Rumput Laut; Potensi Tersembunyi Komoditi “Anak Tiri”

Rumput Laut; Potensi Tersembunyi Komoditi “Anak Tiri”

Eucheuma Cottonii atau rumput laut merah biasanya diolah menjadi penganan, bahan dasar mi dan tepung karagenan. Serta digunakan dalam produk farmasi dan kosmetik. Harga jual dari petani di kisaran harga Rp 10 ribu hingga Rp 16 ribu per kilogram. Sedangkan jenis Gracillaria biasanya dijual dengan harga Rp 1.500 hingga Rp 5 ribu per kilogram. (Dian Adi/Disway Kaltim) Samarinda, DiswayKaltim.com – Kaltim memiliki potensi mengelola sumber daya laut secara berdaulat. Tidak hanya rumput laut. Sudah saatnya laut Kaltim memberikan kontribusi lebih bagi daerah. Kuncinya ada pada pemerintah. Akademisi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Mulawarman (Unmul) Iwan Suyatna mengatakan, seluruh sumber daya hasil laut seharusnya bisa dikelola secara optimal. Khusus rumput laut, Iwan menilai konsistensi pengelolaan memang masih tidak menentu. Rumput laut masih dikelola secara parsial. Bahkan di tingkat nasional sekalipun, pengelolaan rumput laut tidak terlalu mendapat perhatian. Komoditi rumput laut masih kalah dibanding dengan hasil laut lainnya. "Garam misalnya. Pengelolaannya jauh lebih populer, ketimbang rumput laut," katanya, Kamis (23/4). Begitu pula di Kaltim. Iwan menyebut, rumput laut masih dianaktirikan oleh pemerintah. Pemerintah lebih fokus pada komoditi laut yang sudah berorientasi pada pasar ekspor dengan harga jual yang relatif tinggi. Seperti udang, kerapu, kakap, dan kepiting. Padahal, jika dikelola secara serius, rumput laut juga berpotensi menjadi komoditas unggulan. Apalagi jika disiapkan industri pengelolaan produk rumput laut. Rumput laut bisa diproduksi menjadi produk makanan, kosmetik, dan kesehatan. "Pengelolaan itu butuh industri. Dan industri laut sangat diharapkan saat ini. Karena daratan sudah hancur akibat lubang tambang," tegas Iwan. Hanya saja sampai saat ini, budi daya rumput laut belum diolah secara optimal. Hasil sumber daya laut ini, hanya dijual dalam bentuk raw material atau bahan mentah. "Pemasaran rumput laut sampai saat ini memang menjadi kendala. Pemda harus turun tangan untuk itu. Agar dapat membantu peningkatan ekonomi masyarakat," ujar Dekan FPIK Unmul itu. Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah dalam upaya optimalisasi pengelolaan hasil laut tersebut, dengan penetapan peraturan daerah (perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K). Sebuah rencana tata ruang wilayah di pesisir dan laut dengan batas 12 mil dari daratan. Dengan adanya RZWP3K nantinya, kata dia, seluruh usaha dan aktivitas di laut Kaltim harus dilengkapi dokumen perizinan dan penarikan retribusi. Sehingga dapat memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari kawasan laut di Kaltim. "Karena saat ini kondisinya, usaha di laut Kaltim itu, 80 persen tidak berizin. Ada kapal yang distribusi solar, per hari omzetnya Rp 5 miliar. Tapi Kaltim tidak dapat apa-apa, karena masuk ke pusat. Kan rugi," keluhnya. Iwan mengatakan, izin berlayar bagi kapal-kapal yang masuk ke wilayah laut Kaltim memang diatur oleh pusat. Dalam hal ini, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Bukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sehingga ke depan ia berharap, wilayah kelautan harus dikelola pemda secara serius. Karena berpeluang sebagai sumber PAD yang besar. "Saya kira, harus ada dulu regulasi untuk memfasilitasi itu. Dengan adanya RZWP3K, kemudian ada PAD. Pemerintah ada pemasukan, sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan hasil laut. Termasuk budi daya rumput laut itu tadi," terang Iwan. Kaltim sendiri memiliki luas pengelolaan laut sebesar 25.656 km2. Dan garis pantai sepanjang 3.925 km, yang melewati tujuh wilayah yaitu Kabupaten Paser, Penajam Paser Utara, Kota Balikpapan, Kutai Kartanegara, Kota Bontang, Kutai Timur dan Berau. Tingkatkan Produksi, Perluas Pasar Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Haerul Anwar turut menyoroti potensi pengolahan rumput laut Kaltim. Dalam pandangannya, secara klasik, peluang industri dimulai dengan memproduksi bahan baku. Seiring dengan peningkatan produksi, seharusnya bisa bergeser menjadi produsen bahan setengah jadi. Atau bahkan menjadi produsen final goods atau produk jadi. "Untuk peningkatan kuantitas dan kualitas supaya mendapatkan hasil lebih banyak secara finansial," katanya kepada Disway Kaltim, Kamis (23/4). Sayangnya, hingga saat ini, Kaltim masih terpaku pada budi daya rumput laut. Belum terlihat keseriusan pemerintah dalam pengelolaan komoditi ini, menjadi produk unggulan. Sehingga, para petani hanya menjual secara mandiri dengan harga yang cenderung tidak stabil. Tergantung pada kondisi pasar. Dengan adanya keseriusan dari pemerintah untuk mengelola komoditi rumput laut menjadi produk siap jual, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Peningkatan kesejahteraan tentu erat hubungannya dengan pendapatan petani rumput laut. Dalam hal ini berarti peningkatan kuantitas dan kualitas. Dengan demikian, petani bisa mendapat stabilitas harga dan positive price trend untuk memicu produksi. Stabilitas harga idealnya dengan menyeimbangkan antara supply-demand. Walau menurut Hairul ini sesuatu yang sulit untuk produk-produk pertanian. "Solusinya adalah membidik pasar baru dan mendirikan industri pengolahan. Karena tidak seperti beras, ada Bulog sebagai badan penyangga yang menyerap ketika panen raya sehingga harga tidak terlalu jatuh," ujar alumnus Fiscal Policy di Georgia State University ini. Hairul pun menyebut, jika memungkinkan, sebaiknya dibangun badan penyangga khusus untuk rumput laut. Apabila skala produksi sudah cukup besar. "Harus diakui, dengan garis pantai Indonesia yang sangat luas maka peluang untuk budi daya rumput laut juga sangat terbuka," tandasnya. Sementara terkait peluang industri rumput laut, kata Hairul, secara industri rumput laut dikelompokkan ke dalam 5P. Di antaranya adalah pangan, pakan, pupuk, produk kosmetik, dan produk farmasi. Yang paling memungkinkan dibangun di Kaltim, kata dia, adalah industri pangan, pakan dan pupuk. "Akan tetapi value in use paling besar ada di kosmetik dan farmasi," sambung Hairul. Namun memang, pembangunan industri rumput laut di Kaltim dirasa masih sulit. Kendalanya masih sama. Kaltim tidak cukup kompetitif untuk menarik investor mendirikan pabrik industri. Belum lagi kendala infrastruktur dan upah tenaga kerja yang mahal. Sehingga yang bisa dilakukan pemerintah saat ini meski belum bisa membangun industry adalah tetap mendorong produktivitas hasil panen rumput laut. Dengan mencari pangsa pasar yang lebih luas. Sehingga produk rumput laut dari petani lokal tetap terserap secara optimal. "Sampai saat ini tercatat ada 100 negara yang mengimpor produk-produk rumput laut. Sehingga pangsa pasarnya masih sangat besar. Dengan demikian, Kaltim masih memiliki peluang untuk meningkatkan ekspor non migas dari produk rumput laut," pungkasnya. (krv/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: