Sahabat Virtual dari Samarinda

Sahabat Virtual dari Samarinda

OLEH: OKKY PRATIWI Berjumpa dengan orang lain secara tatap muka kemudian dekat hingga berakhir menjadi sahabat merupakan hal yang lazim ditemukan. Contohnya bersahabat dengan teman sekolah, kampus, atau tetangga sekitar rumah. Namun, bagaimana jadinya jika memiliki sahabat virtual alias sahabat tidak nyata yang hanya ada di dunia maya? Lucas Wong, anggota dari boygroup WayV, di balik nama dan wajah itu ia bersembunyi. Sosok yang ramah dan mudah bergaul. Sama seperti karakter asli dari wajah yang ia gunakan. Orang yang kutemui pada akhir September 2019 di dunia palsu bernama roleplayer yang ada di Twitter. Inilah yang selalu menemani hari-hariku. Layaknya sahabat di kehidupan nyata, ia seperti buku harian untukku. Selalu siap dan bersedia mendengarkan keluh kesah, amarah, juga kebahagiaan yang kurasakan. Kolom pesan pribadinya di aplikasi berlambang burung tersebut selalu terbuka 24 jam penuh untukku. Tanpa ada protes sedikit pun yang terlontar darinya. Ia adalah orang yang selalu berada di garda terdepan menyemangati dan mendukungku. Kala beban berat menghantamku, selalu ada kata-kata yang diucapkannya dengan maksud membuatku bangkit kembali. “Orang tuaku berantem,” aduku padanya suatu hari. Di saat seperti ini aku selalu merasa jatuh hingga membuatku menangis dan tanganku bergetar. Ketika tidak ada manusia di sekitarku yang bisa membantu untuk membuatku tenang, ia yang justru hanya bisa berhubungan denganku lewat media sosial seolah menyerahkan dirinya padaku. Agar diriku merasa lebih baik. Ia akan menemaniku tanpa jeda, berusaha menghiburku, memperhatikan kondisiku, dan yang pasti memberikan kata-kata dukungan untuk menyemangatiku. “Ayo semangat! Kamu pasti bisa!” adalah satu dari sekian kalimat dukungan yang selalu ia curahkan kepadaku. Tidak hanya ia yang berperan untuk menyemangatiku. Aku juga turut andil memberinya dukungan. Terutama ketika ia berkata, “Hari ini jadwal mamaku kemoterapi.” Di saat inilah aku akan berusaha untuk membuatnya tidak berpikir buruk atau merasa sedih sedikit pun. Jadi aku akan membuatnya tetap bahagia meskipun lewat cara yang tersirat. Bagiku, ia seperti sosok nyata yang seolah selalu berada di sisiku. Walau kenyataan berkata bahwa jarak di antara kami terpaut lebih dari 2.000 km. Dipisahkan oleh lautan dan dibedakan oleh zona waktu. Aku di zona WIB. Ia di zona Wita. Aku di Jakarta dan ia di Samarinda. Perbedaan wilayah dan waktu seperti bukan sebuah permasalahan terhadap persahabatan yang kami ukir. Karena nyatanya, hal ini yang membuat ikatan kami terlihat unik. Seperti contohnya saat pergantian tahun baru 2020. Ketika di sana ia tengah menikmati gaduh suara kembang api yang saling bersahutan tepat tengah malam pukul 00.00 dan mengucapkan “selamat tahun baru!” kepadaku. Justru di sini aku masih mendengar sunyi diiringi rintik hujan yang menghiasi malam menjelang pergantian tahun di wilayah DKI Jakarta. Tidak hanya itu, adanya perbedaan zona waktu juga menjadikan ia selalu lebih dulu dibandingkan denganku. Ketika ia sudah bangun dari tidurnya, aku masih bergelut di mimpi. Ketika ia sudah bisa menyantap makan malam, aku di sini masih bernaung di bawah langit senja. Ketika di sana sudah memasuki jam tidur, aku masih berada di jam-jam santai. Selalu seperti itu. Namun, baik aku maupun ia tidak pernah sedikit pun menjadikan perbedaan tersebut sebagai sebuah masalah yang harus dihindari. Wilayah dan zona waktu bukan hanya salah dua hal yang merupakan perbedaan di antara kami. Terdapat perbedaan lainnya: aku merupakan orang asli Jakarta. Sedangkan ia orang asli Jawa Timur. Tepatnya di Kediri. Yang kemudian keluarganya merantau ke Pulau Borneo. Perbedaan suku, budaya, dan lingkungan membuat kami sering bertukar cerita tentang daerah masing-masing. Aku suka menceritakan tentang makanan khas Jakarta, transportasi umum juga destinasi menarik di ibukota, dan lain-lain. Sebaliknya, ia juga suka mengajariku sedikit bahasa Jawa, menceritakan desa tempat tinggalnya di Kediri, perasaannya saat harus pindah rumah ke luar pulau, suasana kota Samarinda, dan sebagainya. Adanya perbedaan bukan berarti kami tidak memiliki persamaan. Karena faktanya, terdapat kesamaan dalam diri kami masing-masing. Satu yang paling jelas adalah kami berdua merupakan Kpopers. Pecinta budaya pop dari Korea Selatan. Hampir setiap hari kami membahas tentang para penyanyi dari Negeri Ginseng tersebut. Ketika sudah terlarut dalam bahasan itu, kami seolah lupa bahwa usia kami terpaut dua tahun dengan aku yang lebih tua darinya. Aku lahir di tahun 2000. Ia lahir 2002. Obrolan yang seru membuat kami merasa seperti seumuran. Berbagai topik bahasan kami lontarkan satu sama lain. Berbagai hal telah kami lewati: suka, duka, canda, tawa, pertengkaran kecil, sudah tercampur aduk bagaikan bumbu yang memberikan cita rasa dalam persahabatan kami. Namun, aku masih tidak tahu siapa sosok yang berada di balik nama dan wajah Lucas tersebut. Entah bagaimana wujudnya atau pun siapa namanya. Anehnya, aku merasakan sesuatu yang nyata. Terlepas dari ketidaktahuanku tentang siapa sosok aslinya, aku menyayanginya karena kehadirannya terasa seperti sahabat sungguhan yang bisa kulihat secara langsung. Walau realita mengatakan aku hanya bisa membaca ketikannya di kolom pesan pribadi. Ia bagaikan oksigen untukku. Tidak dapat kulihat. Namun dapat kurasakan kehadirannya dan aku membutuhkannya. Hadirnya membuatku tahu bahwa tidak semua hal dapat dilihat dan disentuh. Tidak selalu mereka yang berada nyata di sisi kita akan tampak lebih baik. Untuk ia, sahabat virtualku, seseorang di balik topeng berwajah Lucas, terima kasih karena telah turut berpartisipasi untuk mengisi buku catatan perjalanan kehidupanku. (*Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: