Money Poli-trick

Money Poli-trick

Oleh: Rizki Hadid

MATAHARI masih terlelap di langit malam kota Tarakan. Halimun dingin yang mencekik tengkuk menemani langkah Adit, menyusuri sebuah gang sempit. Di salah satu kecamatan di kota berjuluk Paguntaka tersebut, lelaki berhidung bangir itu menuai janji dengan warga. Beberapa jam sebelum pencoblosan pemilu. "Calon sebelah kasih duit berapa, Pak?" ujar Adit. "Rp 150 ribu per orang," jawab lelaki yang sebut saja bernama Jingkang. "Oke, saya kasih Rp 300 ribu. Tapi coblos calon saya, ya," pinta Adit. "Siap, Goy!" balasnya. Benar saja. Suara calon yang dipegang Adit melambung tinggi. Melampaui ramalan komentator politik di kedai-kedai kopi.

Demikian sepenggal kisah nyata yang mencuat. Sewaktu saya menjadi redaktur Kaltara Post (Markoni) di Tarakan, beberapa tahun lalu. Berlaga di arena politik selalu diidentikkan dengan duit. Itu kenyataan. Bahkan salah satu parpol penguasa di Kaltim menyatakan di depan umum; syarat utama diusung partainya ada tiga: popularitas, elektabilitas, dan isi tas.

Kebutuhan fulus untuk pilkada itu tak terbatas. Tak ada angka pasti. Seseorang menyebut butuh sekitar Rp 30 miliar untuk pilkada kabupaten/kota. Kenyataannya ada yang lebih dari itu. Adapula yang kurang dari itu. Sudah jadi rahasia umum, selain mahar politik dan operasional, ada area gelap yang disebut money politic. Masyarakat menyebut, praktik haram ini memegang peranan penting dalam memenangkan kontestasi. Ini terasa tak adil bagi para kandidat bermodal tipis. Atau calon yang memang tidak mau bermain money politic.

Lantas, mengapa masyarakat memilih paslon atau caleg berdasarkan uang? Alasannya sederhana. Masyarakat tidak percaya pada calon tersebut. Bayangkan, ada orang yang tidak pernah "berkarya" di suatu dapil, tiba-tiba datang minta dicoblos. "Hellooow.. Siapa elo?" ucap warga dengan nada alay. Masyarakat pikir, ketimbang tidak mendapatkan apa-apa, mending sekalian minta duit ke calon tersebut. Logikanya, masyarakat butuh duit dan si calon menawarkan duit. Terjadilah politik transaksional. Beda hal jika, si calon lima tahun sebelum pemilu, sudah terjun membangun basis massa. Itu bisa menekan potensi politik transaksional. Sebab masyarakat yakin akan dibela dan diperjuangkan calon tersebut.

Banyak trik agar tidak terjebak money politic. Saya menyebutnya "money poli-trick". Ini salah satunya. Ada seorang politikus Kaltim yang tak ingin saya sebut namanya. Ia terkenal dermawan. Saking dermawannya, kawan saya yang berpapasan dengannya di ATM Center, diberi Rp 1 juta. "Rezeki untuk kamu," sebut ia. Padahal saat itu bukan tahun politik. Tidak pula untuk cari muka. Yaa.. memang dermawan saja.

Kemudian, ada seorang politikus muda di Samarinda. Setiap makan di warung, ia selalu mentraktir semua pengunjung di sana. Bahkan, saat tiba di lokasi parkir, ia bagi-bagi uang kepada tukang parkir dan anak kecil yang lewat. Persis seperti momen Lebaran bagi-bagi THR. Perlu diingat, saat itu bukan tahun politik. Sekali lagi, karena ia memang dermawan.

Nah, saat mencalonkan diri, ia tidak perlu melakukan money politic. Ia hanya mengatakan kepada warga di dapilnya, bahwa untuk sementara ia tidak bagi-bagi uang. "Ini tahun politik. Jangan melanggar hukum," jelasnya. Jadi, kedermawanannya dilanjutkan setelah pemilu selesai. Warga sudah yakin. Ketika ia terpilih, tidak akan lupa janji. Terbukti, dua politikus ini berhasil menduduki jabatan. Banyak jalan menuju Roma. Jadi, jangan money politic. Lebih baik kalah karena bermain jujur. Daripada gagal terpilih sekaligus uang habis banyak. Itu lebih sakit. (*)

Penulis adalah wartawan Disway Kaltim

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: