Arya mengatakan, faktor basis partai mempunyai kontribusi terhadap menguatnya calon tunggal di pilkada. Ia mengatakan, ternyata daerah yang diisi calon tunggal adalah basis partai tertentu.
“Ternyata di sebagian besar daerah yang diisi calon tunggal, mayoritas itu ternyata adalah basis kuat salah satu partai di Kebumen, Wonosobo, Boyolali, Semarang, Grobogan, Badung, Ngawi, Kediri, dll. Calon tunggal, pada saat itu daerah itu dikuasai basis salah satu partai,” ungkapnya.
Berdasarkan catatan sementara Bawaslu, hingga saat ini terdapat 28 daerah yang diikuti bakal calon tunggal di Pilkada 2020. Sebanyak 12 di antaranya merupakan calon tunggal yang terkait dengan PDIP.
“Saya menemukan bahwa 12 dari 28, itu hampir setengah daerah yang punya calon tunggal ternyata punya hubungan dengan PDIP,” katanya.
Pertama, dari 12 itu, kader PDIP yang maju sebagai kepala daerah ada di 10 daerah. Dari 10 calon kepala daerah kader PDIP tersebut 8 di antaranya petahana, 1 dinasti di Kediri, 1 dari DPRD.
Kemudian dari 12 itu, 2 calon PDIP maju sebagai wakil bupati petahana, dan 1 pengusaha. Arya mengatakan, pengusaha tersebut juga mempunyai hubungan kekerabatan dengan PDIP.
“Jadi kalau kita lihat hampir setengah calon tunggal itu punya hubungan politik, mayoritas sebagai kader, semuanya mungkin kader PDIP. Jadi faktor partai itu mempengaruhi,” katanya.
PENYEBAB KORUPSI
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyampaikan berbagai macam persoalan yang sering kali dihadapi dalam dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Salah satunya masalah korupsi yang melekat dalam kehidupan pejabat di daerah.
Mantan Kapolri ini pun membeberkan salah satu faktor penyebab mengapa pejabat di daerah sering kali melakukan tindak pidana korupsi. Menurut Tito, salah satu penyebab lahirnya tindakan korupsi oleh pejabat pemerintahan di daerah karena biayai politik yang tinggi. Dalam setiap konstestasi seperti pilkada.
“Pemilu atau pilkada membutuhkan biayai tinggi. Sehinggga menjadi akar dari budaya korupsi,” kata Tito dalam dalam webinar bertajuk Visi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Pemilu dan Pilkada yang diselenggarakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Jakarta, Senin (31/8).
Tito menjelaskan, mahalnya ongkos politik dalam setiap pilkada di Indonesia tidak sebanding dengan gaji yang akan diterima oleh kepala daerah. Perbandingan yang tak seimbang antara gaji dan biaya politik inilah yang membuat pejabat sering kali melakukan korupsi.
Ia menjelaskan, para pendiri bangsa telah mendirikan negara Indonesia dengan sistem demokrasi. Hal ini tercatat secara jelas dalam ideologi negara ini: Pancasila.
Sebagai wujud pelaksanaan sistem demokrasi, jelas Tito, maka dilaksanakanlah pemilu dan pilkada dalam siklus 5 tahunan. Adanya pilkada tidak akan mengubah sistem bernegara menjadi oligarki atau negara teologis.
“Founding fathers kita sudah mendirikan negara ini sebagai negara demokrasi. Artinya negara ini negara demokrasi. Tidak akan menjadi negara oligarki. Atau negara teologis,” tegas Tito.
Pada kesempatan yang sama, ia mengingatkan, masih ada oknum-oknum yang ingin memanfaatkan kebebasan dan demokrasi di Indonesia untuk mengganti sistem bernegara dan dasar negara Indonesia dengan paham lain yang mereka yakani.