Hotel Semakin Terjepit, Tetap Menggaji tanpa Pemasukan, Bisa Berujung PHK 

Hotel Semakin Terjepit, Tetap Menggaji tanpa Pemasukan, Bisa Berujung PHK 

Hotel Grand Sawit telah menghentikan sementara operasional sejak 31 Maret 2020 lalu. (Dian Adi/Disway Kaltim) DiswayKaltim.com - Hotel-hotel di Kaltim tidak punya pilihan. Data yang dihimpun Disway Kaltim, sudah 20 hotel menutup sementara operasional. Di samping itu, kewajiban menggaji karyawan tetap ditunaikan meski hotel tidak menghasilkan pemasukan. Industri perhotelan terjepit keadaan di tengah pandemik COVID-19. Bukan tidak mungkin jika kondisi ini berlangsung lama akan berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan. Direktur Operasional Hotel Platinum Sugianto menjelaskan, kondisi saat ini sulit bagi hotel membiayai operasionalnya. "Karena yang menginap sudah tidak ada, lalu harus tetap berkewajiban membayarkan gaji karyawan. Kemudian operasional listrik dan lainnya," jelas Sugianto, Minggu (5/4). Dengan kondisi demikian, upaya untuk menyelamatkan hotel agar tetap beroperasi dengan melakukan efisiensi sedalam mungkin. "Pokoknya operasional ditekan betul. Misal dari listrik, biasanya AC nyala, sekarang harus dikurangi, lampu juga begitu," terangnya. Selain pengetatan operasional dan memberlakukan shift bagi karyawan kontrak. Pihaknya juga mengharapkan kepada Pemerintah Kota Balikpapan untuk penghapusan pajak. "Karena di beberapa daerah seperti Tulungagung dan lainnya kepala daerahnya memberikan kebijakan penghapusan pembayaran pajak sampai kondisi stabil," tukas Sugianto. Karena itu, Sugianto berharap pemerintah kota meninjau ulang kebijakan hanya menunda pembayaran dan penghapusan denda administrasi. "Harapannya ditinjau ulang kebijakannya, biar bisa menutupi biaya operasional," imbuhnya. Sampai kini Hotel Platinum masih beroperasi dengan melihat kondisi pada April ini. Humas Blue Sky Hotel Arfidiani Nur mengatakan, pihaknya terpaksa menghentikan operasional sejak 1 April sampai kondisi stabil. Untuk itu, kata dia, pihaknya juga berharap pemerintah memberikan keringanan. “Kami juga mengharapkan bantuan kepada supplier keringanan pembayaran,” sebutnya. Blue Sky Hotel mempekerjakan sekitar 300 karyawan berstatus tetap dan kontrak. Selama penghentian operasional, perusahaan tetap menggaji karyawan meski pun tidak penuh. Manajemen juga masih membayar tagihan BPJS Kesehatan karyawannya. Hal sama juga dilakukan Hotel Grand Sawit Samarinda. Human Resources Development (HRD) Hotel Grand Sawit Mukhlis mengatakan, hotel di Jalan Basuki Rahmat Samarinda ini telah diliburkan sejak 31 Maret hingga 16 April mendatang. "Rencana 17 April sudah aktif kembali. Kalau tidak diperpanjang. Karena kami lihat situasi dan kondisi juga nanti," sebut Mukhlis, Minggu (5/4). Sebanyak 48 orang karyawan diliburkan atau diberi masa cuti. Meski begitu, Mukhlis menyebut, hotel tetap menggaji para karyawan. Padahal, selama masa tutup sementara, aktivitas hotel juga berhenti total. Alhasil tidak ada pos pemasukan yang bisa diandalkan. "Sementara ini karyawan masih terima gaji full. Tapi kalau diperpanjang lagi masa liburnya, ya belum tahu," sebut Mukhlis. Sebelum tutup sementara, kata Mukhlis, tingkat hunian hotel bintang dua ini memang sudah menurun. Dampak dari imbauan social distancing. Dengan persentase okupansi 10 hingga 20 persen. Merosot dari hari normal di angka 40 persen. Dengan penurunan tersebut, hotel kesulitan untuk bertahan. Karena pos pemasukan dan pengeluaran menjadi tidak seimbang. "Hotel kalau tingkat okupansinya 20 persen itu nggak cukup untuk membiayai kebutuhan dasar. Itu baru dasar, belum yang lain," ujarnya. Terpisah, Komisaris Utama Hotel Andhika Samarinda Rahmatullah juga mengaku telah menutup sementara hotelnya. Terhitung, sejak 15 Maret lalu hingga waktu yang tidak ditentukan. "Ya sampai COVID-19 ini selesai, kita gak bisa prediksi sampai kapan," kata Rahmatullah, Minggu (5/4). Ia pun terpaksa merumahkan 12 karyawannya. Tanpa gaji. Karena memang, operasional hotel sudah berhenti total. Tidak ada pemasukan yang bisa digunakan untuk menggaji karyawan. Sebelum tutup sementara pun, Rahmat menyebut, hotelnya sudah sepi pengunjung. Terdampak oleh pandemi COVID-19. Dari 47 kamar yang tersedia, hanya terisi 1 hingga 4 kamar. Bahkan tak jarang, tidak ada pengunjung sama sekali. Padahal di hari normal, tingkat okupansi hotel yang terletak di Jalan Agus Salim, Samarinda ini, bisa mencapai 50 persen. "Selama saya pegang hotel, baru sekarang keadaan segenting ini. Lebih parah dari krisis ekonomi 1998," keluhnya. Di tengah kondisi krisis industri hotel ini, Rahmat berharap ada relaksasi pajak dari pemerintah membantu meringankan beban perhotelan. Ia bersama PHRI BPC Samarinda, sedang menggalang tanda tangan petisi untuk meminta penangguhan pajak kepada wali kota Samarinda. Sejauh ini, petisi tersebut sudah ditandatangani oleh 41 hotel di Samarinda. "Kita enggak minta dibebaskan kok. Kita pasti bayar pajak. Tapi, kita minta penangguhan pembayaran sampai COVID-19 ini selesai," tegasnya. Ia pun khawatir, jika pemerintah tidak memberikan keringanan, akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di seluruh hotel di Samarinda. Karena sekarang saja, kata dia, rata-rata hotel merumahkan 60 persen karyawannya. (fey/krv/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: