatakan, hal lain yang menantang ialah pasokan yuan. Khususnya di daerah-daerah yang berada di daerah pertambangan dan perkebunan berorientasi ekspor. Menurutnya, jangan sampai pengusaha kesulitan mencari yuan. Karena pasokannya terbatas. Alhasil, kata dia, pengusaha lari ke dolar lagi.

“Tantangan lain juga penggunaan kapal asing untuk ekspor impor sangat dominan. Ada 90 persen aktivitas ekspor impor yang menggunakan kapal asing. Apakah mereka mau terima rupiah dan yuan meskipun tujuan ke China? Belum tentu. Mereka maunya bayar menggunakan dolar. Ini yang harus dicari jalan keluarnya,” jelas dia.

Dari situ, Bima menyebut, penggunaan mata uang lokal ini harus dilihat dari berbagai sisi. Termasuk perbaikan layanan perbankan, layanan ekspor hingga logistiknya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira. (IN)

Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menilai, kerja sama antara Indonesia dengan China akan mengurangi kebutuhan dolar AS dalam transaksi perdagangan.

“Menimbang besarnya perdagangan kita dengan China, kesepakatan ini akan berpengaruh terhadap permintaan dolar AS dalam perdagangan,” kata Piter.

Dia mengungkapkan, dampaknya terhadap volatilitas rupiah diperkirakan tidak akan cukup signifikan. “Karena pergerakan rupiah kita menurut pandangan saya lebih terkait kepada keluar masuknya modal asing,” ujar dia.

***

Sementara itu, Pemerintah Rusia sangat konsisten berupaya menerapkan strategi barunya untuk menjauhi dolar Amerika Serikat (AS) agar tak lagi menjadi “budak dolar”.

Pangsa transaksi perdagangan antara Rusia dan China yang menggunakan dolar AS turun menjadi 46 persen pada kuartal I-2020. Jumlah tersebut turun drastis dari jumlah pada 5 tahun lalu yang mencapai 90 persen. Inisiatif dedolarisasi di Rusia dimulai pada 2014. Setelah AS mengganjar Rusia dengan sanksi pasca reunifikasi Krimea ke Rusia.

Salah satu sanksi yang acap kali dijatuhkan AS kepada Rusia adalah larangan penggunaan dolar. Menjadi budak dolar akan memicu kerusakan hampir di semua lini perdagangan Rusia. Mengingat sebagian besar transaksi perdagangan internasional menggunakan dolar. Bahkan, pembayaran dalam mata uang lokal pun sering dikonversi terlebih dahulu ke mata uang Negeri Paman Sam itu.

Tak hanya Rusia, beberapa negara juga telah bergabung dalam inisiatif ini. Di antaranya China, Turki, Iran, India dan Brasil. “Terlepas dari peralihan ke dedolarisasi, supremasi dolar AS di sebagian besar transaksi secara global sudah jelas. Artinya, proses dedolarisasi mungkin akan memakan waktu,” jelas Profesor Teori Ekonomi Universitas Plekhanov, Ekaterina Novikova. 

Transaksi perdagangan Rusia dengan AS tidak tinggi. Tidak seperti dengan China dan Uni Eropa (UE). “Sampai batas tertentu, dedolarisasi ekonomi Rusia adalah proses yang tak terhindarkan. Mengingat pertukaran produk antara kedua negara rendah jika dibandingkan dengan China dan UE. Begitu pula dengan proses geopolitik yang sedang berlangsung,” ujar Analis Keuangan Akademi Kepresidenan Rusia untuk Ekonomi Nasional dan Administrasi Publik (RANEPA), Aleksandr Abramov.

Tags :
Kategori :

Terkait