1-0
Oleh: Baharunsyah* Beberapa hari terakhir Samarinda menjadi trending topic nasional. Masih berkaitan dengan COVID-19. Yakni pernikahan puteri wakil Wali Kota Samarinda. M Barkati. Kejadiannya cukup cepat. Begitu banyak tekanan publik yang meminta agar acara itu dihentikan. Alasannya kita sudah tahu bersama. Demi menghindari penyebaran virus yang lebih luas. Sempat gamang, akhirnya Barkati luluh. Pernikahan ditunda sampai batas waktu tidak ditentukan. Saya yakin betul bagaimana, mungkin, perihnya hati Barkati saat itu. Pernikahaan yang sangat sakral kedudukannya di dalam agama harus ditunda. Kecewa? Sudah pasti. Persiapan yang sudah matang sejak beberapa bulan lalu harus batal. Oleh makhluk sangat kecil yang meresahkan dunia saat ini. Tapi, bukan tekanan publik, atau tepatnya tekanan netizen yang menjadi pusat pembahasan. Linimasa media sosial sebelumnya penuh dengan kekecewaan. Di grup whatssapp saya saja, kecaman terhadap Barkati lebih banyak memenuhi notifikasi. Di grup busam pun Barkati jadi sasaran tembak. Hampir semua status masyarakat Samarinda isi kepalanya seragam. Geram. Sampai-sampai ada yang berkata tidak akan memilih lagi sosok orang ini kalau maju jadi calon wali kota. Tapi kebesaran hati Barkati berani menunda acara yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang itu. Dalam konteks personal, ini sebuah pengorbanan besar. Seorang ayah harus rela menunda menyaksikan sang anak bisa duduk bersanding di pelaminan. Barkati berjiwa besar. Bukan maksud saya untuk menyanjung. Namun faktanya demikian. Apalagi katanya, sebagian dari persiapan pernikahan itu akan disumbangkan begitu saja. Tanpa embel-embel voucer seperti yang sudah beredar di undangan. Ini ujian yang sangat berat. Memilih melihat putrinya bahagia. Atau mendahulukan kepentingan orang banyak. Ya, Barkati memilih yang terakhir. Akan tetapi jangan lupa. Ini tahun politik. Setiap detik, setiap inci gerakan akan menjadi penilaian. Untuk konteks satu ini, Barkati sudah memainkan pencitraan yang sangat fantastis. Yah, meski ini momentum yang tidak disengaja. Mana mungkin sih Pak Barkati berani menskenariokan dirinya dicaci begitu. Apalagi sampai membawa-bawa pernikahan putrinya. Berpolitik tidak senaif itu juga kan. Meski itu tetap dihalalkan demi mencapai kemenangan. Bukan patokan ilmiah tapi strategi kebetulan ini justru semakin menikan citra dan elektabilitas Barkati. Mari kita berkaca pada Wakil Wali Kota Palu Sigit Purnomo Syamsuddin Said. Atau nama populisnya Pasha. Kurang kenal? Pasha Ungu deh. Saya mendapat cerita dari salah satu tim sukses Pasha. Ceritanya begini. Bermla saat Palu dilanda gempa. Yang menghabiskan hampir semua lini kehidupan. Konon katanya, Pasha saat itu sudah mau menyelamatkan diri. Ke tempat yang lebih aman. Tapi gempa terjadi. Semua jalur darat terputus. Termasuk komunikasi. Palu, masih menurut kata kawan saya ini, dilanda blank spot. Karena dia juga termasuk saksi hidup sebelum akhirnya merantau kembali ke Kaltim. Tak ada akses merek-merek provider di sana untuk melayani komunikasi. Palu benar-benar mati. Wali kotanya katanya kesulitan masuk. Nah, untung bertuah. Saat itu Pasha termasuk pejabat yang terjebak. Tidak bisa keluar. Pilihannya hanya satu. Ia harus ikut berbaur. Di tenda-tenda darurat. Saat itu katanya lagi, kita tidak akan melihat sosok Pasha yang begitu tampan rupawan dan gagah seperti di televisi. Benar-benar berbaur pokoknya. Dust. 1-0. Publik simpati. Bahkan empati. Berbanding terbalik dengan dengan penilaian sebelumnya. Dimana masyarakat sana sinis dengan pelantun Demi Waktu ini. Hanya sekejap. Pasha berhasil meraih hati publik. 1-0 buat Pasha yang berencana maju lagi. Lalu apa hubungannya dengan Barkati? Momentumnya kurang lebih mirip. Awalnya Barkati dicaci publik. Untuk sesaat jadi common enemy netizen. Tapi, belakangan, publik bisa jadi bersimpati. Dan menganggap Barkati sebagai negarawan. Malah ikut bersimpati. Ini luar biasa. Menurut saya. Pencitraannya sunguh-sungguh alami. Tidak dibuat-buat. Enggak neko-neko. Apa adanya. Mengalir begitu saja. Dalam kaca mata politik, ini seharusnya menjadi aset. Tergantung nanti bagaimana tim dan konsultan politik beliau memolesnya. Berbeda sekali kan dengan pencitraan kandidat lain. Yang butuh waktu lama untuk membuat brand personal. Gencar di semua media. Datangkan massa. Mungkin, dengan kejadian ini, kondisinya akan terbalik. Massa yang akan datang. Kepada Barkati. Yang semula dicaci, bisa jadi perlahan akan dicintai. Mungkin? Kenapa tidak. Berkaca saja pada Sigit Purnomo Syamsuddin Said. Maaf, maksud saya, Pasha Ungu. Itu sudah bisa jadi contoh sederhana. Alhasil Barkati sudah satu langkah di depan, meski saat ini belum dapat restu dari partai mana pun. Yah begitulah dinamika sosial politik kita. Ada yang sangat serius menentukan langkah-langkah dan strategi. Ada pula yang dapat durian runtuh. Politik kadang memang sejenaka itu. *Redaktur Disway Kaltim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: