Banyaknya Plt di Pemprov Kaltim, Bisa Berdampak Panjangnya Alur Birokrasi
Samarinda, DiswayKaltim.com - Adanya kekosongan posisi eselon II di Pemprov Kaltim, dinilai Pengamat Kebijakan Publik, Buyung Marajo, sebagai sebuah kegagalan. Gubernur dan wakilnya disebut gagal melakukan manajemen organisasi. Karena, kewenangan dan kebijakan untuk menetapkan jabatan itu berada di tangan keduanya.
Buyung menyebut status pelaksana tugas (Plt) tentu tidak dapat membuat kebijakan yang strategis. Selayaknya dilakukan oleh pimpinan definitif. Kewenangan kekuasaan dan pelayanan terhadap publik sang pelaksana tugas terbatas.
"Sebagai pemimpin tidak bisa mengurus bawahannya untuk membantu menjalankan tugas-tugas atau kewajiban sebagai kepala daerah untuk melayani masyarakat," katanya, kepada Disway Kaltim, melalui jaringan telepon, Kamis (11/6).
Menurutnya, harus ada kebijakan khusus yang dikeluarkan untuk mendefinitifkan jabatan tersebut. Karena akan berdampak terhadap pelayanan publik. Pelayanan yang harusnya bisa dilakukan cepat, jadi terhambat karena harus melakukan koordinasi dengan kepala daerah.
Walaupun, pengisian jabatan eselon dua ini dinilai sebagai kebijakan politik. Tapi, Buyung menilai praktik politik seperti ini pun juga gagal. Gagal memberikan pengayoman terhadap bawahannya. Terlebih lagi, bisa membuat masyarakat tidak lagi percaya kepada sosok pemimpin.
"Saat nanti mereka mencalonkan lagi, pastinya masyarakat sudah tidak percaya dengan mereka. Karena kegagalan melakukan manajemen tadi. Yang juga berdampak terhadap kebijakan dan pelayanan publik," pungkasnya.
Pandangan berbeda disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Hairul Anwar. Menurutnya, jabatan pelaksana tugas tidak perlu dipersoalkan. Selagi tidak mengganggu kerja pimpinan daerah. Yaitu gubernur dan wakil gubernur. Karena keberadaan dan peran pejabat tersebut lebih dibutuhkan kepala daerah.
Artinya, kata Hairul, jabatan eselon II bertugas membantu gubernur dan wakil gubernur mewujudkan visi dan misinya. "Kalau mereka saja tidak merasa terganggu dengan kebijakan tersebut. Toh, kita juga enggak bisa ngomong apapun kan?," tanyanya.
Namun Hairul menekankan soal aturan. Yaitu tentang batas waktu yang mengatur masa jabatan pelaksana tugas tersebut. "Saya belum menemukan aturan tersebut. Tapi, kalau memang tidak ada aturan tersebut. Ya berarti sah-sah saja jabatan Plt tersebut berlama-lama," singkatnya.
Di sisi lain, dosen ekonomi Universitas Mulawarman ini menyayangkan kemungkinan terganggunya pelayanan kepada masyarakat. Karena berdampak pada panjangnya birokrasi.
Mengingat, pengemban status jabatan pelaksana tugas tidak bisa mengeluarkan berbagai keputusan strategis. Harus melalui keputusan dari gubernur maupun wakil gubernur.
Dalam sebuah pemerintahan, kata dia, hal ini dinilai lumrah terjadi. Karena menyangkut dengan habisnya masa jabatan seseorang. Soal lain, melakukan pengisian jabatan juga harus melalui tahapan lelang. Jadi tentu membutuhkan proses yang sangat panjang.
Tapi, Hairul melihat dalam pandemi COVID-19 ini proses seleksi terhenti. Atau belum ada sosok yang dinilai cocok untuk mengisi kekosongan 13 jabatan tersebut. Penilaian lain, bisa saja pejabat yang mengisi jabatan Plt saat ini dinilai pantas. Sehingga tidak perlu dilakukan penggantian. Hanya saja, Hairul menegaskan harus tetap mengikuti mekanisme pelelangan jabatan. Agar bisa ditetapkan status definitf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: