Dilema Kita

Dilema Kita

Oleh: Baharunsyah* Anggaplah saya ini orang awam. Yang masih sedikit pemahamannya tentang agama. Menerima saja apa kata pemuka agama. Sama seperti orang lain pada umumnya. Biasa saja. Lalu saya membuka siaran televisi. Dan searching juga di internet. Semua berita sama isinya. Epidemi corona menjalar begitu cepat. Layaknya jaringan MLM. Satu mengidap, orang sekitar kena cipratannya. Begitu seterusnya. Bedanya sama MLM kita dapat untung. Khusus yang satu ini, kita tidak mendapat untung. Tapi panik. Rugi pula. Masker mendadak hilang di pasaran. Seperti sulap. Ting. Bedanya dia tidak muncul kembali, kecuali kita memesan jauh-jauh hari. Hand sanitizer krisis di swalayan. Kalau pun ada, harganya mendadak naik. Tapi tunggu saja dalam hitungan jam. Pasti hilang juga. Di pasar juga sama. Harga rempah ikut naik. Bumbu masak yang awalnya dijual murah, kini menjadi ramuan ajaib. Yang diyakini bisa menjadi obat pencegah corona. Padahal itu baru keyakinan. Bukan pembuktian ilmiah. Memang hebat masyarkat +62 ini. Keyakinan saja bisa dihargai sebegitu mahalnya. Ada lagi yang mengejutkan. Kurs rupiah terhadap dollar. Rupiah kita sedang gonjang ganjing. $1 kini nilainya mencapai Rp 16.000. Tapi pemerintah bergerak cepat tangani si corona ini. Tak hanya pemerintah. Pemuka agama pun juga sama. Menanggapi corona ini menjadi isu yang serius. Benang merahnya sama. Ini persoalan hidup dan mati. Persoalan kemashlahatan. Sampai-sampai MUI mengeluarkan fatwa. Bahwa umat Muslim diperbolehkan tidak salat Jumat dan menggantinya dengan salat zuhur. Untuk kawasan yang darurat corona. Nah, ini yang perlu menjadi catatan. Makna dari darurat corona. Fatwa itu dikeluarkan oleh MUI pusat. Di Jakarta. Wajar. Di sana epidemi corona jauh lebih mengerikan. Menjalar dari elit di atas sampai kepada rakyat jelata. Nah, di Kaltim lebih dari dua orang sudah dinyatakan positif. Orangnya sudah ditangani pihak rumah sakit. Atas dasar itulah pemerintah provinsi Kaltim menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Kita, sebagai rakyat,diminta berdiam diri di rumah. Di sini ujian sesungguhnya. Bagi kaum beragama. Terutama hari Jumat ini. Apakah berani mengikuti fatwa MUI itu atau tidak. Apakah masih tetap salat Jumat atau tidak. Yang perlu dipahami adalah bahwa fatwa itu lebih sebagai sebuah panduan. Bukan perintah. Kadang dilematisnya disini. Tidak semua fatwa MUI itu ditaati utuh. Meski pun bagi saya fatwa itu merupakan sebuah terobosan. Keputusan yang cukup radikal. Mengganti salat Jumat dengan salat zuhur. MUI mengeluarkan fatwa itu pasti ada sebab musababnya. Demi mencegah lebih luasnya jaringan MLM virus corona. Melalui agen-agen mereka. Agar mudarat yang lebih besar dan luas bisa ditekan. Pak Wagub Hadi Mulyadi pun setali tiga uang. Mengimbau masyarakat tidak dulu menjalankan ibadah secara ramai. Baik itu salat Jumat, ibadah Minggu di gereja, vihara. Dan untuk semua pemeluk agama lainnya. Tapi lagi-lagi itu hanya imbauan, bukan paksaan. Nyatanya, beberapa masjid masih melakukan salat Jumat toh. Salah? Tidak. Bukan kapasitas kita untuk menilai salah benar. Meski pun langkah antisipasi tetap dilakukan. Seperti memisahkan jamaah yang terindikasi memiliki suhu tubuh tinggi di saf berbeda. Upaya preventif yang cukup bagus. Tapi, mungkin tidak semua masjid melakukan itu. Alhasil, pesan untuk berdiam diri, beraktivitas, bekerja dan beribadah di rumah cuma slogan yang dijalankan setengah hati. Oleh kita sendiri. Fatwa MUI seperti dikebiri. Oleh jamaahnya sendiri. Pesan Pak Wagub pun menjadi tak punya arti. Benturannya disini. Antara pemahaman agama dengan realita. Kita menginginkan surga secara sempurna, tapi disisi lain membiarkan orang lain menderita. Soal ini saya ingin bercerita lagi sedikit. Tentang sebuah pesan dari salah satu grup whatssapp. Salah satu anggota menulis sebuah kata-kata, kira-kira begini: Lebih baik mati saat menjalankan salat Jumat, dari pada tidak salat Jumat tapi tetap mati juga. Ini perlu diluruskan. Secara medis virus corona tidak mematikan tiba-tiba. Dengan kata lain orang yang terpapar tidak langsung meninggal. Sebab butuh waktu. Bagi virus. Untuk masuk ke dalam sel-sel darah, lalu merusak sistem imun atau kekebalan tubuh. Kata-kata tadi lalu dibalas. Di grup yang sama juga. Secara jenaka lagi. Bahasanya begini: Bisa jadi virus itu ditulari di masjid, tapi meninggalnya tetap di rumah sakit juga kan. Bagi saya ini sebenarnya guyonan sarkastik. Sindiran. Untuk orang yang tidak sependapat dengan pengurus yang tetap menyelenggarakan salat Jumat. Demi alasan ibadah. Saya lebih suka menyebut mereka-mereka sebagai kelompok yang anti menjadi agen MLM corona. Ya anggap saja mereka berdua ini adalah kelompok bisnis yang saling berebut pengaruh. Tapi  apapun itu  setiap orang bebas memilih. Mau tetap salat Jumat ditengah situasi KLB corona ya monggo. Toh, Kaltim sendiri situasinya tidak segenting di luar pulau sana. Ada yang sampai meninggal. Tapi bagi yang khawatir tertular, tidak ingin salat Jumat, ya silakan. Apalagi adanya fatwa MUI menjadi dasarnya. Justru berbeda itu bagus. Yang salah adalah menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan untuk mencaci. Menyalahkan yang berbeda pandangan. Hingga akhirnya memicu perang urat syaraf. Lalu, saya pilih yang mana? Nanti kita lihat sendiri. *Redaktur Disway Kaltim    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: