Namanya semakin menjadi sorotan dunia setelah komite anti-korupsi yang baru dibentuk menangkap 11 pangeran, 4 menteri senior, banyak mantan menteri serta para pengusaha terkait dugaan korupsi. Penangkapan massal dalam operasi “sapu bersih korupsi” di Saudi ini atas perintah MBS.
Pada April 2016, dia memperkenalkan program reformasi “Vision 2030”, sebuah visi Saudi tentang masa depan, yang bertujuan menjadikan kerajaan sebagai jantung dunia Arab dan Islam. Program itu juga untuk menjadikan Saudi sebagai sebuah pusat investasi, dan “pemain penting” 3 benua.
Inisiatif reformasi itu berusaha untuk melakukan diversifikasi dan privatisasi ekonomi, dan untuk mengurangi ketergantungan Saudi pada sektor minyak. Pada 2030, inisiatif ini bertujuan untuk membangun sebuah sistem e-government.
MBS juga telah meminta pembangunan di sektor hiburan yang lebih banyak di kerajaan tersebut. Di bawah pengaruhnya, kabinet Saudi mengeluarkan peraturan. Untuk memangkas kekuasaan polisi agama, dan sebuah otoritas hiburan didirikan pada Mei 2016.
Dalam upayanya untuk mengganti tradisi, dia juga melibatkan ilmuwan muslim muda Saudi yang aktif di media sosial. Salah satu gebrakannya adalah ia membolehkan para perempuan untuk mengemudikan mobil yang selama ini ditentang keras para ulama konservatif. Beberapa tahun mendatang, Saudi juga membebaskan perempuan untuk menonton olahraga di stadion.
Bahkan, dalam program reformasi yang dicanangkan MBS, Saudi berencana membangun resort di Laut Merah yang membebaskan para wanita mengenakan bikini.
SISI GELAP
MBS sudah 3 tahun menjabat sebagai Putra Mahkota. Reformasi ekonomi dan sosial yang diterapkan di dalam kerajaan konservatif Saudi oleh MBS telah membuatnya panen pujian.
Akan tetapi, kasus pembunuhan terhadap wartawan senior, Jamal Khashoggi (59), nyatanya telah mengalihkan fokus masyarakat kepada sisi gelap dari MBS.
Selain kasus kematian Khashoggi, keputusan MBS memenjarakan sejumlah kritikus dan aktivis HAM serta kematian ribuan warga sipil dalam perang Yaman, telah membuatnya menuai kecaman.
Pertama, perang sipil di Yaman. Pada 2015, Saudi mengintervensi perang saudara di Yaman dengan meluncurkan lebih dari 1.600 serangan lewat udara yang menargetkan kelompok Houthi. Aktivis HAM telah menuduh pasukan koalisi yang dipimpin Saudi membom warga sipil, rumah sakit, sekolah dan infrastruktur lainnya tanpa pandang bulu.
Sejak 2015, setidaknya 10.000 orang tewas dalam perang sipil Yaman. Ribuan orang lainnya dilaporkan meninggal akibat kelaparan dan jutaan orang hilang.
“Dalam setiap operasi militer, kesalahan dapat terjadi. Tentu saja kesalahan yang dibuat oleh Arab Saudi dan koalisinya adalah kesalahan yang tidak disengaja,” kata MBS dalam wawancara dengan Time pada April 2018.
Kedua, memenjarakan aktivis HAM perempuan. Awal tahun ini, Saudi telah memperbolehkan perempuan untuk mengendarai mobil. Hal ini dipandang sebagai langkah progresif terhadap hak-hak perempuan di Saudi. MBS dilihat sebagai kekuatan utama di balik keputusan itu. Namun sesungguhnya, para aktivis HAM di Saudi adalah pihak yang pertama kali berjuang sejak 1990-an. Agar perempuan mendapatkan hak ini.
Beberapa aktivis perempuan dan laki-laki ditangkap awal tahun ini atau persisnya beberapa minggu sebelum larangan perempuan mengemudi dicabut secara resmi. Lembaga HAM, Human Rights Watch atau HRW, mengkritik penangkapan para aktivis itu. Mereka mengatakan, upaya penahanan ini untuk menunjukkan MBS tidak menerima kritik atas pemerintahannya.
“Penangkapan ini bukan tentang perempuan yang meminta hak untuk mengemudi. Ini tidak ada hubungannya dengan itu. Beberapa dari mereka yang ditangkap memiliki hubungan dengan badan-badan intelijen asing yang mencoba untuk mencelakakan Arab Saudi,” kata MBS.