Dokter di Garis Depan #Lawan Corona; Tinggalkan Keluarga Ikut Dikarantina
Dokter Richard (baju hijau) saat ditemui di Covid Center RS Taman Husada Bontang. (ichwal/bontang) ==================== Perjuangan paramedis ini akan sia-sia. Apabila perilaku warga masih suka keluyuran. Tak membatasi aktivitas di luar. Mengurung diri selama 14 hari menjadi wajib dilakukan semua pihak. Untuk memutus mata rantai penyebaran Coronavirus Disease (COVID- 19). Oleh: Ichwal Setiawan LIMA dokter dan 25 perawat jaga disiapkan khusus. Mereka menangani pasien COVID-19 di RSUD Bontang. Bukan hanya pasien, para dokter itu juga dikarantina. Mendekam di rumah sakit. Tak boleh pulang atau keluyuran. Sampai pandemi corona berakhir. Sebut saja dokter Richard. Ia sudah mengkarantina diri sejak pasien Bontang-1 divonis positif. Aksesnya dibatasi. Interaksi dengan dunia luar hanya melalui gawai. Atau karyawan rumah sakit yang membantunya. Sudah dua pekan ia jalani kondisi ini. "Iya hampir sebulan. Mulai Covid Centre disiagakan," ujar Richard, dokter muda itu, saat ditemui di Covid Centre RSUD Taman Husada Bontang, Senin (30/3). Sekelabat terlintas bahaya di benaknya. Bukan berita baru petugas medis meninggal lantaran menangani pasien COVID-19. Tetapi, tuntutan tugas menghapus kekhawatirannya itu. Paramedis berusaha tetap profesional. Kendati kekhawatiran datang dan pergi di kepalanya. Apalagi Alat Pelindung Diri (APD) terbatas. "Harus profesional, enggak bisa kebawa perasaan (takut)," ujarnya. Saat ini, APD seperti baju astronot, masker dan penutup wajah cukup. Bantuan APD mulai berdatangan. Dari mana saja. Pemerintah maupun kelompok masyarakat yang peduli. Tapi paramedis tetap harus hemat. Pakaian APD hanya sekali pakai. Sedangkan stok terbatas. APD dikenakan sesuai kebutuhan. Baju astronot terdiri 7 lapis. Hanya dipakai apabila diperlukan dan mendesak. Jika hanya pemeriksaan, APD dipakai sekenanya. Masker dan gaun bedah. Tak bisa lengkap. Agar ada persiapan untuk ke depan. Tak ada yang memastikan wabah ini berakhir. Apalagi APD susah dicari. Langka di pasaran. "Kalau periksa kita pakai masker N95, penutup wajah, rambut dan gaun bedah," ungkapnya. Paramedis berjaga secara bergilir. Lima dokter jaga bergantian memonitor pasien di ruang isolasi. Dari balik kaca selama 24 jam terus dipantau. Penanganan pasien isolasi harus hati-hati. Mengurangi sentuhan langsung. Seminimal mungkin. "Kalau ada tindakan medis baru kita masuk, seperti ganti infus, pemberian obat," katanya. Selepas dari ruangan isolasi harus segera bersih-bersih. Mandi. Amankan diri dari virus COVID-19. Protokol ketat ini hari-hari dilakukan tiap petugas. Lagi-lagi demi pelayanan medis pasien. Pasien COVID-19 diberi obat sesuai gejala. Belum ada vaksin virus jahat ini. Obat menyesuaikan kondisi pasien. Jika batuk diberi obat batuk. Influenza diberi obat sesuai gejala klinisnya. Serta Antibiotik. Mencegah bakteri tumbuh. Virus kerap disertai bakteri. Maka perlu antibiotik memutus bakterinya. Agar tak berkembang dan memperprah kondisi pasien. Obat chloroquine. Disebut-sebut sebagai penangkal virus corona belum terbukti. Belum direkomendasikan World Health Organization (WHO). Richard tak sendiri. Ada ibu dan ayah yang rela menanggalkan keluarga. Untuk melayani pasien. Berjuang digaris depan melawan COVID-19. Bertaruh nyawa. Berharap semua bakal sembuh sedia kala. Para ibu sesekali menelpon keluarganya. Melepas rindu melalui panggilan video. Tak bertemu. Bersua melalui jejaring sosial. Besar harapan COVID-19 segera berakhir. Dukungan masyarakat diperlukan. Tetap berdiam diri bisa memutus rantai virus jahat ini. Isolasi diri cara paling mudah dan efektif. Penyebaran senyap COVID- 19 susah diprediksi. Mencegah cukup dengan bertahan dan mengisolasi secara mandiri. Sampai pandemi selesai. (wal/dah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: