BPJS Kesehatan Sudah Cacat Sejak Lahir, Opsi Kenaikan Iuran untuk Atasi Defisit Berkepanjangan
Senin (29/6) lalu, Disway Kaltim juga menemui Falah. Untuk kedua kalinya. Kali ini di kantornya Jalan Ruhui Rahayu, Balikpapan Selatan. Untuk wawancara khusus.
Pada pertemuan ini, Falah bercerita mengenai banyak perspektif yang timbul tentang BPJS Kesehatan. Seperti anggapan bahwa pemerintah mengabaikan putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020 bertanggal 31 Maret 2020.
Putusan ini merupakan dasar hukum batalnya kenaikan iuran bagi peserta mandiri BPJS Kesehatan. Putusan tersebut memberikan waktu kepada pemerintah selama 90 hari untuk membuat keputusan baru. Atau putusan MA akan berlaku pada hari ke 91.
Namun pemerintah terus berupaya keras untuk memperbaiki kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Mengurangi defisit agar tidak semakin membebani anggaran pemerintah. Dan tetap mampu memberi jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara.
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020, pemerintah kembali menetapkan kenaikan iuran. Untuk segmen mandiri kelas I, kelas II dan kelas III atau golongan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Kendati demikian, kata Falah, beleid tersebut menuai banyak kritikan dan menimbulkan kontroversi. Apalagi hal itu dilakukan di tengah situasi negara sedang dilanda wabah. Yang menyebabkan perekonomian menjadi sulit. Banyak pihak menganggap kenaikan iuran hanya akan menambah kesusahan yang dialami masyarakat.
Falah menjelaskan, Perpres No. 64 Tahun 2020 merupakan tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Agung itu sendiri.
Yang sebelumnya pemerintah ingin menaikkan iuran peserta mandiri melalui Perpres No. 75 Tahun 2019. Yang kemudian dibatalkan oleh putusan MA berdasarkan gugatan kelompok masyarakat cuci darah Indonesia.
“Yang dibatalkan oleh MA sebenarnya hanya pasal yang terkait dengan premi dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Yang iurannya sebesar Rp 42.000 untuk peserta kelas III, yang kemudian terhitung April kembali ke Perpres No. 82 sebesar Rp 25.500,” jelasnya.
Pada Perpres No. 64 Tahun 2020, pemerintah memang kembali menaikkan iuran untuk segmen mandiri kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000. Dan kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000.
Sementara kelas III, dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Tetapi dalam Perpres itu masyarakat golongan mandiri kelas III tetap hanya akan membayar iuran sebesar Rp 25.500 sampai dengan akhir tahun ini.
“Pemerintah akan menanggung sisanya sebesar Rp 16.500. Dengan catatan, peserta yang aktif atau rutin membayar,” sebutnya.
Artinya, kata Falah, pemerintah selain mensubsidi masyarakat kurang mampu yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), juga mensubsidi sebagian iuran peserta mandiri yang sebenarnya dianggap mampu golongan kelas III.
Sedangkan untuk segmen peserta kelas I dan kelas II tidak disubsidi. Namun, lanjutnya, tidak ada keharusan bagi masyarakat untuk mengikuti BPJS kelas I dan II. "Jadi itu pilihan, dan cuma berbeda soal kenyamanannya. Pada dasarnya pelayanannya semua sama. Semua pasti mendapatkan pengobatan," jelas Falah.
Falah menyayangkan perspektif yang beredar di masyarakat berbeda. Yang hanya memahami adanya kenaikan. Padahal, ia menegaskan lagi, iuran yang naik hanya untuk peserta dalam golongan kelas I dan kelas II.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: