Pemerintah Perlu Bentuk Tim, Antisipasi Imbas COVID-19 dan Minyak Dunia 

Pemerintah Perlu Bentuk Tim, Antisipasi Imbas COVID-19 dan Minyak Dunia 

Salah satu fasilitas industri hulu migas di Kaltim. Pemerintah saat ini dihadapkan pada dua kondisi sulit bagi pertumbuhan ekonomi. Wabah COVID-19 dan penurunan harga minyak dunia. Yang juga berpotensi berimbas pada perekonomian Kaltim. (IST/Dok Disway Kaltim) BALIKPAPAN, DISWAYKALTIM.COM - Anjloknya harga minyak dunia saat ini memang menjadi momok yang menakutkan bagi banyak pihak. "Karena hal itu akan berimbas pada ekonomi global, dan termasuk di dalamnya adalah Indonesia," kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Balikpapan Yaser Arafat Syahril kepada Disway Kaltim, Selasa, (7/4) lalu. Yaser menyebut, dampak nyata untuk daerah yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) pasti akan berkurang. Karena aktivitas ekonomi mengalami perlambatan. DBH bagi Kaltim sangat berperan vital. Kaltim, sebutnya, salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Indikator ekonomi Kaltim salah satunya adalah industri minyak dan gas. Maka, ketika minyak melambat permintaan akan berkurang. Memengaruhi hampir semua sektor. Misalnya, sebut Yaser, sektor pertambangan, perkebunan dan daya beli masyarakat pasti akan menurun. Disertai juga dengan menurunnya kemampuan korporasi. "Kalau semua menurun maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) pasti akan tergerus juga," ujarnya. Yaser menyarankan pemerintah daerah membentuk tim kecil. Memikirkan dampak ekonomi yang terseret di tengah wabah COVID-19 yang masif dan harga minyak dunia yang anjlok. Bagaimana pun, kata dia, pemerintah daerah harus segera mencari cara untuk bisa menggerakkan lagi roda ekonomi. "Prioritas pertama, kita perangi virus corona bersama-sama. Yang kedua perlu juga dibikinkan tim kecil oleh daerah untuk memikirkan dampak ekonomi yang lesu karena harga minyak dunia turun drastis," katanya. "Ini kalau masih sebulan mungkin masih bisa menahan. Tapi kalau sampai pasca Lebaran juga belum selesai, itu sangat mengkhawatirkan bagi Kaltim dan Balikpapan khususnya. Sebab PAD Balikpapan ke depan pasti berkurang, pertumbuhan ekonomi akan mengalami defisit. Karena parameter instrumen ekonomi adalah migas. Cara lain yang bisa dilakukan pemda membangkitkan ekonomi daerah ialah dengan spending government. Hal itu, dianggapnya bisa menjadi trigger utama penggerak roda ekonomi dan diyakini mampu mendongkrak naik daya beli masyarakat. “Contohnya biaya langsung dari APBD. Minimal mengalami perlambatan tapi ekonomi tetap berputar. Analoginya perusahaan itu bagus, kalo ada cash flow-nya,” terangnya. Dengan begitu, lanjut Yaser lagi, daerah kembali akan mendapat kepercayaan dari investor. Untuk menarik Foreign Direct Investmen (FDI) atau investasi asing masuk. "Karena mereka (investor) ingin melihat keseriusan pemerintah daerah dalam mengendalikan ekonominya di tengah situasi ini," kata Yaser. "Pemerintah daerah juga, harus mampu menjamin tidak ada lagi ketakutan di tengah masyarakat untuk beraktivitas di bidang ekonomi. Sehingga ekonomi kita bisa mendapat kepercayaan dari pasar luar," terangnya. Ia juga berharap pemda memikirkan bagaimana caranya agar para pelaku usaha di daerah tetap bisa survive. Sampai pada waktunya nanti ekonomi kembali bergerak normal. Sebab saat ini saja, banyak sektor seperti pertambangan perkebunan, sawit yang mulai lesu. "Tidak ada yang mau masuk (investor, red) takut semua," sebutnya. Menurut Yaser, ini menjadi pekerjaan rumah kedua pemerintah. Sebab dampaknya akan berkepanjangan dan lebih parah daripada permasalahan virus corona. "Masalah corona masih ada waktunya, bisa enam bulan lebih misalnya. Tapi kalau ekonomi stuck, akan lebih lama dari itu, dan ongkosnya pasti akan lebih mahal kalau tidak dipikirkan dari awal," ungkap Yaser. ------- IMPOR TAMBAL DEFISIT Yaser menjabarkan, kondisi perminyakan Indonesia dari sisi produksi ada pada posisi merugi jika mengacu pada harga minyak dunia saat ini. Sebab, kata dia, Harga Pokok Penjualan (HPP) atau biaya produksi minyak mentah Indonesia berada pada level 40 USD per barel. Sedangkan harga minyak mentah dunia, menurut pengamatannya berfluktuasi di kisaran 30 USD per barel. Persoalan lain, kata ia, permintaan minyak global saat ini masih di luar ekspektasi. Mengalami kelesuan. Dipengaruhi oleh situasi pasar dan ekonomi global, termasuk Indonesia, yang mengalami perlambatan. Para pelaku industri juga diperkirakan akan cenderung wait and see. Menunggu sampai meredanya wabah COVID-19. "Kondisi ini memunculkan ketidakseimbangan supply dan demand. Dimana supply cenderung lebih besar dari pada demand," tuturnya Sehingga, menurut perhitungannya, jika situasi ini masih berlansung hingga tiga bulan ke depan, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar 2,5 persen. Jika sampai enam bulan, menurut Yaser, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa nol persen. Dengan begitu, ia memprediksi pada 2021 Indonesia akan mengalami defisit pertumbuhan ekonomi. "Industri migas itu cukup memengaruhi, karena walaupun mereka (pelaku industri migas) mampu men-supply tapi demand tidak ada, kan tidak bisa juga. Jadi mau jual rugi pun tidak bisa. Kondisi inilah yang saat ini terjadi," jelas Yaser. Namun, pada sisi yang lain, melihat kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri Indonesia, yang 50 persennya dipenuhi dari impor, justru membuat Indonesia diuntungkan oleh jatuhnya harga minyak dunia. Kebutuhan dalam negeri Indonesia sebesar 1,5 juta barel per hari. Sementara yang mampu diproduksi hanya 755 ribu barel per hari. Artinya, sambung dia, ada defisit sebesar 745 ribu barel per harinya. Untuk menambal angka defisit itulah Indonesia melakukan impor. TINGKATKAN KAPASITAS PENGOLAHAN Memenuhi itu, pemerintah juga menjalankan program Refinery Development Master Plan (RDMP) yang diprediksi mampu meningkatkan kapasitas pengolahan minyak hingga dua kali lipat. Termasuk adanya program B30 yang bertujuan mengurangi 30% pemakaian energi fosil. sehingga mampu menekan Defisit Transaksi Berjalan (CAD) Indonesia. Lalu, dimana keuntungan Indonesia? Indonesia diuntungkan ketika harga minyak dunia jatuh, karena 50 persen kebutuhan dalam negerinya berasal dari impor. "Jadi ini yang cukup menggembirakan bagi Indonesia," imbuh Yaser. Ia melanjutkan, semestinya kondisi menguntungkan itu diikuti dengan kebijakan menurunkan harga BBM. Karena automatis belanja impor menurun. Akan tetapi, lanjutnya, permasalahan Indonesia ada dua. Yaitu nilai tukar rupiah melemah, dolar naik. "Jadi meskipun harga minyak dunia turun tapi dolar naik, ya sama saja sakit juga," ungkap Yaser. Meskipun harga minyak dunia turun drastis dan dolar terhadap rupiah menguat, menurut Yaser masih tetap menguntungkan bagi Indonesia. Berdasarkan perhitungan Yaser, dengan harga rupiah terhadap dolar di atas 16 ribu rupiah dan harga minyak dunia di bawah di kisaran 30 USD per barel, masih ada selisih keuntungan bagi Indonesia. Akan tetapi, kata dia, HPP Indonesia jauh di atas harga minyak dunia; 40 USD per barel, untuk memproduksi sebanyak 755 ribu barel per hari. Sehingga keuntungan dari sisi impor Indonesia kemungkinan akan digunakan untuk mensubsidi produksi minyak dalam negeri. "Jadinya subsidi silang. Untung di impor untuk menutupi defisit biaya produksi dalam negeri. Impornya lebih murah, tapi karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika naik. Dan HPP produksi dalam negerinya juga masih tinggi, jadi rugi juga. Meskipun minyak dunia sekarang di bawah 30 USD per barel," paparnya. Yaser melanjutkan, teori yang dapat diterapkan perusahan migas di Indonesia termasuk Kaltim adalah melakukan rasionalisasi niai kontrak. Ia mengatakan, kontrak migas yang ada dapat dipangkas  sebesar 20 persen, untuk menyesuaikan dengan bujet perusahaan. "Itu mau gak mau," katanya. Pemotongan nilai kontrak sebesar 20 persen itu untuk menyesuaikan perusahaan migas dengan keuangan negara. Apalagi permintaan terhadap minyak mentah Indonesia sudah pasti menurun. "Dasar itulah, posisinya sekarang semua ekonomi melambat. Tidak bergairah. Diakibatkan virus corona ini," katanya. (das/eny) Berita Terkait: Dampak COVID-19 dan Minyak Dunia; Gelombang PHK Bisa Lebih Besar    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: