Ida Herawati: Perjuangan Tak Berujung di SD Kunjung
Salah satu tantangan dalam pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia ialah kurangnya guru di daerah 3T. Terbatasnya sarana dan prasarana, sampai belum meratanya SDM daerah, merupakan persoalan klasik yang belum usai. Di Kabupaten Paser, Ida Herawati berjuang puluhan tahun supaya anak-anak bisa menikmati bangku sekolah. “Selama masih dibutuhkan dan masih mampu, saya akan terus mengajar.” Kalimat itu meluncur dari bibir Ida Herawati ketika dijumpai media ini, saat Ia baru saja menyelesaikan pelajaran dan bergegas keluar kelas. Rutinitas yang sudah dijalani perempuan asal Kalimantan Selatan itu selama puluhan tahun. Ida Herawati adalah seorang guru Sekolah Dasar (SD) yang telah mengajar selama 20 tahun di SD Kunjung, Desa Busui, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Disebut ‘SD Kunjung’ karena sekolah itu merupakan cabang dari SD Induk yakni SD 008 Desa Serakit, yang berjarak sekitar lima kilometer dari Busui. Busui adalah nama sebuah Desa di pinggir jalan poros antar provinsi, berada dekat dengan perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Terdapat sekitar 50 rumah, yang dihuni sekira 70 Kepala Keluarga (KK). Ida menceritakan, dirinya mulai mengabdi di sekolah tersebut sejak 1999. Tepat setahun ketika pemerintahan orde baru berakhir. Ia mengawali perjuangannya sebagai guru kontrak dengan gaji Rp 200 ribu per bulan. “Kita (baca: saya) ini dari selatan (Kalimantan Selatan,red), dulu ada penerimaan guru kontrak, kita ikut (mendaftar), lalu diterima, ditempatkan di sini,” katanya. Kala itu, lanjut dia, belum ada guru yang mengajar secara tetap di SD Kunjung. Karena masih mengandalkan guru-guru dari SD Induk, untuk datang dan mengajar setiap hari, atau disebut 'berkunjung'. Agar anak-anak di Desa tersebut tetap bisa mengenyam pendidikan. Ida mengingat, peristiwa itu terjadi pada bulan Juli tahun 1999. Ia pun mengajar hingga kontrak berakhir pada Desember tahun yang sama. Setelah kontrak mengajar berakhir awal tahun 2000 ia sempat berhenti selama tiga bulan. Seorang guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang masuk menggantikan, memintanya kembali mengajar. Berstatus guru honor, Ida pun kembali ke kelas. Sejak saat itu, Ia mengajar dengan status guru honor sekolah. Upah yang ia peroleh pun naik secara berjenjang. Dimulai dari Rp 100 ribu, kemudian naik jadi Rp 200 ribu dan terus naik hingga tahun 2005 ia memperoleh insentive (tunjangan) sebesar Rp 300 ribu per bulan. Lanjut menceritakan, pada 2009, Pemerintahan Kabupaten Paser membuka penerimaan guru kontrak. Ida mencoba mendaftar dan lulus, dan menjadi tenaga pengajar yang dikontrak hingga sekarang. Diawal statusnya kembali sebagai guru kontrak itu, ia memperoleh upah sebesar Rp 1,7 juta per bulan. Dan sejak tiga tahun terakhir, Ida mengaku menerima sebanyak Rp 2,2 juta per bulannya. Namun bukan gaji yang menjadi alasan utama ia bertahan. “Saya hanya ingin membagikan ilmu yang saya punya untuk anak-anak didik saya,” ucap dia. “Melihat anak-anak di sini saya kasihan. Mereka kesulitan mengakses pendidikan, sebab orang tua mereka sehari-hari pekerjaannya berladang di hutan, tidak bisa mengantar anaknya sekolah. Sementara anak-anak mereka punya semangat yang besar untuk belajar. Itu yang membuat saya tidak mau kalah semangat juga untuk mengajari mereka.” lirihnya. Memanfaatkan Alam Sebagai Alat Peraga Mengajar Terbatasnya fasilitas tak membuat Ida patah arang. Ia berusaha memotivasi siswa-siswinya untuk memanfaatkan fasilitas yang serba sederhana untuk tetap belajar. Ida mengatakan, kondisi sekolah dulu sangat terbatas, hanya ada satu bangunan yang berdinding papan, beratap seng, berukuran 6×4 meter yang dibagi dua ruangan. Satu ruangan disekat lagi menjadi dua. Sehingga bisa digunakan empat kelas, dari kelas satu sampai kelas empat. Namun, lanjut dia, saat ini kondisinya sudah cukup lumayan, sudah dibangun satu bangunan beton yang terdiri dari empat ruangan. Hanya yang kurang, alat peraga untuk mengajar, yang hanya tersedia kapur dan papan tulis. Sementara alat peraga lainnya, terpaksa memanfaatkan benda-benda yang tersedia di sekitar. “Kita bisa aja mengambil dari alam, misalnya daun-daunan atau batu kerikil untuk belajar hitung-hitungan,” jelasnya. Guru Ida pernah mencoba mengajukan proposal permohonan bantuan perangkat elektronik laptop untuk proses belajar mengajar, kepada perusahaan tambang batu bara di daerah itu: PT Kideco Jaya Agung. Namun, proposal tersebut tak kunjung mendapat respon. “Disuruh tunggu sampai enam bulan,” ujarnya. Padahal, dia berencana lagi untuk mengajukan permohonan bantuan alat peraga elektronik berupa satu set LCD beserta proyektor, jika proposalnya itu disetujui. Selain itu, sambungnya, sarana kebersihan juga masih minim, misalnya tempat sampah yang sudah mulai rapuh. Dia melanjutkan, sejarah penyebutan SD Kunjung karena dahulu, tidak ada guru tetap yang mengajar di sekolah tersebut. Melainkan guru dari SD Induk, yaitu SD 008 Desa Serakit yang datang untuk mengajar ke SD tersebut. “Memang dulu gurunya yang datang dari SD induk, mengajar ke sini. Makanya disebut SD kunjung. Tapi sekarang sudah tidak. Gurunya sudah menetap." Terkait kurikulum, Ida mengaku telah menerapkan standar nasional kurikulum 2013. Meskipun, metode pengajarannya ia masih harus menyesuaikan. Siswa yang masuk ke SD tersebut, belum semua mampu mengenal huruf. Karena ada sebagian yang memulai sekolah dari Taman Kanak-kanak (TK) sebagian lagi tidak, sehingga, ia tidak bisa menyamaratakan kemampuan peserta didiknya. “Kita tidak bisa langsung mengajarkan materi dari pemerintahan, karena kurikulum tersebut ditetapkan berdasarkan standar kemampuan anak-anak di kota. Jadi kita harus terlebih dahulu mengenalkan huruf ke semua murid. Istilahnya disamakan kemampuannya, kalau sudah itu, baru kita masuk ke materi sesuai kurikulum pemerintah,” terangnya. Ida mengatakan, saat ini ada tiga orang guru yang mengajar di SD Kunjung Busui. Sebelumnya, kata dia, ada empat, mengajar untuk kelas satu sampai kelas empat. Namun, sebulan yang lalu salah satu guru tersebut, yaitu guru kelas dua telah berhenti. Jenjang kelas di SD Kunjung Busui hanya sampai kelas empat. Dengan jumlah murid masing-masing kelas empat delapan orang, kelas tiga sembilan orang, kelas dua lima orang dan kelas satu enam orang. “Rata-rata yang masuk setiap tahun, hanya sedikit, tidak sampai sepuluh orang. makanya kita belum buka sampai kelas enam. Jadi yang naik kelas lima dan kelas enam disuruh lanjut di SD induk. Itu kebijakan pemerintah," tuturnya. Saat ini saja, sambungnya, hanya ada tiga guru yang mengampu empat kelas. Para guru tersebut saling berbagi waktu mengajar satu kelas lagi. Mereka secara bergantian juga mengambil peran sebagai guru olah raga. Sementara, khusus mata pelajaran agama masih diajarkan oleh guru dari SD induk. Tapi, sekali lagi keadaan yang demikian itu, tak pernah membuat ikhtiar Ida Herawati surut. Demi mewujudkan cita-cita mencerdasakan kehidupan bangsa, ia terbiasa bersyukur dalam kondisi yang serba terbatas. Upaya untuk memperbaiki status pegawai pun pernah dicoba olehnya. Tapi dua kali mendaftar, dua kali pula ia gagal mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu penyebab kegagalannya, karena kesalahan dalam memberikan berkas persyaratan. Ia memberikan berkas yang diketik menggunakan karbon pada mesin ketik. “Yang terakhir itu tahun 2010 kalau tidak salah. Waktu itu tesnya menerima calon pegawai negeri sipil yang angkatan mengajar dari tahun 2005,” ungkap Ida. Pada saat verifikasi, berkasnya dinyatakan tertukar. "Karena dulu kan berkas itu diketiknya menggunakan mesin ketik, jadinya kan ada dua, satu yang asli dan satunya yang pakai karbon, semacam foto copy-nya. Nah pada saat penyerahan berkas itu tertukar. Yang saya kasih itu yang karbon. jadi ya sudah, saya pasrah,” kisah perempuan 44 tahun itu. Diusianya ini, ia mengaku tak mungkin lagi menjadi PNS. “Sekarang saya mengajar ikhlas aja.” selama masih dibutuhkan di SD Kunjung Busui “insyaallah saya akan berjuang sampai ujung umur,” katanya. Tulus. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: