Berjuang di Tengah Keterbatasan, Cerita Dokter di RSKD Balikpapan
Bagaimana sih penangangan pasien COVID-19 itu?. Atau yang masih terindikasi terpapar. Bagaimana juga kondisi tenaga medisnya?. Untuk menjawab itu, Disway Kaltim mencoba mengulas alur proses penanganan pasien tersebut di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kanujoso Djatiwibowo (RSKD). Sebagai rumah sakit rujukan untuk wilayah Balikpapan dan sekitarnya. Pewarta: Darul Asmawan Editor : Devi Alamsyah BUTUH waktu dua hari bagi media ini untuk bisa mewawancarai Tim Satuan Tugas (Satgas) penanganan COVID-19 RSKD. Tentu karena kesibukan tim Satgas itu menjalankan tugasnya. Perlu waktu untuk meyakinkan bahwa liputan ini bertujuan untuk memberi pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat, agar tetap tenang. Mengikuti semua imbauan untuk mencegah penularan secara masif. Selasa lalu, Dr. Tika Adilistya Sp.PK mengirimkan pesan. Disway Kaltim diminta menemuinya di ruang dokter RSKD. "Sore hari biasanya tim Satgas penanganan COVID-19 (RSKD) berkumpul melepas lelah, di ruang dokter. Nanti bisa merapat," ujarnya melalui pesan singkat. Sore harinya, di ruang dokter itu, Disway Kaltim menemui Dr. Ariesanty Irawaty Marhabang MARS. Kepala Bidang Pelayanan Medis di RSKD. Sekaligus Koordinator Tim Satgas penanganan COVID-19 rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Kaltim itu. Dialah yang menjelaskan alur pelayanan pasien COVID-19. Dr. Ariesanty mengatakan, RSKD merupakan satu dari 132 rumah sakit di Indonesia, yang ditunjuk Kementerian Kesehatan RI sebagai rujukan untuk penanganan penyakit menular. "Bukan hanya untuk penanganan COVID-19 ini, tapi memang sudah sejak ada wabah flu burung, SARS dan MERS dulu," katanya. Pada dasarnya, dia mulai menjelaskan, ada dua macam pasien terkait COVID-19 yang diterima di RSKD. Pertama yang datang sendiri karena merasakan gejala atau ada riwayat kontak. Kedua yang rujukan dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain. Atas persetujuan Dinas Kesehatan (Diskes) Kota Balikpapan. Untuk menangani semua pasien COVID-19 itu, kata Ariesanty, RSKD telah menyediakan layanan khusus POLI COVID-19. Dibuka pada pukul 08.00 pagi. Tutup pada pukul 19.00 untuk registrasi. Sedangkan untuk pelayanan, dibuka hingga pukul 21.00. Jika ada pasien yang datang langsung di atas pukul 21.00, akan diminta datang keesokan harinya. "Kecuali kondisinya emergency. Atau menunjukkan gejala berat, maka akan langsung diarahkan ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) untuk dilakukan pemeriksaan dan dilanjutkan dengan perawatan isolasi jika ada indikasi," jelasnya. "Terkait COVID-19, seluruh rumah sakit membuat laporan dan berkoordinasi kepada Diskes Balikpapan, sehingga Diskes memiliki data berapa jumlah pasien yang dinyatakan sebagai ODP dan PDP. Selanjutnya ODP akan dilakukan pemantauan oleh puskesmas. Sedangkan untuk PDP dilakukan perawatan di rumah sakit," paparnya. Mengingat posisinya sebagai RS Rujukan COVID-19, RSKD juga menerima pasien rujukan berstatus PDP yang berasal dari RS lain. Atas persetujuan Diskes Balikpapan. Jika datang sebelum pukul 21.00 akan ditangani melalui POLI COVID-19. Seluruh pasien Poli COVID-19 akan dilakukan pemeriksaan standar, yaitu pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan rontgen dada. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh tim Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM), di bawah koordinasi Dr. Tika Adilistya, Sp.PK. Sedangkan untuk rontgen dilakukan oleh radiografer dan interpretasinya dilakukan oleh dokter spesialis radiologi. Dari kedua pemeriksaan tersebut, jelas Dr. Ariesanty lagi, jika hasilnya tidak baik, maka pasien akan diisolasi di rumah sakit dengan status Pasien Dengan Pengawasan (PDP). Jika tanpa gejala dan pemeriksaan tidak menunjukkan indikasi kuat, maka sesuai Pedoman Kemenkes, pasien diperbolehkan karantina mandiri, dengan status sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan dipantau oleh puskesmas. RSKD menyiapkan dua jenis ruang isolasi. Namun dia enggan menyebut jumlah dan letak ruangan itu di RSKD. "Agar pasien lain, atau pengunjung lain tidak khawatir dengan keberadaan ruangan itu. Mohon dimaklumi," pintanya. Dua jenis ruang isolasi itu, diperuntukkan bagi pasien PDP dan pasien positif. Pasien yang telah terkonfirmasi positif ditempatkan di satu area. Sementera yang PDP akan ditempatkan di area yang lain. "Kecuali PDP yang satu keluarga atau PDP di bawah umur yang harus didampingi orang tuanya. Kita ada kasus PDP di bawah umur yang ditempatkan bersama orang tuanya, oleh karena itu orang tuanya automatis menjadi ODP," jelas dokter perempuan berkerudung itu. Tahapan pemeriksaan belum berhenti sampai di situ. Pemeriksaan kunci untuk menentukan positif tidaknya seseorang dari infeksi COVID-19, dilakukan pengambilan swab hidung dan tenggorokan untuk kemudian dilakukan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) Dr. Tika Adilistya, SpPK menerangkan alurnya. Pengujian sampel ini dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Kementerian Kesehatan Surabaya. Prosesnya diawali ketika tim ATLM yang dipimpinnya itu mengambil swab pasien PDP di ruang isolasi. Dengan prosedur khusus dan menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Begitu juga dengan pengiriman sample ke Surabaya. Ada penanganan khusus. "Sesuai Pedoman Kesiapsiagaan COVID-19 Kemenkes, sampel harus dikemas dalam three layer packaging dan suhu harus dipertahankan tetap dingin ketika sampai di Surabaya," ujar dokter Tika. Hasilnya, kata ia, baru akan diterima beberapa hari setelah dikirim. "Biasanya yang positif 7-8 hari, karena ketika mendapatkan hasil positif, BBLK Surabaya harus mengirim sampel tersebut ke Puslitbangkes Jakarta untuk konfirmasi. Kalau yang negatif biasanya lima hari sudah dilaporkan," imbuhnya. Untuk menyatakan pasien COVID-19 sembuh, berdasarkan Pedoman Kemenkes, diperlukan pemeriksaan swab dengan hasil negatif sebanyak dua kali berturut-turut. Momen inilah yang kita semua nantikan. Lalu, bagaimana perawatan pasien terkonfirmasi positif dan PDP yang diisolasi di rumah sakit? "Pada dasarnya organ paru yang paling terdampak oleh virus jenis corona ini," kata dokter Tika. Sehingga, dokter spesialis parulah yang menjadi leader untuk memberikan terapi kepada pasien terkonfirmasi positif COVID-19. Infeksi COVID-19 ini, ia meneruskan, akan diperberat jika pasien juga memiliki penyakit lain. Seperti misalnya, penyakit jantung, diabetes, ginjal, dan lain-lain. "Oleh karena itu jika ada penyakit lain seperti itu, maka tim dokternya akan bertambah, misalnya Dokter Spesialis Penyakit Dalam,". "Karena gejala terberat adalah radang paru-paru atau pneumonia, jadi di ruang isolasi memang sudah dilengkapi dengan perangkat peralatan untuk terapi paru sampai dengan bantuan pernafasan atau ventilator," kata Ariesanty menambahkan. Untuk yang PDP, selama isolasi juga diberi perawatan sesuai Pedoman Kemenkes. Sambil menunggu hasil pemeriksaan Swab. Pemeriksaan oleh dokter spesialis paru terhadap pasien isolasi dilakukan setiap hari untuk memantau kondisinya. Kecuali ada perkembangan kondisi pasien atau emergency. Dan oleh perawat diperiksa sebanyak tiga kali sehari. Memeriksa tensi dan keadaan pasien, juga petugas kebersihan untuk membersihkan ruangan. "Semua proses itu, menggunakan APD lengkap dan mengikuti prosedur Kemenkes," urai dokter muda itu. KENDALA KETERBATASAN Disway Kaltim meminta dokter Tika menceritakan kendala yang dihadapi tim Satgas RSKD saat ini. Menurutnya, kendala yang dihadapi saat ini adalah sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Ditambah dengan keterbatasan peralatan medis yang diperlukan untuk menangani pasien. "Terpaksa harus disiasati manajemen penggunaannya,” katanya. Contohnya; satu APD, yang mirip baju astronot itu, bisa digunakan berkali-kali untuk mengatasi kekurangan. APD yang telah digunakan, langsung di-sterilisasi lagi, sehingga dapat dipakai lagi. "Kecuali sudah robek atau resletingnya rusak." Begitu juga dengan masker, memang, kata dia, ada beberapa perusahaan atau pihak swasta yang mendonasikan masker N95. Namun itu belum memenuhi standar. Pun itu tetap dipakai. "Ada beberapa yang donasikan masker N95 tapi dengan spesifikasi untuk industri. Itu berbeda dengan masker N95 untuk medis. Kita tetap pakai, tapi dilapis lagi dengan masker bedah, daripada tidak memakai," ujarnya. Kemudian ada hal lain yang disiasati, yaitu ketersediaan VTM (virus transfer media). Bahan itu sangat diperlukan untuk tempat menampung Swab hidung dan tenggorokan, sehingga transportable untuk dirujuk ke luar kota. "Namun saat ini VTM stoknya sudah kosong secara nasional dan baru tersedia di pertengahan April," imbuh dokter Tika. Salah satu cara mensiasati, bagi pasien kasus positif, seharusnya dilakukan pemeriksaan swab setiap dua hari, setelah dia dinyatakan positif. Namun karena VTM terbatas, berdasarkan kesepakatan dengan Dokter Spesialis Paru, kita lakukan swab di hari ke-12. “Saya tidak berani membayangkan jika situasinya semakin parah," kata Tika, menunjukkan ekspresi kelelahan usai menangani pasien. Meski begitu, para pahlawan medis di garda terdepan ini berkomitmen untuk tetap menjalankan tugasnya. Bagi mereka tidak ada pilihan lain selain menghadapi. Menekan rasa khawatir apalagi kepanikan. Sudah menjadi konsekuensi sebagai tenaga medis maka yang dihadapi adalah orang sakit. "Kita nggak tahu perang ini sampai kapan, jadi sedapat mungkin kita harus menjaga kesehatan baik fisik maupun psikis, dan terus bertahan," tambah dokter spesialis patologi klinik itu. Dokter Tika Adilistya adalah salah satu dokter yang diutus oleh RSKD untuk mengikuti workshop di Kemenkes terkait dengan penanganan wabah COVID-19. Bersama dengan Dr. Ariesanty Irawaty Marhabang MARS, selaku pihak manajemen rumah sakit dan Dr. Mufidatun Hasanah. Sp.P, spesialis paru. Merekalah yang bertanggungjawab untuk memberikan edukasi dan memberikan pemahaman, bagaimana seharusnya menangani wabah virus jenis corona ini. Agar tidak panik, terutama dalam menghadapi pasien. Sebab kata dokter Tika, ada saja pasien yang tidak kooperatif, seperti menolak diisolasi karena merasa tidak sakit, menolak dilakukan swab, atau yang lain. "Ya itu mesti dimaklumi, mungkin psikisnya tertekan ," tandasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: