Psikosomatik di Tengah Pandemik

Psikosomatik di Tengah Pandemik

Informasi yang begitu massif soal wabah corona virus, justru bisa menyebabkan gejala “corona-coronaan”. Panik. Merasa semua gejala yang dirasakan mengarah pada wabah itu. Demikian disampaikan dokter Andrie, Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, ketika diwawancarai salah satu stasiun TV swasata nasional. Benarkah? Bagaimana seharusnya kita bersikap?   ------------------------------------ Di tengah kekhawatiran dan kecemasan warga, DRH MOH Indro Cahyono terlihat menjadi orang yang paling berani. Beberapa komentarnya memberikan gambaran bagaimana seharsunya menghadapi virus corona jenis baru COVID-19. Pakar virus tersebut pernah diundang dan bicara di MNC News. Juga pernah diwawancarai di channel YouTube The Hermansyah. Akun milik musisi Anang Hermansyah dan Ashanti. Bahkan ia mengakui, untuk mengetahui virus jenis baru atau lama, caranya dengan mengorbankan dirinya. Kalau terjadi flu dan demam hingga 7 hari lebih, berarti ada jenis virus baru. Tapi, jika hanya terjadi gejala satu hingga dua hari, berarti bisa jadi jenis lama. Hal itu biasa dia lakukan terhadap anaknya. Ketika sakit. Menurut Indro, untuk menangani merebaknya virus corona, harus mengetahui karakter virus tersebut. Sehingga penanganan yang dilakukan lebih tepat. Dan paling penting, masyarakat luas harus mengetahui sehingga tidak panik. Kepanikan terjadi justru karena tidak tahu. Menurutnya, pola penularan corona hanya melalui cairan drop plate. Keluar ketika si penderita bersin atau batuk. Jarak cipratan drop plate berkisar 1 hingga 1,5 meter. Jadi, kata dia, bukan beredar di udara. Melayang-melayang. Makanya sedari awal, harus diberi jarak. Sehingga cairan drop plate dari orang yang terinveksi tidak dapat mengenai bagian tubuh orang lain. Pernyataan ini sekaligus meluruskan beberapa informasi yang beredar. Yang katanya menyebutkan bahwa virus tersebut bekeliaran di udara. Airbone. Melihat pola penularan yang begitu cepat. Informasi seperti itu yang membuat warga tambah panik. Juru bicara penanganan COVID-19 Achmad Yurianto dalam sesi wawancara podcast dengan Deddy Corbuzier, pernah menyebutkan begini: Virus itu karakter dasarnya selalu berubah. Mungkin saja pada perkembangannya bisa airbone. Dengan pola penularan yang cepat saat ini. Tapi, biasanya secara klinis lebih ringan. Artinya tingkat mematikannya berkurang. Namun pernyataan itu baru bersifat anggapan Yurianto. Belum terbukti seperti itu. Atau baru kemungkinan-kemungkinan saja. Melihat dari karakter virus. Kembali ke virologist Indro Cahyono. Menurutnya virus butuh media untuk bertahan hidup. Medianya yang cocok adalah drop plate tadi. Semakin dingin dan semakin basah lingkungan tersebut virus akan semakin bertahan hidup. Bagaimana jika drop plate yang nempel di baju. Apakah akan hidup? Berapa lama?. Dalam wawancara tersebut, ia menjelaskan tergantung kondisi lingkungan. “Semakin kering, semakin terang, dan semakin panas maka virus itu tidak akan bertahan lama,” jelasnya. Misalnya, ketika bersin. Drop plate atau tetesan lender nempel di meja. Habis itu dilap. Tiga menit kemudian sudah hancur. Jadi virus tersebut, kata dia, punya banyak kelemahan. Pertama hanya bertahan di drop plate. Kedua gampang hancur: dengan pelarut lemak, dengan sabun dengan detergent. “Nempel di baju terus dicuci, ya virus itu akan hancur,” ujaranya. Sementara itu, kelebihan virus tersebut memiliki penyebaran yang cepat. Mudah beradaptasi. Tapi fatality rate-nya tidak terlalu besar. Ini bisa dilihat hasil statistik di mana pun di belahan dunia. Pasti ada 97 persen orang yang akan kembali pulih. Tiga persen fatality rate. Sisanya sehat. “Ini yang terjadi pada pasien nomor 1,2 dan 3. Pada tanggal 29 Februari dinyatakan positif. Terus dirawat di rumah sakit selama 16 hari. Kembali sehat toh. Ini membuktikan bahwa status positif itu tidak tetap”. “Misalnya hari pertama saya positif, tapi hari kesepuluh bisa kembali negatif. Hari ke-14 adalah puncaknya anti bodi kita. Jumlahnya sudah banyak. Ini yang melawan virus, sehingga kita sembuh,” terangnya. Itu sebabnya pada beberapa pasien positif, ada yang sama sekali tak menimbulkan gejala yang berarti. “Seperti riwayat pasien no 3, tidak ada gejala berarti, toh”. Selain menjaga jarak dan kontak, penanganan corona virus juga harus dilakukan dengan meningkatkan kekebalan tubuh. Caranya dengan pola hidup yang sehat, istirahat yang cukup dan mengonsumsi vitamin. Agar anti bodi tubuh menjadi kuat. “Kalau kita tidak tahu musuh kita itu apa. Maka kita ketakutan sendiri,” imbuhnya.   GEJALA PSIKOSOMATIK Ramainya pemberitaan dengan berbagai versi terkait virus corona, justru merangsang merebaknya gejala psikosomatik. Kecemasan berlebihan. Orang mulai khawatir bertemu dengan orang lain. Padahal orang yang ditemuinya itu dalam keadaan sehat. Menurut Andri, Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, hal itu dipicu oleh banyaknya informasi soal COVID-19. Setiap hari pemberitaannya terkait bertambahnya orang yang positif. Kemudian informasi jumlah penderita yang meninggal dunia. Beberapa dokter yang menangani pasien corona pun terdampak. Ia mengaku bahkan ada dokter yang cerita, katanya tidak boleh pulang dulu ke rumahnya. “RT-nya sendiri yang ngomong begitu,” kata Andri, dalam forum Indonesia Lawyer Club (ILC). Ini terjadi, kata dia, karena terlalu banyak informasi yang berbicara soal corona. Di mana-mana. Di media sosial. Di grup-grup WhatsApp. Namun sering kali informasi yang diungkapkan juga membuat kita takut. “Padahal TBC dan DBD sudah banyak memakan korban. Tapi karena ini terlalu cepat, orang mulai khawatir,” jelasnya. Setiap gejala yang dirasakan, asumsi orang sekarang begini: “Jangan-jangan ini corona. Gejalanya sama dengan saya”. Karena itu, perlu juga media tidak hanya mengeksplorasi soal korban. Padahal jika masyarakat cemas. Gejala stress meningkat. Akan memunculkan gejala baru. Seperti mag atau tekanan darah tinggi. Yang justru lebih memabhayakan secara medis. (*/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: