Menjaga Sektor Informal-UMKM; Salah Anggapan Kelonggaran Kredit

Menjaga Sektor Informal-UMKM; Salah Anggapan Kelonggaran Kredit

Nasabah menyetor pembayaran kredit di Mega Finance. Jumlah nasabah yang menunaikan kewajibannya kini berkurang drastis. Terlebih, kelonggaran yang diberikan pemerintah ternyata banyak salah diartikan nasabah.  (Dian Adi/Disway Kaltim) Samarinda, DiswayKaltim.com – Keputusan pemerintah melonggarkan kredit menjadi angin segar di tengah kondisi mewabahnya COVID-19. Presiden RI Joko Widodo mengatakan, akan ada kelonggaran kredit kendaraan dan UMKM selama satu tahun. Terutama bagi kelas menengah ke bawah yang terdampak dengan adanya pandemi COVID-19. Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Selasa (24/3) lalu. “Tukang ojek dan sopir taksi yang sedang memiliki kredit motor atau mobil. Atau nelayan yang sedang memiliki kredit, saya sampaikan ke mereka tidak perlu khawatir. Karena pembayaran bunga atau angsuran diberikan kelonggaran selama satu tahun,” katanya. Kelonggaran kredit juga diberikan kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Yaitu, pelaku dengan nilai kredit di bawah Rp 10 miliar.  Baik kredit yang diberikan oleh perbankan maupun industri keuangan non bank. Kelonggaran ini memang sudah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 (POJK11) tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Yang telah ditetapkan pada 13 Maret lalu. Kepala OJK Kaltim Made Yoga Sudharma menjelaskan, isi regulasi tersebut baru mencakup kerangka restrukturisasi kredit atau pembiayaan dari perbankan. Sementara terkait aturan tentang perusahaan pembiayaan masih dalam proses pembicaraan dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). Secara umum, restrukturisasi diprioritaskan terutama untuk masyarakat yang terdampak COVID-19. Terutama untuk kredit yang dilakukan oleh penerima kredit UMKM dengan penghasilan harian. Seperti pekerja informal, KPR dengan tipe tertentu dan pengemudi daring. “Terkait pidato Presiden soal rakyat kecil diberikan kelonggaran 1 tahun, rakyat kecil yang dimaksud Bapak Presiden adalah bagi pekerja-pekerja informal. Jadi misalkan pekerja informal memiliki tagihan kepemilikan rumah, itu menjadi perhatian. Atau pengusaha warung, warungnya harus tutup karena ada kebijakan WFH (Work From Home, Red),” jelas Made, Kamis (26/3). Made pun menjelaskan, kata penundaan atau kelonggaran sesuai pidato presiden merupakan bahasa yang mudah dicerna masyarakat umum. Karena sasaran dari POJK stimulus adalah masyarakat menengah ke bawah. Dikhawatirkan mereka tidak mengerti dengan istilah restrukturisasi kredit. Itu lah yang menjadi prioritas. Bukan secara umum seluruh masyarakat mendapat kelonggaran kredit. Kebijakan ini juga tidak diperuntukkan bagi pegawai yang berpenghasilan tetap yang memiliki Kredit Perumahan Rakyat (KPR). KPR nya tidak termasuk dalam kategori yang direstrukturisasi. “Akan dilihat case by case oleh perbankan, sehingga masyarakat diminta juga untuk memahami dan mengukur apakah memang permohonan restrukturisasi bisa dilakukan oleh perbankan atau leasing,” tambahnya. Made juga menegaskan penundaan atau kelonggaran kredit tidak menghilangkan kewajiban untuk melakukan pembayaran. Melainkan hanya diberi kemudahan. Misalnya, pada kondisi biasa, debitur mempunyai kewajiban sebesar Rp 1 juta per bulan. Karena pengaruh COVID-19, usaha menurun. Setelah dilakukan perhitungan ulang, debitur hanya mampu membayar Rp 500 ribu per bulan. Kurang lebih demikian perumpamaannya. Terkait masa resktruturisasi selama 1 tahun, itu adalah jangka waktu maksimal. Jangka waktu restrukturisasi diserahkan kepada penilaian bank. Bisa dalam jangka waktu 3, 6 dan 9 bulan dan maksimal 1 tahun. Adapun bagi debitur yangg tidak terdampak atau masih dapat menjalankan usahanya. Serta masih memiliki kemampuan keuangan untuk mengangsur, diharapkan untuk tetap dapat memenuhi kewajibannya. Untuk melakukan restrukturisasi ini, Made menyebut, setiap bank memiliki assessment terhadap debiturnya masing-masing. Karena tidak semua debitur akan mendapatkan restrukturisasi. Ini yang akan menjadi perhatian dari bank. Bank harus memiliki pedoman untuk menjelaskan kriteria debitur yang ditetapkan terkena dampak COVID-19 dan akan menentukan restrukturisasi seperti apa yang bisa diberikan. Made menekankan bahwa usaha perbankan merupakan usaha intermediasi. Bagi yang kelebihan dana, menempatkan dananya dalam bentuk simpanan di bank. Bagi yang kekurangan dana, meminjam melalui bank dalam bentuk kredit. Bank memperoleh bunga dari kredit yang disalurkan dan selanjutnya memberikan bunga bagi yang menempatkan simpanan di bank tersebut. “Likuiditas perbankan secara sederhana dapat dijelaskan demikian,” terangnya. Sehingga Made mengharapkan ada satu pemahaman. Bahwa kredit yang diberikan oleh Industri Jasa Keuangan (IJK) kepada debitur berasal dari dana masyarakat. Yang pada saatnya juga harus dikembalikan. Apabila IJK tidak bisa mengembalikan dana masyarakat maka kepercayaan masyarakat terhadap IJK akan runtuh dan dapat menyebabkan masalah yang lebih besar lagi. Salah Anggapan Kelonggaran Kredit Pernyataan pemerintah terkait kelonggaran kredit kendaraan dan UMKM selama satu tahun, menimbulkan pemahaman berbeda di masyarakat. Sebagian mengira, kelonggaran kredit dimaksud sudah berlaku di industri jasa keuangan baik bank maupun non bank (leasing). Faktanya, dasar hukum kelonggaran kredit tersebut baru mengatur terkait restrukturisasi perbankan. Sehingga pihak leasing belum bisa menerapkan imbauan tersebut. “Baru semacam imbauan dari Pak Jokowi. Kita pun dari pihak leasing belum terima surat resminya dari APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, red),” kata Muhammad Nizar Zulmi, supervisor Collection PT Mega Finance Samarinda, saat ditemui Disway Kaltim, Kamis (26/3). Nizar menyebut akan menjalankan kebijakan tersebut setelah keluar surat resmi yang mengatur kelonggaran kredit dari APPI. Termasuk mekanisme penyaluran penerima kelonggaran kredit. Sehingga dapat dipetakan golongan-golongan yang berhak menerima relaksasi kredit. “Saya tanya leasing lain pun belum ada terima. Sejauh ini belum ada diterapkan. Masih menunggu,” tegasnya. Sementara itu, karena kabar kelonggaran kredit tersebut sudah menyebar di masyarakat. Nizar sudah beberapa kali menerima permohonan kelonggaran kredit dari nasabahnya. Ia pun menjelaskan tidak semua nasabah bisa mendapat penilaian untuk kelonggaran kredit. Hanya golongan-golongan tertentu seperti yang disebut dalam pernyataan Presiden. Yakni masyarakat kelas menengah ke bawah. Seperti ojek online, nelayan dan petani. "Beberapa memang sudah ke sini untuk mengajukan kelonggaran kredit itu. Ada polisi juga datang, padahal kan itu gak masuk golongan," keluhnya. Meski pun diakui Nizar, jika aturan kelonggaran tersebut diterapkan cukup memberatkan bagi pihaknya. Apalagi di tengah kondisi COVID -19 saat ini. Industri keuangan juga menjadi salah satu yang terdampak. "Karena ini kita sudah setop jualan. Ibaratnya tidak ada lagi yang kredit baru. Karena COVID ini," terangnya. Ditambah dengan wacana kelonggaran kredit selama satu tahun, tentu merugikan industri keuangan non bank ini. Bahkan dalam kondisi sekarang, Nizar menyebut  bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan leasing. Ia pun meluruskan pemahaman di masyarakat. Bahwa kelonggaran yang dimaksud adalah penyesuaian kemampuan membayar. Bukan tidak membayar sama sekali. Contoh pada nasabah yang memiliki usaha yang awalnya ramai, namun dengan COVID-19 ini jadi terdampak. Sehingga kemampuan membayarnya juga berkurang. Nizar menyebut, total nasabah di Mega Finance saat ini sekitar 8 ribu orang. Dalam hari normal, bisa 30 orang yang melakukan transaksi pembayaran. Namun dengan kondisi saat ini, dalam sehari hanya ada 4 sampai 5 orang yang melakukan pembayaran angsuran kredit. Sementara, beberapa jasa layanan penyaluran kredit lain enggan menjawab terkait wacana kelonggaran ini. “Belum ada arahan dari kantor pusat,” kata pihak Adira Finance Samarinda. (krv/eny)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: