Antrean Truk dan Pengepul Solar

Antrean Truk dan Pengepul Solar

Antrean truk-truk besar di SPBU sudah bukan peristiwa langka. Menahun. Yang antre juga rela menunggu hingga berjam-jam. Bahkan menginap. Aroma penyelewengan BBM ke sektor industri cukup kuat. --------------- DI kawasan SPBU Jl PM Noor, kawasan Sempaja, Samarinda. Ruko-ruko sederetan dengan SPBU itu, beberapa menuliskan catatan ini. Ada yang menuliskan di atas triplek kayu. Ditancapkan di depan ruko. Ada juga di media seng.  Tulisannya begini: “Maaf, parkir jangan menutupi toko”. Tulisan yang hampir sama juga ada ditempel di pojok tembok pagar. “Tolong dikasih jarak. Mobil keluar-masuk”. Masih di kawasan yang sama. Manajemen SPBU juga membuat spanduk bertuliskan: “Perhatian. Demi kelancaran lalu lintas, agar: -Antrean solar 1 (satu lajur) - Antrean premium 1 (satu) lajur”. Tulisan tersebut menyiratkan bahwa pemilik ruko merasa terganggu dengan adanya antrean yang menutupi halaman depannya. Manajemen SPBU itu juga sama. Bisa jadi lantaran dikomplain warga sekitar. Antrean itu juga bisa mengurungkan niat pengendara untuk membeli BBM di SPBU tersebut. Kecuali yang sudah kepepet. Bahan bakar tak mencukupi jika harus ke SPBU lainnya. Pemandangan yang sama bisa dilihat di Balikpapan. Khususnya di SPBU Km 9 Jl Soekarno-Hatta. Atau di SPBU Km 15 di jalan yang sama. Jalan poros Balikpapan-Samarinda. Jika melintasi daerah itu, pagi, siang atau pun malam. Pemandangan jejeran truk selalu terlihat. Informasi yang dihimpun, antrean tidak hanya terjadi di dua kota itu, di beberapa daerah lainnya di Kaltim juga terjadi hal serupa. Beberapa sumber Disway Kaltim menyebutkan, bahan bakar jenis solar yang ada di sejumlah SPBU di Kalimantan Timur (Kaltim) belakangan ini memang susah didapat. Masyarakat yang seharusnya mendapat solar bersubsidi tersebut harus berjibaku dengan para raksasa besar. Ikut antrean panjang. Sumber itu juga menyebutkan bahwa di antara para pengantre tersebut adalah para pengentap solar. Selain antre, beberapa di antaranya sudah memodifikasi tangki kendaraan hingga kapasitasnya lebih besar dari normalnya. Bahkan ada yang bisa menampung hingga 1.000 liter atau 1 ton sekali mengisi. Padahal itu hanya mobil tipe minibus saja. Sebagian lagi memang tidak memodifikasi tangki. Tapi kendaraan yang dikirim untuk mengantre adalah truk besar. Yang kapasitas tangkinya besar. “Itu semua solar habis dimakan pengetap. Semua truk-truk yang antre itu rata-rata pengetap. Ada juga yang jenis mobil panther dan kijang,” beber sumber itu. Seharusnya untuk ukuran truk hanya bisa mengisi paling banyak 190 liter. Tapi para pengetap yang menggunakan truk bisa mengisi lebih dari 200 liter. “Kalau mobil kecil harusnya hanya 40 liter. Tapi ini bisa lebih. Bahkan ada yang bisa ngisi 500 liter hingga 1 ton,” terangnya lagi. SPBU seolah tutup mata. Karena harga solar bersubisidi dari Pertamina berkisar Rp 5.150 per liter. Tapi kepada para pengetap BBM. SPBU menjualnya dengan harga Rp 5.500 per liter. “Yang ambil keuntungan adalah operator dan pengawas di SPBU itu sendiri,” cetusnya. Soal solar itu. Sumber tadi menduga ada pengalihfungsian solar subsidi ke industri. Karena jika hanya untuk keperluan konsumsi BBM jenis solar masyarakat, antreannya tidak akan sepanjang itu. Selisih tarif antara solar subsidi dan industri ini yang menyebabkan adanya mobilisasi massif untuk mendapatkan harga subsidi. Ditelusuri dari harga yang dilansir Pertamina. Untuk sektor industri dan semacamnya itu, tahun 2020 ini di Kalimantan berkisar di atas Rp 10.000 per liter. Artinya jika ada pengepul solar yang bisa memasok harga di bawah itu, tentu akan menekan cost produksi mereka. Minyak itu, kata sumber tadi, kemudian digunakan untuk operasional sektor industri. Umumnya dijual kepada para penambang batu bara ilegal. “Kalau saja harga industri saat ini sekitar Rp 8.190 hingga Rp 9.000 per liter. Tapi para pengetap itu menjual dengan harga Rp 8.000 per liter. Kalikan saja. Kalau selisih Rp 190. Sudah berapa banyak keuntungan penambang membeli solar subsidi. Apalagi itu tanpa pajak,” terangnya. Bukan hanya di SPBU. Permainan solar juga terjadi di perairan. Yakni melalui kapal tugboat penarik batu bara. Namun, rata-rata solar tersebut merupakan hasil “kencing” para ABK kapal. “Kalau di kapal minimal mereka bisa kumpulkan 2 ton solar. Kemudian solar itu dijual kepada pengepul dengan harga Rp 6.500 per liter,” tuturnya. Sama seperti pengetap di SPBU. Solar dari kapal-kapal itu juga dijual ke tambang ilegal dengan harga Rp 8.000. Tapi biasanya tambang ilegal tidak membeli dengan jumlah banyak langsung. Paling 1 hingga 3 ton. FUEL CARD PERTAMINA Pertamina Marketing Operation Regional VI Kalimantan yang berwenang menyalurkan BBM bersubsidi mengaku terus berupaya mengurangi antrean. Di antaranya melakukan pengaturan jadwal pengiriman dan pengisian SPBU pada pagi hari. “Kondisi di lapangan konsumen sudah mulai mengantre di SPBU Balikpapan. Sebelum dibukanya dispenser. Untuk itu, pengisian di SPBU digeser dilakukan sepagi mungkin,” kata Region Manager Communication & CSR Kalimantan Roberth Marchelino Verieza, Ahad (8/3). BERITA TERKAIT: - Agar Tak Antre, Transaksi di SPBU Pakai Non-Tunai Langkah lainnya, imbuh Roberth, Pertamina sejak akhir tahun lalu sudah memberlakukan fuel card untuk transaksi pembelian solar subsidi. Untuk meminimalisasi para pengetap. “Penerapan fuel card akan lebih efektif jika diberlakukan pembelian sesuai kebutuhan wajar. Sehingga penyaluran solar subsidi benar-benar dapat tepat sasaran dan tepat jumlah,” ujarnya. Dengan upaya yang dilakukan tersebut, Pertamina mengklaim saat ini antrean di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di Kaltim sudah berkurang di banding tahun sebelumnya. Roberth Marchelino menjelaskan, antrean BBM yang terlihat di sejumlah SPBU adalah efek dari mekanisme pasar. “Selain itu, luasan SPBU rata-rata tidak besar, sehingga terkesan beberapa kendaraan saja sudah sampai ke luar jalan raya antriannya,” jelasnya. Sampai saat ini, Pertamina berharap adanya payung aturan dari Pemerintah Daerah untuk lebih memaksimalkan penyaluran BBM tersebut. Pada saat yang sama, Pemerintah mengurangi kuota untuk solar subsidi dari 260.177 kiloliter pada 2019. Menjadi 257.500 kiloliter. TAMBAH KUOTA Sementara itu, Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Kota Balikpapan, Afiudin Zainal Abidin melihat antrean BBM bersubsidi terjadi karena kemampuan pemerintah memberikan subsidi terbatas. “Kalau sekarang mau diselesaikan antrean, ya tambah kuota. Tapi itu tambah kuota berapapun tidak cukup. Karena begitu tambah yang tadinya sudah beralih ke non subsidi kembali beralih ke subsidi,” ucapnya. Dia menilai, pembelian BBM di pulau Jawa tidak ada yang mengalami antrean lantaran kuotanya tinggi. Berbeda dengan Kalimantan Timur. “Di Jawa itu tidak ada antrean, baik subsidi dan non subsidi. Di sini antreannya panjang. Beli non subsidi saja antre,” tekannya. Penyebabnya, kata Afiudin, karena ada kendaraan yang mestinya tidak pantas menggunakan BBM subsidi. Tapi masih saja ikut antre yang subsidi. Saat ini Pertamina tengah membangun sistem digitalisasi di sejumlah SPBU. Dengan digitalisasi itu maka akan terlihat konsumen yang membeli BBM. “Maka akan kelihatan siapa yang membeli dan berapa banyak. Sehari berapa dia beli. Akan terlihat subsidi yang dibeli. Berapa banyak pemakaiannya. Nah digitalisasi akan dimulai tahun ini. Itu mungkin akan membantu banyak,” bebernya. Namun demikian, program digitalisasi tersebut bukan solusi. “Minimal ada jalan keluar sebagian. Maka mereka tidak berani antre lagi. Tahun ini sudah mulai terpasang. Direncanakan Juni seluruh Indonesia sudah terpasang. Mudah-mudahan lah mengurangi antrean,” pungkasnya. (byu/fey/krv/dah) Harga BBM Non-Subsidi Wilayah      Pertalite    Pertamax  Pertamax Turbo           Dexlite       Pertamina Dex              Solar non subsidi Kaltim         7.850           9.400           10.100                                9.700           10.450                                9.500 Kaltara        7.850           9.400           10.100                                9.700           10.450                                9.500 */Harga terhitung mulai 5 Januari 2020 pukul 00.00 Sumber: Pertamina (Persero)   Harga Dasar Solar Industri Area II (Kalimantan) Periode 1-30 Januari Industri                              : Rp 13.556.36 Tambang                            : Rp 14.312.70 Shipping                            : Rp 14.221.58 Periode 1 - 14 Februari Industri                              : Rp 12.384.83 Tambang                            : Rp 13.075.80 Shipping                            : Rp 12.992.55 Sumber: solarindustri.co.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: